Jaringansantri.com – Pesantren Cidahu merupakan pesantren yang didirikan oleh KH Muhammad Dimyati. Masyarakat lebih mengenalnya dengan Abuya Dimyati. Seorang tokoh ulama karismatik dan kiai pengamal thoriqoh asal Cidahu, Banten. Pesantren tersebut terkenal karena sosok Abuya Dimyati dan kiprah santrinya yang banyak memberikan konstribusinya kepada Masyarakat.
Abuya Dimyati (w. 2003) termasuk ulama produktif dalam mengarang kitab. Salah satu kitab karangannya adalah Kitab “Ashlu Al Qadr Fi Qashasi Fadhaili Ahli Badr” yang berisi Nadzaman nama syuhada pada perang Badar. Perang Badar sendiri adalah peperangan masa Nabi Muhammad yang masyhur terdengar.

Kemasyhuran perang Badar bahkan sampai diceritakan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Imran: 123). Sekitar 314 orang sahabat Nabi yang ikut dalam peperangan Badar harus menghadapi 1000 orang kafir Quraisy di daerah Badar. Tanpa persenjataan yang lengkap.
Kisah penuh kegentingan dan heroik para sahabat inilah yang dipuji Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam Kitab “al-Maghazi” oleh Imam al-Waqidi sebagai “kaum muslim terbaik”. Karenanya wajar kemudian, banyak kita dapati kisah-kisah para sahabat yang mengikuti perang Badar yang ditulis oleh para Ulama. Salah satunya Kitab “Ashlu Al Qadr” yang kini sedang kita bahas.
Kitab “Ashlu Al Qadr Fi Qashasi Fadhaili Ahli Badr” selesai dihimpun oleh Abuya Dimyati pada tanggal 4 Juni 1965. Dengan bait seluruhnya yang berjumlah 148 bait, Abuya Dimyati menggunakan wazan qobliyah dan berirama (bahar) syamil dalam penulisannya. Dari 148 bait ini, Muqoddimah dan do’a-do’anya saja di akhir yang merupakan asli karangan Abuya Dimyati, selebihnya Abuya mengutip dari beberapa referensi lainnya.
Secara keseluruhan, Abuya Dimyathi banyak me-nuqil (menyalin) nama-nama sahabat Ahli Badar yang berbentuk nazhaman dari kitab “Jabri al-Kasar” karangan Syaikh Musthafa Rusydi ad-Dimasyqi. Selanjutnya Abuya Dimyati memberi tambahan berupa mukaddimah dan penutupnya berupa doa dengan gaya nazhaman mengikuti susunan nazhaman pada bagian isi dari kitab Jabri al-Kasar. Namun terlepas dari itu semua, Abuya Dimyati adalah orang yang mempopulerkan nazaman Asma Badar ke para santri Cidahu hingga kini.
Kitab dengan berbentuk gubahan syair nazam ini selalu dibaca Abuya dan masyarakat setiap ada acara doa bersama (istighotsah). Selain diyakini memberikan keberkahan, oleh masyarakat, kitab ini juga diyakini dapat dijadikan sebagai penangkal kesulitan hidup dan gangguan makhluk.
Ahmad Reza Fahlevi, menjelaskan dalam penelitiannya yang mengulas kitab ini dengan judul Nazham Pesantren Cidahu: Kajian Sosiologi Sastra Kitab Ashlu al-Qadar fi Khasaisi Fadhaili Ahli Badar, bahwa ketertarikan masyarakat akan nazam ini karena dipengaruhi keadaan masyarakat saat itu. Masyarakat meyakini nazam tersebut bertuah dan memberi berkah. Penelitian ini yang juga menjadi tema utama pada Webinar Kajian Islam, Sejarah, dan Asas Moderatisme seri-2 yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah ini pada Sabtu lalu (06/03/2021).
Dalam webinar tersebut, Reza juga menceritakan, bahwa Abuya Dimyati disinyalir pernah menyampaikan, “Barangsiapa yang membaca Ashlul Qadr, maka dia akan mendapatkan penjagaan oleh Allah, membuat seseorang terlihat kuat di depan musuhnya, mendapatkan pangkat kewalian, dan dengan keberkahannya juga dapat dihilangkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi”.
Pandangan Abuya Dimyati ini tentu tidak lepas dari keadaan masyarakat saat itu. Kenyataan ini diperkuat penelitian Reza dalam menggunakan Teori Sosiologi Sastra. Ia menemukan bahwa orang meneliti suatu kitab tidak hanya tekstual kitab-kitab ulama zaman dahulu, tetapi perlu juga melihat konteks bagaimana kitab itu hadir ditengah masyarakat. Ketika sosiologi dikaitkan dengan sastra maka yang dikaji tidak hanya masyarakat dengan masyarakat tetapi ini adalah sastra dengan masyarakat bagaimana sastra ini bergaul dimasyarakat.
Pun demikian dengan melihat kitab Ashlu al-Qadr. Konteks zaman dimana kitab ini dibuat, adalah realitas masyarakat yang masih mempercayai hizib/ syair yang mempunyai daya magis dan mistis. Realitas ini sejalan dengan pandangan Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia bahwa Banten adalah The Central spot of Magical Practice yang merupakan salah satu pusat dari praktik magis yang ada di Indonesia. Ini dibuktikan dengan melihat banyaknya atraksi debus dan mantra-mantra yang bertebaran di daerah Banten.
Dapat dipahami bahwa di Indonesia kaya dengan mantra-mantra untuk kesembuhan. Hal ini mengingat kultur dan masyarakat kita yang masih kuat memegang banyak keyakinan agama berbalut keyakinan lokal. Namun justru di sana fungsi sosial Kitab Ashlu al-Qadr ini berperan. Secara tidak langsung, Abuya Dimyati mampu mengganti kultur masyarakat yang mulanya senang dengan mantra-mantra kemudian menjadi nazaman yang secara perlahan mulai banyak dikenal masyarakat.
Kitab ini kiranya juga berusaha menjadi agent of change terhadap budaya lama yang melekat di Banten secara bertahap. Dahulu setiap orang yang berusaha untuk menolak musibah, menyembuhkan orang sakit, menghindar dari kejahatan orang, banyak dilakukan melalui ritual-ritual yang dinilai kurang islami. Dengan hadirnya kitab Ashlu al-Qadar, melalui pendekatan sastra ini, mampu menjadi alat yang lebih agamis karena berisi seperti shalawat, tabarrukan dan doa- doa. Kitab ini memang mengubah kesenangan mantra-mantra masyarakat Banten, namun kitab ini tetap mempertahankan kultur sosial dan religiusitas masyarakat setempat. Mengubah isi gelas, bukan gelasnya.