Judul Buku : Al-Quran dan Kodrat Perempuan ( Sebuah Tawaran Pembacaan Metodologis atas Realitas Masyarakat)
Penulis: Kusmana,Ph.D
Penerbit: RAJAWALI PERS
Cetakan/hal: 2018/82 halaman

Buku yang ditulis salah satu dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pada dasarnya merupakan penelitian individual yang ia lakukan pada tahun 2013. Penelitian yang ia lakukan merupakan sebuah inspirasi dari penelitian program doktornya mengenai persepsi kodrat perempuan di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya. Tulisan yang bersumber dari sebuah penelitian ini ternyata telah dimuat di jurnal ilmiah. Artikel tersebut berjudul “ Refleksi tentang Kodrat dan Pemberdayaan Perempuan di Indonesia: Mendayung di antara Penafsiran Islam dan Feminisme’. Tulisan ini telah terbit di Harkat: Media komunikasi Islam tentang Gender dan Anak,Vol.10,No.1,2014,57-70. Penulis juga menghadirkan beberapa referensi yang sama dalam memberikan pengetahuan mengenai perempuan, diantaranya Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas wacana Agama dan Gender karya Hussein Muhammad, Kodrat Perempuan dalam Perspektif al-Quran,”dalam memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam karya Nasaruddin Umar, kemudian buku karya Faqihuddin Abdul Kadir yang berjudul Bangga Jadi Perempuan:Perbincangan dari Sisi Kodrat dalam Islam, dan masih banyak lagi.

Adapun materi yang disajikan dalam buku ini sangat lugas dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh para pembaca dan mampu menjadi sumber bacaan bagi para mahasiswa, akademisi, maupun praktisi. Sebagai seorang mahasiswi, tulisan ini sangat membantu memberikan pengalaman dan menginformasikan makna eksistensi kodrat perempuan yang sampai saat ini masih banyak diperdebatkan di kalangan masyarakat. Ini sangat wajar, karena mereka memandang kodrat perempuan tentu dari berbagai aspek yang ada. Begitu juga, sebagai perempuan biologis daerah Sunda, saya sangat memahami realita sebagian perempuan yang tidak merasakan kekhalayakannya dalam dunia pendidikan, bahkan pekerjaan. semua aktivitas ini seakan-akan diskontruksi dan mereka memberikan mindset bahwa tempat paling berharga bagi perempuan adalah rumah. Dalam kasus ini, kita bisa melihat bagaimana kaum laki-laki yang tidak menganggap perempuan sebagai manusia utuh, yang punya potensi kerja keras dan pantang menyerah, kebaikan dan keburukan, sebagaimana laki-laki.

Perempuan sunda yang konon katanya memiliki karakter lemah lembut dan rasa simpati yang tinggi, mereka rela mengorbankan jerih payah pendidikannya dan memilih untuk berhenti sebagai ibu rumah tangga. Menurut saya, ini sangat memprihatinkan bagi perempuan yang akan menjadi calon ibu, karena mereka akan haus akan keilmuan dan pengalaman yang harusnya mereka dapatkan dan akan berdampak negative kepada sang anak. Sang anak akan tumbuh dan berkembang dalam pangkuan ibu dan bimbingan ibu. Lantas, bagaimana sang ibu itu sendiri akan mendidik, memberikan nutrisi keilmuan yang dalam kepada anak, mengantarkan anak untuk berani melawan kerasnya dunia, bila ia sendiri tidak memiliki pengalaman akan pendidikan? Tentu ini semua kembali kepada perempuan.
Tulisan yang dimuat dalam buku ini terdapat 5 bab yang mengupas dan memberikan jawaban yang sangat lugas kepada para pembaca mengenai relevansi antara al-Quran dan Kodrat Perempuan. Dalam buku ini, penulis mengutip argumentasi dari para mufassir al-Quran zaman klasik seperti al-Qurtubhi, mufassir pasca modern seperti Sayyid Quthb, sampai mufassir nusantara seperti Quraish Shihab. Bahkan, penulis juga mengambil argumentasi dari para pemikir islam seperti Katherine Robinson, Zaitunah Subhan, dan Faqihudin Abdul Qadir. Masing-masing mufassir membahas kodrat perempuan baik itu secara dimensi esensial maupun empiris. Kemudian, ia menyinggung makna kodrat perempuan yang ditinjau dari segi budaya yang mana gagasan peranan dan kedudukan perempuan dilihat secara tingkat-tingkat dari sisi harapan, nilai dan keadaban sosialnya. Dan yang terakhir, penulis menggabungkan beberapa relevansi kodrat perempuan yang dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya relevansi Qur’ani, relevansi Persepsional, dan relevansi Konseptual.

Berbicara tentang kodrat, diambil dari bahasa Arab yaitu qudrah. Penulis melacak kata qudrah itu sendiri dalam kamus al-Maurid yang mana arti terma dari kata qudrah adalah sama halnya dalam pengertian secara kodrati yaitu “a pre-determined God given nature or distinctive, original and natural quality of being”. Pengertian lain juga bisa kita ambil sebagai “ menetapkan segala sesuatu dengan adil dan bijaksana yang mana hal tersebut sesuai dengan kehendak dan ketetapan mutlak yang menaungi atau melingkupinya. Kata kadrat sendiri juga terdapat dalam beberapa ayat dalam al-Quran yang mana ia memiliki banyak derivasi (musytaq) di dalamnya. Seperti yang terdapat dalam QS.Al-Syuara’/42:27 yang diartikan sebagai ukuran, QS.an-Nisa/4:133 diartikan sebagai kekuasaan, dan yang terakhir QS.al-Muddatstsir/74:18 yang diartikan sebagai ketentuan.

Dua orang mufassir Indonesia, Qu3raish Shihab dan Nasharuddin Umar mewakili pandangan mayoritas ulama Islam di Indonesia dalam hal pewacanaan kodrat perempuan. Mengenai hal ini, Quraish Shihab menjelaskan relevansi kodrat perempuan dengan semangat kebijaksanaan yang ada, dimana posisi perempuan memiliki posisi ruang dan kesempatan yang sama seperti lelaki dengan syarat tidak melupakan kadratnya sebagai perempuan. Kemudian, Nasaruddin Umar ikut andil dalam memberikan argumennya mengenai pewacanaan kodrat. Apa yang Umar sampaikan memilki perspektif yang sama dengan Shihab, hanya saja Umar lebih memanfaatkan ilmu kesehatan / kedokteran untuk mengulas wacana kodrat perempuan ini. Sedangkan Shihab lebih mengarah kepada aspek psikologi sebagaimana rujukan pikirannya mengambil dari Helen Deutsch, seorang pakar psikolog yang menerangkan tentang kejiwaan perempuan.

Faqihuddin Abdul Qadir, pemikir islam dan penulis buku Qira’ah Mubadalah ini juga ikut menyinggung akan hal ini. Berbeda dengan faqih, ia lebih menjelaskan makna perempuan dengan menggunakan perspektif mubadalah. Melalui perspektif ini, ia mendiskusikan isu-isu fundamental dan eksistensial kemanusiaan dengan cara pandang kesalingan, dimana laki-laki dianggap bagian dari kehidupan perempuan, dan begitupun sebaliknya. Relasi antara keduanya harus diabangun atas kesetaraan, kebersamaan, keseimbangan, kesalingan dan kerjasama. Ada hal yangmenarik disini, Faqih membahas isu-isu perempuan ini dengan menggunakan perspektif kesalingan atau mubadalah ternyata ia terinspirasi dari sebuah Hadits yang merupakan pernyataan Ummu Salamah RA. Teks hadis lengkapnya sebagai berikut:

عن أمّ سلمة زوج النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم أنّها قالت فلمّا كان يومًا من ذالك والجارية تمشطني فسمعت رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم يقول أيّها النّاس فقلت للجارية استأخري عنّي قالت إنّما دعا الرّجال ولم يدع النّساء فقلت إنّي من النّاس
Artinya: “Ummu Salamah RA, Istri Rasulullah SAW berkata,”Pada suatu hari, ketika rambutku sedang disisir pelayan, aku mendengar Rasulullah SAW memanggil, “ Wahai manusia (kemari berkumpullah); Aku pun berkata pada sang pelayan, ‘Sudah dulu, biarkan aku pergi (memenuhi pangggilan tersebut); tetapi, ia berusaha menimpali (berusaha mencegah), ‘Nabi, kan, memanggil para lelaki(saja), tidak memanggil perempuan; ‘Aku menjawab’ (Nabi memanggil manusia), dan aku adalah manusia.” ( dikutip dari kitab Shahih Muslim, No.Hadits 6114).

Jadi, kesadaran bahwa perempuan bukan bagian dari “manusia” ini mengakar dalam masyarakat sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan pelayan Ummu Salamah RA. Sehingga, ketika ada pernyataan, panggilan, atau bahkan teks-teks secara umum yang berbicara subjektif manusia, seringkali difahami oleh beberapa orang bahwa hal itu ditunjukkan kepada kaum lelaki. Tetapi, setelah kita melihat bagaimana tindakan Ummu Salamah RA, istri Rasulullah, dan ia merupakan salah satu sahabat perempuan yang cerdas, berkat inspirasi ajaran yang mendasar dalam Islam, ia mendeklerasikan dengan tegas bahwa perempuan adalah manusia. Karena pada hakikatnya perempuan adalah sama sebagaimana laki-laki. Keduanya tercipta dari esensi yang sama, diturunkan ke muka bumi dengan misi yang sama yaitu sebagai khalifah untuk menebarkan kesejahteraan, kebaikan, kemasalahatan dan keadilan bagi manusia dan semesta alam. Dimuali dari rumah tangga hingga persoalan-persoalan kemanusiaan yang lebih luas di masyarakat bahkan penduduk dunia.

Setelah dijelaskan beberapa versi argument mengenai kodrat perempuan, penulis memberikan salah satu contoh permasalahan dikonstruksi dalam masalah kepemimpinan yang ditemui di kabupaten Tasikmalaya. Pada saat proses pemilihan kepala daerah pada akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011, salah satu kandidat partai golkar adalah seorang perempuan, ia bernama Dedeh T.Widarsih. Dedeh telah berhasil menjabat sebagai ketua partai Golkar di kabupaten tersebut. Selain itu, ia juga menduduki sebagai politisi senior yang aktif di masyarakat. Bahkan, yang lebih unik lagi, salah satu partai PPP yang telah kalah dalam pencalonan sebagai kepala daerah di Tasikmalaya meminta Dedeh untuk menjadi partner dalam pencalonan kepala daerah selanjutnya.
Sebenarnya, kualitas dedeh yang cukup berkualitas ini sangat mampu untuk naik tingkat menjadi Bupati. Tetapi sayang, kesempatan itu tidak diambil. Dedeh lebih memilih menjadi calon wakil Bupati dan mendorong salah satu delegasi kader laki-laki dari partai PPP untuk menjadi calon Bupati. Salah satu alasan yang disampaikannya adalah karena dia seorang perempuan dan masyarakat Tasikmalaya lebih mempercayai atau memberikan hak lebih kepada laki-laki sebagai pemimpin dari pada perempuan. Tentu hal ini sangat terlihat dari sikap masyarakat kabupaten Tasikmalaya bagaimana memandang perempuan dan memposisikannya sebagai urutan kedua setelah lelaki.

Poin yang dapat diambil dari tulisan ini adalah bahwa kodrat perempuan pada dasarnya memiliki pengertian yang sangat luas, keluasan maknanya bukan hanya meliputi aspek esensial saja, tetapi ia mampu memasuki aspek historis yang menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Adapun salah satu tantangan yang serius agar mewujudkan keadilan gender adalah cara pandang yang dikotomis pada laki-laki dan perempuan. keduanya berbeda dan pastinya akan terjadi pertentangan satu sama lain. Dan ini akan menyebabkan laki-laki diletakkan secara superior , sedangkan perempuan imperior sebagai pengabdi mereka. Justru, cara pandang ini akan melahirkan stigmatisasi pada perempuan. Stigma ini selanjutnya akan melahirkan ketidakadilan gender berupa kekerasan, subordinasi, dan peminggiran. Jika kejadian ini terus berlanjut, akan mempengaruhi system kehidupan yang melibatkan keduanya di berbagai level. Dan dampak negatifnya akan merata dari kehidupan perkawinan, masyarakat, hingga global. Jadi, dikotomi bukanlah jalan satu-satunya cara pandang pada perbedaan. Perbedaan bahkan keragaman bukanlah sumber konflik, melainkan modal sosial untuk maju bersama. (Rifa Tsamratus Sa’adah)

5 Responses

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *