Hari ini Sabtu tanggal 21 Agustus 2021 adalah waktu bersejarah tak terlupakan sebagai hari berkabung bagi saya pribadi karena pada hari Sabtu 21 Agustus 1976, (45 tahun lalu) ayahku bernama M. Sayadi (populer dengan nama Puanna Haruna) berpulang ke Rahmatullah, setelah mengalami sakit lumpuh, alias stroke selama kurang lebih 9 bulan. 

Sabtu 21 Agustus 1976 itulah, saya mulai menyandang status sebagai anak yatim, yang baru berusia delapan tahun, ditinggalkan sang ayah untuk selamanya. 

Ketika sang kakek DR. H. Muhammad Nawawi Yahya yang memberi nama saya Muhammad Wajdi, pulang dari Kairo Mesir tahun 1982 baru menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar, saya diajak ke rumahnya di Manjopahit Karama Tinambung Polman, Beliau banyak memberi semangat dan motivasi, di antaranya Beliau mengingatkan saya: 

ليس اليتيم مالا أب له ولكن اليتيم ما لا علم و لا أدب له

Bukanlah anak yatim itu yang telah meninggal ayahnya, akan tetapi anak yatim sebenarnya adalah yang tidak punya ilmu dan adab/akhlak.

Ananda harus banyak belajar terus dan tetap menjaga adab, akhlak dan etika, tidak boleh merasa minder dan malu hanya karena status anak yatim, karena ayahmu sudah wafat. Suatu saat nanti, Ananda akan ke Mesir. 

Ucapan dan nasehat Beliau selalu terngiang di telinga dan terbetik di hati, hingga saya bertekad harus rajin belajar dan mendekati para guru dan para ulama dan berniat suatu saat benar-benar ke Mesir saya akan cari Disertasi Beliau di sana. 

Akhirnya tahun 2009, ucapan Beliau terbukti, saya ke Mesir, dan saya mencari Disertasinya di Perpustakaan Universitas Al-Azhar, di Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia, dan Wisma Indonesia. Alhamdulillah Disertasinya terdiri atas 6 jilid saya temukan di Wisma Indonesia atas bantuan Adinda Abdillah Mandar yang sedang studi di Al-Azhar yang juga sepupu, cucu dari Dr. Muhammad Nawawi Yahya.  

Dalam usia delapan tahun hanya teringat, ayahku M. Sayadi di hari Sabtu wafatnya, tubuhnya ditutupi dengan lembar kain sarung. Diletakkan di ruang tengah rumah. Sementara rumah ramai dengan keluarga yang berdatangan melayat dan mengurus jenazah sang ayah yang telah menghadap ke Rahmatullah.   

Masih sempat teringat ayahku beberapa bulan sebelum wafat, hanya duduk tidak bisa berjalan kecuali mengesot dalam rumah dan tidak bisa bicara dengan baik dan lancar, karena sakit lumpuh atau stroke berat. 

Ketika ada yang mengganggu saya, maka Beliau sangat marah dengan eskpresi gerakan tangan, kaki, dan mulutnya. Terkesan Beliau sangat sayang terhadap saya sebagai anak bungsu. 

Walau tak sempat banyak berinteraksi langsung, merasakan sentuhan kasih sayangnya, namun dari penuturan dan cerita dari keluarga dan orang lain yang pernah bersama-sama banyak cerita tentang sifat karakter keberanian dan ketegasan ayahku. Rela berkorban untuk membantu dan menyelamatkan orang lain. 

Ketika ada orang lewat di hadapannya tidak tahu adab, dan dianggap kurang ajar, langsung ditampar disuruh pulang. 

Termasuk ketika ada orang pakai kopiah dengan gaya miring ke depan tampil seperti jagoan, ayahku tanpa menyapa dan bertanya langsung menamparnya sebagai teguran keras bagi orang yang kurang ajar. Anehnya,  orang yang pernah ditampar tak ada yang melawan. 

Ayahku tidak bisa menahan diri, apabila melihat ada orang yang teraniaya dan kurang ajar, apalagi sombong, pasti Beliau beraksi dan bertindak. 

Suatu waktu ada sahabatnya diserang orang dari arah belakangnya dengan keris yang sudah terhunus, ayahku dengan aksi cepat dan sigap melompat dan menangkap keris beserta orangnya sehingga sahabatnya selamat dari ancaman pembunuhan. 

Ayahku salah satu hobbinya adalah kuda pacuan dan pacuan kuda. 

Setiap momen pacuan kuda pasti Beliau ada dan tampil di depan. Kudanya terkenal dengan nama Ballang Sulawesi. (Ballang bahasa daerah artinya corak-corak seperti putih, hitam, dan lainnya) Di arena pacuan kuda pasti bertemu dan bersama dengan orang-orang jagoan. 

Saya masih ingat di rumah ada pedang panjang melengkung lengkap dengan sarung dan gagang terbungkus baja kuning emas, keris yang banyak garis berurat hitam-hitam lengkap dengan sarung dan gagang, badik dan lain-lainnya. Semuanya mungkin bagian dari atribut yang biasa dibawa ketika momen pacuan kuda.   

Ketika mengalami sakit lumpuh alias stroke, banyak keluarga dan orang lain berspekulasi, bahwa sakitnya karena gunu-guna, sebab biasa menampar orang dan banyak bergaul dengan orang-orang jagoan.  

Ayahku M. Sayadi juga biasa disebut Ampona Lu’lu, karena anak pertamanya Lu’lu (wafat tahun 1990), mempunyai anak enam orang, dan tujuh bersaudara , yaitu:

1. H. Abd Rasyid Kepala Maraddia. Anaknya ada 8 orang.

2. Hj. Raehan Puanna Baddia di Polewali. Anaknya ada 4 orang, di antaranya Hj. Andi Muliati yang wafat beberapa hari lalu, 5 Agustus 2021. 

3. Sahabuddin Puang Abu Papa’na Sahamia di Binuang. Anaknya ada 2 orang. 

4. M. Husain Daenna Ma’ata di Rumpa Mapilli Wonomulyo. Akanya ada 7 orang. 

5. H. Abdullah Puaji Allu Ajinna Nawabi wafat di Pare-Pare. Anaknya ada 8 orang. 

6. Puang Manang yang wafat dua tahun lalu, 18 Maret 2019. 

Ayahku 7 bersaudara ini lahir dari pasangan H. Muhammad Saleh dan Hj. Sitti Amah Daenna Marasati. 

Dari pihak garis ayahku M. Sayadi, ayahnya bernama H. Muhammad Saleh, dan ayahnya bernama H. Samba seorang pedagang, pebisnis ulung dan sukses pada zamannya sekitar abad  XIX M. Beliau mempunyai kapal dagang sendiri untuk jual kopra, dan barang lainnya yang berlayar sampai ke Padang Sumatera Barat. 

Salah seorang ulama besar Campalagian bernama KH. Abdurrahim, biasa Nungguru (Ulama) menyebutnya seperti imam Abu Hanifah, karena Beliau Ulama juga pedagang sampai berdagang ke Padang Sumatera Barat melalui jalur transportasi Kapal dagang, yakni salah satu pemiliknya adalah sang Kakek H. Samba.  

Dari pihak garis ibunya ayahku bernama Hj. Siti Amah, tapi paling popular dengan nama Daenna Marasati. Bahkan banyak orang tidak tahu, siapa itu Hj. Sitti Amah. 

Suatu saat, tahun 1980-an, di Desa Panyampa dibuka suatu Peta mengenai kepemilikan lahan tanah. Di dalamnya tertulis nama Hj. Sitti Amah. Mereka bingung, tidak tahu siapa Hj. Siti Amah pemilik lahan tanah ini. Begitu disebut nama Daenna Marasati, langsung pada mengerti. 

Daenna Marasati adalah putri Muhammad Yasin yang lebih Populer dengan nama Puanna Yeda. Kakek Puanna Yeda inilah ayahku banyak saudara sepupu, karena istrinya ada empat orang dan semuanya mempunyai anak. 

Puanna Yeda bersaudara dengan Daenna Petti (ayahnya H. Abd Majid Kapala Panyampa Matoa), Daenna Parrang (ayahnya H. Andi Alimuddin Kapala Desa Tumpiling Matoa), dan Daenna Sumanga (ayahnya Puang Minja. Empat bersaudara ini adalah anak dari Tongai sebagai anak dari Ammana Ma’jju Maraddia Campalagian yang menyetujui perpindahan Masjid Raya Campalagian dari Banua ke Kampung Masigi tahun 1828 M. 

Dari jalur pihak ibunya ayahku Daenna Marasati, ibunya bernama Tandai bersaudara dengan H. Muhammad Ali, Fatimah ibunya DR. H. Muhammad Nawawi Yahya, dan ayahnya Hj. Huduna (Puang Hudu) ibunya Dr. H. Abdillah Mandar, juga bersaudara dengan orang tuanya Rusli Abdullah (ayahnya Gazali) dan Basri Abdullah, serta orang tuanya ibunya H. M. yasin Sauru. 

Mereka bersaudara ini adalah putera-puteri dari Puanna Lau Juga dikenal sebagai Pedagang pebisnis ulung dan sukses pada zamannya. 

Bahkan Beliau ini, Puanna pernah membeli sebuah sebuah Penginapan (semacam apartemen sakarang ini) di Mekah. 

Ketika Puanna Lau sekeluarga pergi naik Haji sekitar tahun 1800-an (abad XIX M, menginap di sebuah Penginapan di Mekah. Oleh karena pelayanannya dianggap tidak sopan dan kurang ajar, Beliau tersinggung dan berinisiatif untuk membeli penginapan itu. 

Dalam perkembangannya hingga tahun 2001, ketika Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, menjabat sebagai Duta Besar RI di Riyadh, kakek H. Abdullah Ali putera H. Muhammad Ali sebagai ahli waris dari Puanna Lau masih sempat mengurus mengenai keberadaan Penginapan itu yang sudah menjadi hotel di Mekah. 

Begitu juga dari jalur pihak ibuku Juniara binti H. Aco, 9 bersaudara dengan 36 orang anak putera-puteri. 

Saya sudah menelusuri dan mencatat silsilahnya sampai ke To MatinroE ri Dara’na dan To Salama’ di Panyampa bernama Syekh Muhammad Amin, keduanya adalah penyebar agama Islam awal di Mandar khususnya di Campalagian pada abad XVIII M sekitar tahun 1750-an. 

Sebagaimana dituturkan di atas, dari garis sislislah pihak ayahku, 7 bersaudara, kami ada 35 orang bersepupu satu kali.  Dan dari ihak ibuku 9 bersaudara dengan 36 anak. Berarti kami ada 71 orang bersepupu satu kali. 

Beberapa tahun lalu pernah, ditelusuri sepupu dua kali dari garis pihak ayah dan ibu, jumlahnya mencapai ratusan orang. 

Catatan ini mengenang 45 tahun wafatnya ayahku sekaligus sebagai wujud rasa cinta padanya dan keluarga besar yang saat ini sudah bertebaran di berbagai tempat dengan peran dan pengabdian masing-masing. 

Semoga dengan tulisan ini, sebagai doa dan dapat menjadi penyambung dan perekat kembali. 

Sekaligus dimohon keluarga silakan mengoreksi, baik nama maupun waktu.  

اللهم رب اغفرلي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا ولجميع آبَائنَا وَاُمَّهَاتِنَا وَاَجْدَادنَا وَجَدَّاتِنَا واخواننا وأولادنا وَمَشَايِخَنَا وَاَسَاتذَنا 

اللهم اجعل قبورهم روضة من رياض الجنة وادخلهم الجنة مع الأبرار

لله ولهم الفاتحة

Pontianak, 21 Agustus 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *