- Mengenang Sang Proklamator Indonesia dari Tanah Kelahirannya
“Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus. Bukittinggi adalah sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah dataran tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang dan di sebelah utara kelihatan pula melingkung cabang-cabang Bukit Barisan”
Begitulah gambaran Kota Bukttinggi, Sumatera Utara, kampung kelahiran sang proklamator yang digambarkan oleh Bung Hatta dalam Memoir-nya.
Beliau dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Putra pasangan Syekh Haji Muhammad Jamil dan Ibu Saleha ini dikenal sebagai tokoh yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia bersama Bung Karno.
Santri Syekh Jamil Djambek ini juga terkenal sebagai tokoh yang membawa kemajuan dalam perekonomian Indonesia lewat Koperasi sehingga gelar Bapak Koperasi Indonesia disandang olehnya.
Memang jasadnya telah lama meninggalkan alam fana pada 14 Maret 1980 di Jakarta dan dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta. Namun di kota kelahiran Wakil Presiden Pertama ini masih dapat kita kunjungi peninggalan bersejarah tokoh bangsa ini, salah satunya yakni rumah kelahiran dan masa belianya. Rumah Kelahiran Bung Hatta berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta No.37, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Biografi Singkat Sang Pengharum Bangsa
Dalam Komik Sejarah Muhammad Hatta terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa nama yang diberikan kedua orangtuanya sebenarnya Muhammad Athar, Athar berarti harum. Karena penduduk kesulutan menyebutnya, mereka memanggil Atta dan lama kelamaan menjadi Hatta.
Ayah kandungnya Haji Muhammad Djamil adalah putra dari Syekh Arsad Batuhampar. Ayahandanya wafat saat berusia 30 tahun, saat Bung Hatta masih berumur 8 bulan. Sepeninggal ayahnya, Bung Hatta diasuh oleh ibu dan kakeknya.
Bung Hatta dalam Memoirnya menceritakan tentang Ayah Gaek-nya, Syekh Arsad yang merupakan putra sulung dari Datuk Syekh Abdul Rahman, Ulama Besar Minangkabau dari Payakumbuh. Buyut Bung Hatta tersebut dijuluki Syekh Batuhampar. Saat itu Batuhampar terkenal sebagai pusat pendidikan Islan dari seluruh Sumatera, Kalimantan bahkan sampai semenanjung Melaya. Batuhampar juga menjadi pertahanan agama islam dari serbuan bangsa kulit putih di Minangkabau yang sudah mendesak islam sampai pinggiran.
Menurut Ibu Desiwarty, Staf Rumah Kelahiran Bung Hatta, di Rumah sederhana inilah Bung Hatta dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya sampai berusia 11 tahun. Di Bukittinggi beliau menempuh Sekolah Rakyat (SR). Di samping belajar di sekolah Hatta juga mengaji ke Surau.
Menginjak usia remaja, pada tahun 1913 Bung Hatta melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO) atau setingkat sekolah menengah pertama di kota Padang. Selama di Padang beliau tinggal bersama ayah tirinya, Haji Ning. Lulus Mei 1919 dari MULO, Hatta melanjutkan pendidikan di Prins Hendrik School, Betawi. Beliau berangkat ke Pelabuhan Tanjung Priok dengan Kapal KPM pada pada Juni 1919.
Kemudian barulah pada tahun 1921 beliau melanjutkan studi ke Roterdamse Handels Hoge School, Belanda pada usia 19 tahun. Keberangkatan Hatta ke Negeri Kincir Angin itu dimulai dari Teluk Bayur, Padang dengan kapal Rooterdamse Lloyd pada 3 Agustus 1921 dan sampai Pelabuhan Rotterdam pada 5 September 1921.
Selama di Belanda, selain belajar beliau juga belajar berorganisasi dengan mengikuti Perkumpulan Mahasiwa Indonesia (Indische Vereninging). Kemudian tahun 1912 namanya berubah menjadi Indonesische Vereniging dan akhirnya berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Dari sinilah bakat kepemimpinannya terasah dari perhimpunan yang kemudian berubah menjadi organisasi politik dengan nama Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia sebagai pos depan pergerakan nasional yang berada di Eropa.
Hatta menyelesaikan studinya di Belanda 5 Juli 1932. Hatta kembali ke tanah air selama 11 tahun menimba ilmu di negeri yang menjajah Indonesia selama tiga setengah abad lamanya. Sepulang dari Belanda, Hatta giat berkomunikasi dengan para pejuang yang di kemudian hari mencapai puncaknya dengan terlaksananya Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, dan Hatta didaulat menjadi Wakil Presiden Indonesia mendampingi Ir. Soekarno. Beliau menjabat RI-2 sampai tahun 1956.
Setelah 78 tahun berjuang, Bung Hatta menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Beliau meninggalkan istrinya Rahmi Rachim (wafat tahun 2000) yang dinikahinya pada 18 Nopember 1945. Dari pernikahannya Hatta dikaruniai tiga orang putri: Meutia Farida, Gemala Rabiah dan Halida Nuriah. Jasadnya dikebumikan esok harinya TPU Tanah Kusir.
Riwayat Rumah Kelahiran Bung Hatta.
“Rumah tempat dilahirkannya Bung Hatta didirikan sekitar 1860 dan menggunakan struktur kayu dan bambu terdiri dari bangunan utama, pavilion, lumbung padi, dapur, dan kandang kuda, serta kolam ikan” Jelas Bu Desi
Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta. Sedangkan pavilion berfungsi sebagai kamar tidur Bung Hatta.
Rumah asli tempat Bung Hatta dilahirkan sudah runtuh pada 1960-an, tetapi atas gagasan Ketua Yayasan Pendidikan Bung Hatta, maka rumah tersebut dibangun ulang sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi.
