Dunia Barat, khususnya Eropa dan Amerika Serikat, dianggap sebagai pusat kemajuan peradaban dunia. Barat, kini telah menjadi kiblat peradaban dunia. Tak terkecuali di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di balik itu, masih ada yang khawatir untuk mengambil studi Islam di Barat. Karena kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) Orientalis. Efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), dan reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan).

Bagi santri, kekhawatiran ini tidak begitu berlaku karena terjadi karena santri memiliki akar tradisi keilmuan yang kuat. Dalam hal ini, kita bisa melihat perjalan intelektual seorang santri Qudsiyyah Kudus bernama Abdurrahman Mas’ud – Prof Dur sapaan akrabnya di dunia kampus – ketika menempuh studi di Barat. Tepatnya di University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, program magister dan doctor, dengan beasiswa Fulbright.

Perjalanan intelektual Prof Dur ini telah diabadikan dalam sebuah buku otobiografi berjudul “Mendakwahkah Smiling Islam : Dialog Kemanusiaan Islam dan Barat” yang diterbitkan oleh Pustaka Compass.

(Alm.) Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dalam pengantar buku ini bertanya, kenapa Rahman muda ingin belajar ke AS? Bukankah AS menurut sebagian kalangan merupakan pusatnya “jahiliyah modern” yang mempraktikkan sekularisme, liberalisme dan hedonisme ?

Tidak hanya menjawab pertanyaan Slamet Effendy, buku ini menarik dan penting sebab menggambarkan keterlibatan langsung sang pelaku dalam mendialogkan Islam kepada masyarakat Barat. Pengalaman ini penting khususnya bagi komunitas muslim yang mengalami phobia-Barat.

Buku ini menghadirkan dua sisi dalam perjalanan tersebut. Sisi kehidupan sehari-hari sebagai proses manusiawi. Dan sisi kognitif berupa kerja akademik dan penyebaran wacana Islam moderat di AS. Sisi kedua bersifat ilmiah, dengan menyajikan tiga macam jenis tulisan.

Pertama, makalah-makalah akademik penulis ketika menempuh S2 dan S3 di UCLA. Kedua, makalah, laporan berita dan teks khutbah di AS, baik dalam rangka mengajar maupun berkhutbah di momen-momen pengajian dan keislaman di AS. Dalam model kedua inilah Prof Dur menebarkan paham Islam yang ramah (smiling Islam) di AS. Ketiga, pemikiran penulis pasca kepulangan dari AS tentang dialog Islam dan Barat. (hlm. Xxii).

Mendakwahkan Islam Ramah, Bukan Islam Marah

Ada hal yang menurut penulis penting diambil dari buku ini adalah bagaimana pengalaman empirik Prof Dur dalam mendakwahkan Islam yang ramah (smiling Islam) di negeri Barat. Kemudian dari pengalaman intelektual tersebut kita bisa menarik bahwa hubungan Islam dan Barat baik-baik saja sepanjang kita bisa melihat beberapa tiitk temu universal yang bisa menjembatani keduanya.

Kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam marah, begitu kata Gus Dur. Hal ini benar-benar diterapkan Prof Dur dalam kehidupan intelektualnya. Ia memiliki banyak kesempatan untuk berbicara di depan khalayak masyarakat muslim AS, seperti khutbah atau maulid nabi saw. Terlibat aktif di organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Memimpin ICMI tingkat orsat Los Angeles, CA, USA. Kemudian ketika menjadi penasihat rohani di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Los Angeles. Hingga mengikuti forum ilmiah international seperti Annual Conference on Islamic Studies bersama para ilmuwan se-dunia.

Salah satu tema yang diangkat dalam mendakwahkan pentingnya mengedepankan keramahan Islam dalam berdakwah di bumi AS adalah _The Persuit of Knowledge in Islam dan Visiting Fulbright Scholar to Present Lecture._ (hlm.66)

Salah satu pengalamannya ketika mengajar di Salve Regina University Newport Rhode Island pada bulan Ramadhan. Ia menjelaskan bahwa puasa bukan hanya milik umat Islam. Puasa juga ada dalam tradisi Kristen, Yahudi, Mani, juga hampir seluruh jagat dari Yunani, Arab, Mesir Kuno sampai ke Cina. Tidak ada hambatan ideologis dalam interkasi lintas budaya ini. Empati dan keberpihakan pada kemanusiaan telah membawa pada pandangan dan komitmen yang sama meskipun dilandasi iman yang berbeda.(hlm. 76-77)

Pengalaman berinteraksi dengan dunia kampus AS di bulan Ramadan tersebut membuktikan bahwa potensi manusia untuk damai semestinya harus lebih diberi ruang dan dilatih secara berkesinambungan sebagaimana latihan dalam bulan Ramadan. Bukan sebaliknya sisi-sisi konflik kemanusiaan dan peradaban yang ditonjolkan sebagaimana tulisan Samueal Huntington. (hlm. 79)

Dari kesempatan pengalaman intelektual itu, Pak Dur menunjukkan bahwa ia menjadi wakil santri NU yang bertugas mendialogkan kearifan Islam kepada Barat, dan menjelaskan kreativitas Barat kepada dunia Islam. Ia tampil sebagai santri sekaligus akademisi yang matang. Kematangannya ini tidak lepas dari latar belakang pendidikannya yang bisa dilihat dalam Damaran dan Qudsiyyah sebagai kampung pesantren.

Prof Dur memiliki pemahaman non-dikotomik antara Islam dan Barat, tradisi dan kemodernan. Bagi mereka, keduanya tidak bisa dihadapkan secara dikotomis, sebab tradisi itu sendiri adalah akar modernitas. Hal ini yang membuat Pak Dur berusaha memilah “mutiara” dari masing peradaban, dengan memahami Timur sebagai kearifan, sementara Barat sebagai kreatifitas.

Buku ini menunjukkan gagasan Prof Dur tentang perlunya kreativitas Barat yang menurutnya paling agung adalah nilai humanisme religius sebagai paradigma baru pendidikan Islam. Pada titik ini, pendidikan Islam humanistik tetap merupakan kesinambungan dari upaya dialog antara Islam dan Barat yang beliau gagas sejak awal.

Dengan menempatkan humanismereligius sebagai paradigma pendidikan Islam, maka pendidikan ini dan Islam itu sendiri tidak akan lagi mengalami dikotomisasi. Mengapa? Karena pendidikan Islam humanistik adalah pendidikan yang melingkupi “ranah ketuhanan” dan “ranah manusiawi”.

Terakhir, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Peradaban Islam, 20 Maret 2004, ia mengatakan Dialog pada era globalisasi abad 21 ini adalah sebuah keniscayaan. Dalam proses dialog ini, dunia Islam-Barat harus diposisikan sejajar, tidak ada yang merasa lebih dimuliakan sebagai sebuah peradaban. (hlm. 279)

Realitas Indonesia yang majemuk secara budaya dan agama melahirkan peradaban Islam Nusantara. Hal itu dijadikan contoh dalam buku ini sebagai modal bagi dialog dan “jembatan peradaban” Islam dan Barat.

Data Buku

Judul Buku :
Otobiografi Intelektual Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D – Mendakwahkan Smiling Islam : Dialog Kemanusiaan Islam dan Barat

Penulis :
Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D

Peresensi : Mohammad Anwar S.Ud

Penerbit :
Pustaka Compass, Tangerang Selatan

Tebal :
xxiv + 340 halaman

Ukuran buku :
16 x 24 cm

Harga : Rp. 80.000,-

Cp. 081384478968 (Lia)

One response

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *