Tangerang Selatan, Jaringansantri.com – Kajian tentang adat istiadat perlu dikuatkan dalam kajian-kajian Islam Nusantara. Menurut Prof. Dr. Kiai M.N Hasirudin M. Fil. I, ini penting, karena adat istiadat kita sangat kaya di Nusantara.

“Adat istiadat kita sangat banyak, dari Sabang sampai Merauke. Ini menjadi sebuah potensi yang luar biasa, tapi jika tidak dikelola, bisa menjadi bahaya kepada kita,” katanya dalam forum kajian fiqih ulama Nusantara di Sekretariat Islam Nusantara Center (INC), Selasa 22 Januari 2019.

Hadir sebagai pembicara ke dua, kandidat doktor hukum Islam Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ah. Khoirul Anam. Ia mengatakan “tema adat ini sangat menarik karena ini sangat terkait dengan apa yang kemudian kita sebut sebagai Islam Nusantara.”

“Karena kajian Islam Nusantara itu lebih banyak bersentuhan dengan persoalan adat dan tradisi ini. Sementara Islam Nusantara yang kita kaji kemarin – kemarin lebih banyak ke karya ulama Nusantara yang sebagian besar arahnya sejarah dan filologi,” ujarnya.

“Sesungguhnya berbicara Islam Nusantara, adalah berbicara tentang adat istiadat kaum muslimin di Nusantara,” imbuh santri alumni Pesantren Lirboyo ini.

Kembali pada Prof. Haris, Guru Besar IAIN Jember ini mencontohkan adat tujuh hari orang meninggal. Ini penting dan perlu dikawal oleh fiiqh. Sehingga ada kebiasaan membantu keluarga yang ditinggalkan. Contoh lainnya adalah adat ijab qabul, yang tidak perlu diucapkan tapi sudah paham.

Dalam mendefinisikan, Hasirudin memilih menyamakan antara adat, tradisi dan ‘urf. Yaitu adat kebiasaan baik berupa perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

“saya memilih menyamakannya, meskipun adat ikatannya lebih kuat di masyarakat, urf tidak. Adat itu dilakukan berulang – ulang terus menerus,” katanya.

Pengaruh adat atau urf di zaman Rasulullah juga banyak yang kemudian menjadi dasar hukum. Antara lain Pertama, apa yang dipraktekkan dimasa Nabi Saw dimana haji dan umrah umat Islam tetap melanjutkan apa yang dipraktekkan jauh sebelum Islam. Berbagai ritual Arab seperti talbiyah, ihram, wuquf dan lain-lain diteruskan untuk diterapkan dalam praktek haji umat Islam, kendati ritual lain dalam haji seperti harus melakukannya dalam keadaan telanjang dihilangkan.

“Demikian juga dengan hukum qisas dan diyat dimana keduanya merupakan praktek budaya masyarakat pra Islam. Kedua budaya ini lalu diafirmasi menjadi bagian dari ajaran Islam,” katanya.

Kedua, setelah wafatnya Nabi Saw, para sahabat juga mendasarkan hukum-hukum Islam yang ada dengan adat masyarakat sekitar. Pada masa dimana Islam melakukan ekspansi besar-besaran, maka terlihat jelas bahwa Islam sangat memperhatikan budaya lokal masing-masing. Khalifah Umar sebagai missal mengadopsi sistem dewan dan tradisi masyarakat Persia.

Di samping itu juga, Umar juga megadopsi system pelayanan pos yang juga menjadi tradisi sasanid dan Kerajaan Byzantium. Ketiga, generasi tabi’in yang hidup setelah sahabat juga memasukkan klausul adat atau urf dalam sumber hukum Islam. Semua madzhab 4 selain Hambali menggunakan urf sebagai pertimbangan hukum Islam

Sementara itu Khoirul Anam menambahkan “Menurut saya, dalam konteks adat, bahwa adat itu bisa menjadi metode perumusan hukum. Adat itu bisa dipake hukum dan tidak perlu gusar karena itu dilegitimasi oleh teori-teori ushul fiiqih. Dan nanti juga ada ketentuan, adat itu dianggap shah sebagai hukum tidak berdiri sendiri. Bisa menjadi hukum karena bersanding dengan aspek yang lain misalnya. Atau bisa jadi hukum kalau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.”

Dalam konteks orang meninggal, subtansinya adalah doa itu. Bahwa doa itu dilakukan pada hari ke 7, 40 dan hari ke 100, itulah adat. Dan pastinya tidak berkaitan dengan ibadah mahdhoh. Karena ini adat yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan. Kenapa memilih hari ke 7, ini tidak hanya terkait upacara kematian, nanti ada yanh terkait dengan selametan mengandung (hamil), ini tradisi.

Susah menemukan karya-karya fiqih ulama Nusantara yang menjadikan adat sebagai sumber hukumnya. Karena sebagian karya-karya fiqih ulama Nusantara di tulis di Timur Tengah. Ini menjadi kajian menarik,” pungkasnya. (Zaenal/Damar).

3 Responses

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *