Categories:

Tulisan ini sedikit menyunting catatan mas Afif M Salim  (Hafifuddin) dengan pengurangan dan tambahan narasi terkait tradisi “ilmiah” yang khas dan menarik dikaji.

Kita sering menjumpai di setiap kolofon pada naskah kuno, ungkapan yang begitu merendah dan tawadhuk dari para mualif atau sang pengarang kitab. Begitulah mereka, para ulama terdahulu menunjukkan tata krama yg luar biasa di hadapan dzat yang Maha Luas ilmuNya, Allah swt.

Namun demikian sikap merendah itu tidak pernah ditunjukkan kepada sesama para ulama  Kenapa? Ada apa?

Kita tidak perlu menduga-duga selain berusaha husnudzon, bahwa apa yg mereka tunujkkan merupakan bentuk ber-fastabiqul khairat, berlomba-lomba melahirkan karya yg bermanfaat bagi umat.

Dan pada kenyataannya, “saling merasa unggul” itu justru melahirkan sesuatu yg positif bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya  peradaban Islam pada masa lalu.

Seperti apa bentuk saling merasa unggul itu?

Ketika Syaikh Ibnu Mu’thi menulis nazham Alfiyah (dalam fan Nahwu), di kemudian hari sang murid, Syaikh Ibnu Malik meneruskan jejak kepakarannya di bidang nahwu dan mengarang nazham, di mana pada bagian pengantarnya, beliau menulis: 

فائقة ألفية ابن معط

“Alfiyah saya ini lebih unggul dari Alfiyah (guruku) Syaikh Ibnu Mu’thi.”

Saat Imam Suyuthi  menulis Alfiyah ia juga berkata:

فائقة ألفية ابن مالك

“Alfiyah saya ini lebih unggul dari Alfiyah Syaikh Ibnu Malik.”

Tidak mau kalah, Syaikh al-Ajhuri al-Maliki juga menulis Alfiyah juga dan bernazham:

فائقة ألفية السيوطي 

“Alfiyah saya ini lebih unggul dari Alfiyahnya  Syaikh as-Suyuthi.”

Imam as-Suyuthi tidak hanya menulis Alfiyah dalam bidang ilmu Nahwu, tetapi juga dalam Ulumul Hadits.Dalam pengantarnya, beliau menyatakan:

فائقة ألفية العراقي 

“Alfiyah saya ini lebih unggul dari Alfiyah Syaikh Zainuddin al-Iraqi.”

Karya as-Suyuthi tersebut kemudian di-syarah oleh salah satu ulama Nusantara yang menetap di Mekah, yaitu Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at-Tarmasi, dengan karyanya : Manhaj Dzawi an-Nazhar fi Syarh Manzhumah Ilm al-Atsar.

Dalam kitab tersebut, ternyata jumlah nazhamnya tidak mencapai seribu bait, hingga Syeikh Mahfuzh menggenapinya menjadi seribu. Apa yg ditunjukkan merupakan bentuk tanggungjawab ilmiah, bahwa beliau memang pantas mensyarah karya ulama sekaliber Assuyuthi, dan tindakannya sama sekali tak mengurangi rasa hormatnya, juga kehormatan Assuyuthi.
Syarah ini ditulis sekitar empat bulan setengah, mulai awal Dzulhijjah 1328 H. dan selesai pada waktu Ashar hari Jum’at, 14 Rabiul Akhir 1329 H,  di Mekah.

Mengenai tradisi “persaingan” dan  berbalas kritik lewat karya ini sempat berlanjut di era Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, saat pendapat beliau dalam beberapa karya tulisnya dikritik oleh para koleganya, juga lewat karya.

Salah satunya pendapat Mbah Hasyim tentang haramnya kentongan dalam kitabnya Al-Risalah al-Musammah bi al-Jasus fi Bayani Hukmi al-Naqus, dikritik oleh Kiai Faqih Maskumambang lewat kitabnya Hazzi al-ru’us.

Kritik, bahkan dengan menunjukkan keunggulan dalam bidang ilmu memang diperlukan bila itu memberi dampak positif dan menggairahkan dunia intelektual, bukan caci maki dan sumpah serapah di antara kaum muslimin.

Dan bila saat ini Gus Baha secara terbuka mendakwakan dirinya sebagai ulama, orang boleh saja menyebutnya sombong, meski  tujuan beliau tak lain  agar masyarakat awam tidak tertipu dengan kemunculan para ustaz dan ulama abal-abal produk meddos yg banyak bergentayangan menyesatkan umat.

Wallahu a’lam 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *