Setiap manusia sudah ditentukan qadha (ketetapan) dan qadar (takdir)-nya oleh Allah Swt. Namun demikian, Allah selalu membuka ruang ikhtiar (usaha) bagi manusia untuk mengubah keadaan atau nasibnya.
Dalam beberapa literatur tentang ‘aqaid (akidah) disebutkan bahwa para ulama membagi takdir dalam dua kategori, yaitu takdir mubram, dan takdir mu’allaq.
Takdir mubram adalah qadha dan qadar yang tidak dapat dielakkan, pasti terjadi pada diri manusia dan manusia tidak mempunyai opsi untuk menentukan pilihannya. Takdir jenis ini, misalnya seseorang tidak bisa memilih jenis kelaminnya ketika ia dilahirkan. Ia tidak bisa memilih untuk menjadi laki-laki atau perempuan. Ini merupakan wilayah kekuasaan atau hak prerogatif Allah Swt.
Juga takdir tentang siapa orang tua kita. Kita pun tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh seorang konglomerat, misalnya, atau memilih menjadi anak seorang menteri, atau kyai. Pun takdir tentang kondisi fisik kita. Kita tidak bisa meminta dilahirkan dengan paras yang cantik atau rupawan, kulit putih atau kuning langsat, rambut ikal atau lurus, ada tahi lalat atau tidak. Kita pun tidak bisa menolak ketika dilahirkan dalam kondisi tidak sempurna fisiknya, yakni cacat, misalnya. Kesemua itu merupakan kekuasaaan mutlak Allah Swt. Kita tinggal menerima kenyataan yang ada dengan penuh rasa syukur. Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah mengingatkan:
“Barangsiapa tidak rela atas keputusan-Ku atau takdir-Ku, maka hendaknya ia mencari Rabb selain-Ku.” (HQR. Imam Baihaqi melalui Anas ra)
Masih banyak kelebihan yang diberikan Allah kepada kita. Jangan terus menerus meratapi kondisi yang ada pada diri kita. Hanya dengan sabar dan ikhlas menerima keadaan inilah yang akan menjadikan kita bernilai di hadapan Allah. Karena takdir jenis ini memang tidak ada ruang bagi kita untuk berikhtiar.
Adapun takdir mu’allaq adalah qadha dan qadar yang tergantung dengan usaha atau ikhtiar manusia, sesuai kemampuan yang ada pada dirinya. Contoh paling mudah dari takdir jenis ini adalah yang sering kita sebut dengan istilah tiga misteri Ilahi, yakni rizki, jodoh dan ajal.
Memang, sudah menjadi pandangan umum di masyarakat bahwa ketiga misteri Ilahi tersebut, yakni rizki, jodoh dan ajal sudah menjadi ketetapan dan hak mutlak Allah. Hal ini kadang-kadang menimbulkan sebuah anggapan bahwa manusia tinggal menerima saja apa yang Allah tetapkan. Mereka yang berpandangan seperti ini seringkali hanya pasrah menerima kenyataaan tanpa ada usaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik.
Misalnya, seseorang yang hidup dalam kondisi serba kekurangan alias miskin. Kemudian dia merasa sudah berusaha untuk bekerja mencari uang, tetapi kondisinya tak kunjung membaik. Akhirnya dia mengatakan pada dirinya sendiri, mungkin sudah nasibnya menjadi orang miskin. Lantas dia hanya melakukan rutinitas pekerjaan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Padahal, Allah membentangkan rizki-Nya begitu luas di muka bumi ini. Seandainya saja, si miskin tadi mau ‘berkeringat’ berusaha lebih giat dan bekerja lebih keras lagi, memutar otaknya untuk mencari peluang usaha yang lebih menjanjikan, disertai permohonan yang tiada henti kepada Allah, tidak hanya pasrah pada nasibnya, insya Allah peluang untuk hidup lebih baik akan terbuka lebar.
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” (QS. An-Najm : 39-40).
Contoh lain misalnya berkaitan dengan masalah jodoh. Allah memang sudah menetapkan bahwa setiap makhluknya diciptakan berpasang-pasangan. Tetapi tentunya, seseorang tidak akan mendaptkan pasangannya tanpa adanya usaha untuk menemukan pasangannya tersebut. Kalau seseorang beranggapan bahwa jodoh sudah diatur oleh Allah, nanti kalau sudah saatnya pasti akan ketemu jodohnya, tanpa ada usaha untuk mencari atau menemukannya, sampai kapan pun dia tidak akan mendapatkan jodohnya.
Maka, tugas manusia adalah berusaha atau berikhtiar dengan segala daya dan upaya. Ketika itu sudah dilakukan selanjutnya serahkan segala hasil usaha, yakni bertawakkal kepada Allah.
Adapun berkenaan dengan takdir Allah tentang ajal atau kematian, manusia pun diberi ruang untuk ikhtiar. Misalnya, seseorang yang menderita sakit, maka ikhtiar yang harus dilakukan adalah segera mengobati sakitnya dengan memeriksakan diri ke dokter, atau berobat dengan cara alternatif, yang tidak melanggar ajaran agama. Karena jika tidak segera diobati maka sakitnya akan bertambah parah, dan tidak menutup kemungkinan ajal atau kematian akan segera menjemputnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa takdir yang bisa diusahakan ini menuntut ikhtiar manusia secara maksimal. Hanya dengan usaha dan doa seseorang bisa mengubah kondisi hidupnya, hanya dengan kerja keras, diserta kesabaran, ketabahan dan selalu memohon petunjuk Allah seseorang bisa mendapat keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar-Ra’du : 11).
No responses yet