Beliau lahir dari Keluarga ulama dan pengawal agama masyarakat Aceh. Ayahnya bernama Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy dan Ibunya Ummi Padang Hajjah Rasimah yang merupakan cucu dari Syekh Khatib Ali murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Sebelum baligh Abuya Muhibbudin Waly belajar dan mendalami ilmu keislaman langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama terpandang, dengan para teman seperguruannya yang lebih tua darinya seperti Abu Tanoh Merah, Abu Abdul Aziz Samalanga, Abu Keumala, dan ulama lainnya.
Setelah menjadi alim yang rasikh ilmunya, pengembaraan intelektual Abuya Muhibuddin Waly dilanjutkan ke Timur Tengah, tepatnya di Al Azhar Mesir dalam rentang tahun 1964-1971 ia bermukim di sana dan belajar dari para ulama besar Mesir di antaranya Syekh Muhammad Abu Zahrah sang pengarang terkenal, Syekh Ali Sayis dan para ulama lainnya. Di Mesir Abuya sering berziarah ke Maqam Imam Syafi’i, karena kata Syekh Muda Waly “Kiyai Siradjuddin Abbas (pengarang 40 Masalah Agama) dapat berziarah ke Makam Imam Syafi’i sedangkan aku belum pernah”.
Demikian keinginan yang pernah didengar dari ayahnya Syekh Haji Muhammad Waly. Berkat doa ayah dan para gurunya, dalam masa 6 tahun beliau telah menyelesaikan program Doktornya di universitas tertua di dunia Al Azhar Syarif Mesir tanpa melalui jalur S1 dan S2 yaitu dengan penyetaraan ijazah dalam bidang Ushul Fiqih pada level starata dua dengan Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhan Haji. Disertasi yang diangkat mengenai Ijtihad Dalam Fikih Islam, yang kemudian diringkasnya menjadi pidato pengukuhan gelar Profesornya di Institut Ilmu Al Qur’an Jakarta pada Tahun 1988, dikukuhkan langsung oleh Rektor IIQ Jakarta Prof. KH. Ibrahim Hosein, LML Legenda Fatwa Indonesia yang juga lulusan Al Azhar Mesir.
Setelah menyelesaikan pendidikan Doktornya, Abuya Muhibbuddin Waly ‘hijrah’ ke daerah Ibukota. Dr KH Muhibbudin Waly menjadi dosen di beberapa lembaga baik formal maupun nonformal. Selain sebagai dosen, beliau juga menyampaikan ceramah-ceramah tasaufnya di Pengajian Tinggi Mesjid Istiqlal Jakarta tiap minggu pagi. Kemudian isi pengajian tersebut dibukukan dan dicetak sebagai syarahan dan penjelasan lengkap untuk Kitab Hikam Imam Ibnu ‘Attaillah al-Sakandary. Menurut al Marhum Kiyai Haji Maskur(mantan Menteri Agama Indonesia) keberadaan buku Kiyai Muhibbudin Waly memiliki arti yang penting, karena sejauh bacaan Kiyai Masykur, belum ada karya ulama yang mensyarah Hikam secara panjang lebar dalam bahasa Indonesia kecuali dalam versi melayu lama karangan Tokku Pulau Manis Trengganu.
Abuya Muhibbudin Waly juga tokoh kunci Naqsyabandiyah Aceh dari silsilah ayahnya Syekh Haji Muda Waly. Selain memiliki ijazah dari ayahnya Syekh Haji Muda Waly, ia juga pernah mengambil ijazah dari beberapa ulama besar lainnya. Di antaranya dari Syekh Muhammad Yasin al Padani dalam seluruh sanad hadits, kepada Sayyid Syekh Muhammad Alawi al-Maliki dalam sanad keilmuan Islam, dan kepada Mursyid Qadiriyah Naqsyabandiyah dari Suryalaya Syekh Ahmad Sohibul Wafa’ atau dikenal dengan Abah Anom dalam Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, dan juga kepada Syekh Hisyam Kabbani pengganti dari Syekh Nazim Haqqani dalam Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang berpusat di Barat.
Adapun dari jalur Tarekat Naqsyabandiyah al Waliyah jalur ayahnya Syekh Muda Waly, maka beliau adalah Sayyid al-Mursyidin setelah wafatnya Syekh Muhammad Wali al-Khalidy. Abuya Muhibbudin Waly menghabiskan waktunya dalam pengembaraan keilmuan mulai dari Aceh, Mesir, Jakarta, Malaysia dan tempat-tempat lainnya, bahkan beliau pernah menjadi guru besar di beberapa perguruan tinggi di Malaysia.
Menjelang usia sepuhnya, beliau kembali ke Aceh dan kembali mendidik banyak santri terutama di Dayah Darussalam Labuhan Haji. Dan juga secara aktif menjadi pemateri di Kajian Tinggi Keislaman Mesjid Raya Baiturrahman yang dihadiri oleh hampir seluruh ulama Aceh dan isi pengajian tersebut telah dibukukan.Penulis pernah berjumpa dengan beliau tahun 2005 di sebuah toko Kitab, ketika itu beliau sedang mencari Kitab Tazhib Al-Adillah karya Syekh Musthafa Dieb al Bugha, kitab penjelasan dalil untuk Kitab Matan Ghayah wa Taqrib. Abuya Muhibbuddin Waly adalah lautan ilmu, rajin membaca, insaf dalam berpandangan. Setelah wafatnya Abuya, dunia Dayah di Aceh secara keseluruhan kehilangan salah satu sosok intelektual terbaiknya.
No responses yet