Di tengah fenomena yang disinyalir sebagai “kebangkitan kesalehan kelas menengah”, ada fenomena yang diam-diam terjadi, namun luput dari pengamatan – saya menyebutnya fenomena ketaksalehan(isasi) kelas pekerja.
Seorang buruh yang aktif di serikat buruh bercerita, bahwa ia sudah lama meninggalkan shalat, karena merasakan “krisis keimanan”: ibadahnya tak menjawab problem keseharian yang dia hadapi di pabrik. Ia meninggalkan ibadah wajibnya karena tak ingin terus dirundung rasa bersalah tiap kali terpaksa meninggalkan shalat. Di sisi lain, ia meragukan korelasi ajaran-ajaran keagamaan bagi kegiatannya di serikat, karena di pabriknya pihak perusahaan (para pemodal dan manajemen) kerap menggunakan agama untuk meredam perlawanan buruh (misalnya dalam aksi menuntut upah yang lebih tinggi), dengan mengundang penceramah-penceramah yang lebih membela kepentingan pemodal. Ia, pendeknya, ragu bahwa agama – Islam – berpihak kepada kepentingan dirinya dan teman-temannya sebagai buruh.
Suatu sore, seorang santri bertutur. Ia punya saudara yang kini hidup sebagai buruh bangunan, dan sering meninggalkan istri dan anaknya karena pergi mencari nafkah. Ia mengalami konflik yang parah dengan istrinya akibat kemiskinan dan beban ekonomi. Sudah lama juga ia meninggalkan shalat – mungkin karena keharusan bekerja berpindah-pindah, beban stres, atau faktor lain. Padahal semua keluarga besarnya cukup taat beragama, bahkan beberapa di antaranya dimondokkan.
Apa yang digambarkan kedua fenomena ini? Bahwa kelas pekerja dan kaum melarat di Indonesia makin berat menanggung beban hidup. Tentang ini, semua orang yang tahu. Tapi yang jarang disadari, beban ekonomi ini juga merembet pada kualitas keberagamaan mereka. Jika kita – sebagai aktivis Islam progresif – meyakini bahwa agama tak lepas dari problem kelas, maka inilah ilustrasi nyata dari keterkaitan itu: sementara kelas-kelas menengah ke atas tampak makin “religius”, minimal secara simbolik, makin haus-agama dan dibuat haus-agama, lapisan-lapisan kelas yang lebih melarat tampaknya makin “irreligius” (impious), makin teralienasi dari agama, makin jemu atau skeptis pada agama.
Ada kepercayaan yang menutupi fenomena di bawah permukaan ini, dan kepercayaan ini juga dianut oleh rata-rata kaum santri (dan Nahdliyin) di Indonesia: bahwa umat kita masih kuat berpegang teguh pada tradisi agama, masih suka tahlilan, shalawatan, dan suka mendengar petuah-pitutur para kiai (ulama).
Saatnya kita meragukan kepercayaan ini. Benarkah, di lapisan terbawah, kondisinya seideal itu? “Umat” manakah yang dimaksud? Karena belum ada survei dan penelitian yang mendalam, kita belum bisa memastikan. Lebih jujurnya kita dapat mengatakan: secara komunal, kaum melarat di Indonesia masih terlihat taat-agama karena masih meminati sejumlah tradisi keagamaan kolektif seperti tahlilan, slametan, dan pengajian. Para perempuannya masih mengenakan jilbab (jika jilbab dianggap salah satu parameter kesalehan, meski ini dapat diperdebatkan). Masjid-masjid tiap Jum’at juga ramai. Itu yang tampak di permukaan. Tetapi, secara individual, kita tak pernah tahu apa yang terjadi.
Dua ilustrasi di atas memberi contoh, setidaknya, bahwa kita jangan mudah yakin begitu saja bahwa kondisi “telah baik-baik”. Pasti ada korelasi antara beban ekonomi yang ditanggung kelas pekerja dan kaum melarat di negeri ini dengan pergeseran keagamaan mereka. Diam-diam, ada krisis. Krisis yang mengalienasikan mereka dari agama. Ketika kelas pekerja dan kaum melarat kian jauh dan hampa dari agama.
Betapa berat kaum melarat dan kelas pekerja. Setidaknya, mereka mengalami salah satu dari tiga kondisi ini:
- Mereka beragama, namun menerima materi-materi keagamaan yang tidak memperbaiki kondisi kerja dan ekonomi mereka, yakni materi-materi keagamaan yang tidak membebaskan, bahkan melegitimasi ketertindasan mereka – materi-materi keagamaan yang menguntungkan pihak yang mengeksploitasi mereka;
- Mereka meninggalkan beberapa kewajiban agama, karena merasakan agama tidak menjawab kondisi mereka.
- Atau mereka tetap beragama, namun dengan pemahaman keagamaan yang relevan dan sinkron dengan kondisi kerja dan ekonomi mereka, pemahaman keagamaan khas kaum yang tertindas.
Kondisi (1) mengimingkan-imingkan surga di akhirat, namun tak membuat mereka lepas dari “neraka dunia” yang diakibatkan oleh krisis ekonomi di bawah kapitalisme.
Kondisi (2) tampaknya akan membuat mereka masuk neraka di akhirat kelak, namun belum tentu juga membebaskan mereka dari “neraka dunia”.
Kondisi (3) tampaknya lebih menjamin surga di akhirat kelak bagi mereka, namun memberi mereka sedikit harapan untuk bisa bebas dari “neraka dunia” dengan tetap melawan kondisi-kondisi keterbelengguan mereka.
Pemahaman keagamaan apakah yang khas kaum tertindas? Itu yang dapat kita sebut, “Islam progresif”. Islam-nya kaum tertindas.
Fenomena dominan hari ini berkisar antara kondisi nomor (1) dan nomor (2). Di bawah kondisi nomor (1), mereka dipaksa sabar, energi perlawanan mereka dijinakkan, dibelenggu oleh wacana keagamaan yang dipropagandakan oleh kelas penguasa dan pemodal yang menghendaki kestabilan semu di atas ketidakadilan, ketimpangan, dan penghisapan. Atas nama “moderasi Islam” atau “Islam yang cinta damai”. Di bawah kondisi nomor (2), mereka mungkin melawan, tapi lebih mudah mereka dicap “anti-agama” karena ketaksalehan mereka, akibatnya mereka makin menjadi “bulan-bulanan” kaum beragama.
Belum kita tiba pada kerumitan untuk mendobrak keberagamaan nomor (1) dan memulihkan keberagamaan kelas pekerja dan kaum melarat pada kondisi nomor (2), sebuah hadits dari Usamah bin Zayd r.a. makin memusykilkan kita dan membuat kita haru menahan napas.
Kata Nabi, “Aku berdiri di pintu Surga, dan (kudapati) sebagian besar orang yang memasukinya adalah kaum miskin” (baca: kaum proletar, kaum melarat, kaum Marhaen, kaum tertindas…) – HR. Ahmad.
Dalam riwayat Ibn ‘Abbas, “Aku menengok ke dalam Surga, kudapati sebagian besar penghuninya adalah para fakir” – HR. Bukhari-Muslim.
Ingin saya layangkan pertanyaan ini ke haribaan Kanjeng Nabi, andai bisa berkorespondensi dengannya: “Kaum fakir-miskin seperti siapakah, wahai Rasulullah, yang akan masuk Surga itu, jika saya temukan sebagiannya di sini mereka tak shalat? Mencakupkah pada saudara-saudara kami di sini yang masih tertindas dan tereksploitasi?”