Penelitian pembangunan ulang dimulai dari November 1994 dan dimulai pada 15 Januari 1995. Rumah ini diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia merdeka.
Dikutip dari laman Rapper.comdikatakan bahwa Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya yang dapat dilihat di memoir Bung Hatta dan berbagai foto atau dokumentasi milik keluarga Bung Hatta. Sebagian besar perabotan di dalam rumah masih asli dari peninggalan masa kecil Bung Hatta yang diperoleh dari keluarga dan kerabat beliau, begitupun tata letak perabotan tersebut masih dipertahankan di tempat asalnya.
Di Ruang tamu kita dapat melihat galeri sepak terjang Bung Hatta dari foto-foto masa kecil, remaja, dewasa sampai kewafatannya. Begitu juga foto dokumentasi keluarga besar, guru dan kawan perjuangannya. Salinan teks proklamasi, catatan, piagam, lukisan juga bisa disaksikan di ruang utama ini.
Di bagian belakang Rumah Kelahirannya, kita mendapati Kamar Bung Hatta semasa remaja yang didalamya dapat kita saksikan selain kasur, meja dan almari, juga terpajang sepeda onthel kuno yang didapatkannya pada usia 8 tahun. Disamping kamar yang berada di bagian belakang rumah, terdapat juga terdapat, taman kecil, kandang kuda, dan dapur, dan lumbung.
Lumbung tempat penyimpanan padi. Dinding terbuat dari sasak atau semacam “gedek” dalam bahasa jawa yang terbuat dari bambu, agak tebal. Sebagian besar dinding rumah Kelahiran Bung Hatta baik dinding maupun plafon dilapisi bahan seperti ini.
Ruang makan keluarga Hatta berada di depan dapur. Didalamnya terdapat tangga yang membawa pengunjung memasuki lantai dua dari bangunan kuno ini kita dapat menyaksikan Kamar orangtua Bung Hatta, di kamar itulah beliau dilahirkan. Ditengah-tengah juga terdapat meja pertemuan keluarga, foto-foto keluarga Bung Hatta. Kamar kakeknya berada di sebelah utara.
Bung Hatta Nyantri
Bung Hatta semaca kecilnya ternyata juga seorang santri. Selain mengaji kepada ayahnya sendiri Syekh Haji Muhammad Jamil. Syekh Muhammad Djamil Djambek disebut Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi sebagai guru spiritualnya. Foto gurunya tersebut juga terpampang di rumah kelahirannya.
Hatta menyebut Syekh Muhammad Djamil Djambek seorang ulama besar yang terkenal sampai ke luar daerah. Beliaulah yang pertama kali membimbing langkah Hatta ke jalan pengetahuan Islam.
Dalam catatan Faisal Basir disebutkan bahwa Syekh Muhammad Djamil Djambek lahir tahun 1860 di Bukittinggi. Beliau adalah anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi, ada juga yang menyebutnya dari Sunda. Disebut Jambek karena Syekh Djamil semasa hidupnya berjanggut tebal.
Syekh Muhammad Djamil Djambek menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Dia diajak ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.
Dikutip dari laman sindonews.com, Saat tinggal di Mekkah, dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama di Tanah Suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan, antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut, Syekh Muhammad Djamil Djambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami, yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Karena itu, saat berada di Tanah Suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah, seperti Ibrahim Musa Parabek (Pendiri Perguruan Thawalib Parabek), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyyah), serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Thawalib Padang Japang Lima Puluh Kota).
Tahun 1903, Syekh Muhammad Djamil Djambek kembali ke Tanah Air. Sepulang dari tanah suci, beliau lalu mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyiak (Kakek) Jambek. Di Surau Tangah Sawah inilah Mohammad Hatta atau Bung Hatta belajar mengaji.
Kepada Syekh Djamil beliau mengaji sejak umur 5 tahun sampai tamat Sekolah Rakyat (SR). Selama mengaji beliau jarang pulang ke rumah sering pula tidur di surau tersebut. Surau atau musholla memang menjadi tempat belajar agama islam bagi anak-anak Minangkabau.
Selain Rumah Kelahiran, di Kota Bukittinggi ini kita dapat pula berkunjung ke Istana Bung Hatta, Balai Sidang, Taman Monumen yang berlokasi tak jauh dari Jam Gadang. Jam Gadang merupakan landmark Kota Bukittinggi yang berdiri sejak 1926. Jam Gadang menjadi jam kedua di dunia setelah Jam Big Ben, London Inggris yang digerakkan secara mekanik.
Atas jasa besarnya bagi Republik Indonesia negara memberi Bung Hatta gelar pahlawan proklamator bersama Bung Karno. Namanya juga diabadikan menjadi nama jalan, bandara terbesar Indonesia Soekarno-Hatta dan sebuah kampus besar di Padang, Ibu Kota Sumatera Barat. Kampung halamannya juga memberinya gelar Datuk Sun Dirajo yang disematkan oleh Pengurus Kerapayan Adat Kurai Jurong Bukittinggi. Selain itu, setiap tahun juga diadakan agenda Bung Hatta Anti-Corruption Award, sebuah penghargaan yang diberikan kepada tokoh anti korupsi di tanah air.
Berkunjung ke peninggalan sejarah pahlawan ini sungguh diperlukan untuk mengenang jasa dan merefleksi perjuangan mereka. Dengan itu kita dapat termotivasi untuk mengisi kemerdekaan ini yang lahir dari doa dan perjuangan rakyat. Selain itu juga mengingatkan kita agar tetap menanamkan semangat persatuan dan kesatuan yang telah diperjuangkan para Founding Father bangsa ini agar tidak tercerai berai. Sebagaimana Bung Hatta pernah berkata:”Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta”.
No responses yet