Jakarta Timur, jaringansantri.com
Perkembangan pesantren hingga kini masih eksis dengan mengajarkan nilai-nilai keislaman yang moderat dan toleran. Ini tidak lepas dari peran para arsitek pesantren Nusantara.

Hal itu dijelaskan dalam disertasi yang ditulis oleh Abdurrahman Mas’ud “Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren.” Disertasi ini dijadikan tema Kajian Islam Nusantara Center (INC) yang diselenggarakan di rumah pribadi pak Dur, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur. Sabtu, 01 Desember 2018.

Zainul Milal Bizawie yang hadir sebagai pembicara dalam kajian tersebut memaparkan pembacaannya terhadap disertasi yang ditulis tahun 90 an itu.

Gus Milal mengatakan bahwa disertasinya pak Dur ini sangat tepat. Karena pesantren tahun 1990 an itu kurang mendapat perhatian dari para akademisi. “Disertasi pak Dur ini menengahi dua desertasi dari pak Azyumardi Azra dan pak Dhofir,” katanya.

“Disertasi pak Dur ini melihat ulama sebagai arsitek pesantren. Melihat bagaimana jaringan ulama ini memiliki peran masing-masing,” terang sejarawan muda NU ini.

Pertama, Syekh Nawawi al Bantani, ini sebagai ahli hadis, fiqh, ahli hadits dan lainnya. Syekh Nawawi menjadi titik penghubung antara abad 18 dan 19, sehingga memiliki semua keilmuan tersebut atau multidisipliner. Ini kategori pertama menurut pak Dur. Kategori kedua adalah kategori tokoh yang memiliki keilmuan khusus. “Dalam hal ini beliau mencontohkan Syekh Mahfud At-Termasi sebagai ahli hadis,” kata Gus Milal.

Ketiga, KHR. Asnawi Kudus, sebagai ulama yang dakwah keliling. Kemudian keempat, ada Syaikhona Kholil Bangkalan, sebagai kiai yang memiliki ilmu hikmah.

Ulama tersebut memiliki peran masing-masing. Syekh Nawawi selalu mengarahkan santri yang selesai belajar di Haramain. Sebelum terjun ke masyarakat, perlu nyantri dulu ke Mbah Kholil.

Jadi, lanjut Gus Milal, ada proses nusantaraisasi. “Tidak seperti sekarang ini, dari Mekah, dari Mesir, langsung ke masyarakat. Akhirnya kaget. Kalau dulu, santri dari Mekah nyantri dulu ke mbah Kholil sebagai ulama khos,” katanya.

Penulis “Masterpiece Islam Nusantara” ini mengatakan “mbah Kholil Bangkalan ini, lebih menekankan pada akhlaknya, metode dakwahnya. Ini bisa dilihat pada sosok kiai Asnawi Kudus dan Syekh Sholeh Darat Semarang. Ulama yang dakwah ke masyarakat dengan menggunakan bahasa masyarakat. Makanya ada karya bertuliskan “arab pegon” dari kedua ulama tersebut.”

Dan kategori kelima, ada ulama pergerakan atau movement kiai.  Inilah kategori yang disebutkan pak Dur. Di luar ini juga bisa dilihat sisi kekhususan ulama lainnya.

Senada dengan Zainul Milal Bizawie, Direktur INC Ah. Ginanjar Sya’ban menilai disertasi yang ditulis Prof. Abdurrahman Mas’ud ini sangat penting dikaji kembali. Ia kembali menyimpulkan lima tokoh ulama yang menjadi arsitek Pesantren menurut pak Dur.

Tokoh tersebut antara lain, Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfud Termas, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Sholeh Darat atau KHR Asnawi Kudus dan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.

Menurutnya, disertasi itu, memaparkan dengan jelas, bagaimana pesantren di Nusantara ini, terbentuk polanya. “Bukan hanya karakternya, juga sejarahnya, jaringan ulamanya, dan yang paling penting adalah kurikulumnya,” kata penulis buku Mahakarya Islam Nusantara ini.

Oleh karena itu, Ginanjar menilai, kajian pesantren belum lengkap jika tidak meneliti karya Prof Abdurrahman ini. Selain itu, ada dua karya terkait bagaimana Pesantren terbentuk.

Pertama, kitab Shofhat min Tarikh Makkah Al Mukarromah karya Snouck Hurgronje di mana di dalamnya dibahas bagaimana Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Makkah, siapa murid-muridnya, kitab-kitab apa yang ditulis, dan bagaimana pengaruhnya di Nusantara.

Kedua, kitab Al-Kitab al-Arobiy fi Indunisiy karangan Marti Van Bruinessen,  buku ini merupakan karya seorang Belanda yang membahas mengenai bagaimana kurikulum pesantren itu terbentuk di Nusantara.(Damar Pamungkas)

One response

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *