Sudah masyhur di kalangan para pengasuh dan santri Bahrul Ulum Tambakberas kalau doa senjata andalan KH. Wahab Chasbullah adalah huwal habib (burdah). Saking mentradisinya di Tambakberas, setiap mau ngaji diniyyah maupun ngaji weton sebelum kiai/bunyai/ustadz memulai, para santri membaca bareng-bareng huwal habib. Selanjutnya setelah selesai ngaji membaca robbi fanfa’na bibarkatihim bareng-bareng. Tentu bukan berarti KH. Wahab Chasbullah hanya mempunyai doa itu saja, Kiai Wahab banyak ageman doa. Contohnya Tim Sejarah Tambakberas dapat ijazah dari salah satu santri Mbah Wahab tujuh macam hizib dan tujuh macam sholawat.

Kisah Mbah Kum tentang huwal habib kiai wahab

Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan Yu Ju/Jum atau Mbah Jum, nama lengkapnya Djum’iyatin untuk silaturahmi. Kemarin dan hari ini saya mengunjungi lagi untuk wawancara. Beberapa fragmen kisah di bawah ini semuanya bersumber dari Mbah Jum.

Mbah Jum (86 tahun) masih relatif sehat dan kesehariannya sebelum matanya kabur adalah membaca Alquran, sekarang wiridannya mengucap tasbih. Saat saya datangi beliau mengingat-ingat siapa saya, dan masih ingat, lalu terjadilah diskusi. Sewaktu saya pancing tentang almarhum Kang Padi (suami tercinta Mbah Jum), Mbah Jum berujar dengan bahasa Jawa (saya terjemahkan), “Kang Padi kalau di pondok dipanggil Pak Yik adalah sopir yang ikhlas, tidak minta gaji bulanan. Kalau diberi uang akan diterima, kalau tidak, ya diam saja. Ikhlas, barokah. Putra saya 10 (meninggal satu) menjadi orang ngerti semua, ini bukan sombong lho.”

Memang Kang Padi adalah sopir legendaris Kiai Wahab. Masyarakat dulu akan bilang bahwa Kang Padi dan istrinya adalah “wonge” (orangnya) Mbah Wahab. Sejak muda hingga wafatnya Kiai Wahab, Kang Padi setia menjadi sopir. Bahkan “karier” pengabdiannya dilanjutkan dengan menjadi sopir Nyai Wahab. Nyai Wahab wafat, beralih menjadi sopir Kiai Hasib selama sekian tahun. Kang Padi dulu belajar nyopir di bengkel Banpie. Lalu dijadikan sopir oleh pedagang keturunan Cina di Jombang yang bernama Eng An. Mbah Kiai Wahab berkata kepada Eng An, “An, sopirmu aku ae sing nggawe, iku tonggoku.” Jawab Eng An, “Inggih monggo.”

Keluarga Kang Padi adalah prototipe pengabdi setia kepada Kiai Wahab. Ayah Kang Padi, yakni Mbah Mustar adalah sopir dokarnya Mbah Wahab. Mbah Jum masih ingat warna mobil yang disopiri Kang Padi, Opel Kapiten warna biru. Mbah Wahab biasa bilang, “Iku montormu Di.” Padahal jelas itu mobil Kiai Wahab.

Mbah Jum ikhlas Kang Padi menjadi sopir Kiai Wahab.Masalah nafkah Mbah Jum kerja jualan bensin. Mbah Jum dulu adalah agen bensin yang jumlahnya drum-druman. Jualan bensin untuk menopang kehidupan keluarganya. Mbah Jum tipe orang kuno yang tidak berani keluar rumah sebelum izin suami. Kalau Kang Di sudah bepergian jauh saat nyopiri Mbah Wahab, dia tidak berani keluar. Sekalipun demikian, Mbah Jum menegaskan bahwa dia bahagia.

****

Saking lama dan akrabnya Kang Padi dengan keluarga Kiai Wahab, sehingga rumah Mbah Jum (istri Kang Padi) biasa didatangi oleh keluarga Kiai Wahab. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Gus Dur sebagai bahan guyonan. Perlu dicatat, Gus Dur suka guyon atau “njarak” putra-putri kiainya sama seperti Kiai Wahab suka guyonan.

Suatu saat Gus Dur yang saat itu mondok di Tambakberas dan terkenal dengan “usil”nya menyebarkan kabar bahwa ada sopir seneng juragane. Maksudnya adalah Kang Padi suka kepada Ning Tin. Karena Ning Tin sering ke rumah Yu Jum.

Apa Kang Padi marah? Tidak, biasa saja. Apa Ning Tin marah, juga tidak. Justru Ning Tin santai saat berjalan menuju Mbah Jum ditanya Gus Dur mau ke mana Ning? Jawabnya, “Mau ke Mbok Wek”.

Saat Gus Dur menjadi Presiden dan berkunjung ke Tambakberas, beliau bertanya, “Sopirnya Wak Aji (Kiai Wahab) dimana ya?” maka beberapa orang mendatangi Kang Padi dan memberitahu bahwa Gus Dur mau kasih uang. Jawaban Kang Padi santai dengan berucap (meniru kalimat Mbah Wahab), “Nek gak, mosok iyo. Nek iyo, mosok gak.”

****

Mbah Jum juga mendapat kisah dari suaminya (Kang Padi), suatu saat Kiai Wahab berada di Makkah, tepatnya di Masjid Jeddah. Tiba di masjid Jeddah setelah maghrib. Beliau mau pulang untuk menyambut Bu Nyai yang hamil tua. Namun apa yang terjadi? Kiai Wahab ketlarak (kehabisan bekal dan uang), maka semalaman beliau membaca “maulayasholli…., huwal habib…” hingga subuh. Saat sholat subuh sewaktu salam, beliau melihat seseorang.

Selesai sholat orang itu mengaku keturunan Arab dari Surabaya. Orang Arab itu meminta agar Kiai Wahab mendampinginya ke Surabaya karena membawa uang banyak sekali.

Akhirnya Kiai Wahab bisa sampai Surabaya plus dapat bisyaroh. Lalu beliau menuju Jombang. Jeda beberapa waktu, Bunyai melahirkan sang putri yang diberi nama Mundjidah. Hari ini beliau menjadi bupati Jombang.

Kata Mbah Jum, dahulu saat keluarganya bepergian, justeru yang dipasrahi Kiai Wahab mengatur masalah keuangan adalah putri yang kecil, yakni Bu Nyai Mundjidah.

Begitulah Kiai Wahab memberi nama putri putrinya sesuai peristiwa yang baru terjadi. Kata Mbah Jum, nama Nyai Mu’tamaroh karena baru ada Muktamar di Yogyakarta.

*****

Suatu saat Kiai Wahab dan Bunyai Sa’diyah (Rohmah) ke Bangil, dan seperti biasa mengajak Kang Padi dan Yu Jum. Kang Padi sebagai sopir dan Mbah Wahab serta Nyai Sa’diyah duduk di tengah serta Yu Jum di belakang. Memang keluarga Kang Padi ini sering diajak ke mana mana oleh Mbah Wahab hingga menjadikan Yu Jum sampai saat ini masih hapal banyak nama-nama cucu Mbah Wahab baik yang di Tambakberas maupun di Surabaya, Yogyakarta, Bojonegoro dll.

Saat di jalan, Kiai Wahab guyoni Nyai Sa’diyah dengan berkata, “Di, dahulu aku duda terus dikabari kalau di Bangil ada kiai penjual kitab dan mempunyai dua anak. Satunya janda, serta yang lain gadis. Saya mau melihatnya dengan naik motor gondang gandung (moge), lalu saya pergi ke toko kitab, siapa tahu yang menjaganya adalah si gadisnya. Eh ternyata yang keluar malah yang jandanya.” Kiai Wahab tertawa dan Nyai Sa’diyah ikut tersenyum sambil bilang, “Bisa saja kiai.”

Begitu akrabnya dengan keluarga Kang Padi, Kiai Wahab yang sering haji dan Bu Nyai Sa’diyah sudah 8 kali haji pernah berkeinginan mengajak dengan berkata, “Di, kapan-kapan tak ajak haji, istrimu nanti yang mendampingi Bu Nyai, dan kamu yang mendampingi aku.” Namun belum terlaksana, selang beberapa waktu Kiai Wahab wafat.

*****

Saat saya minta ijazah kira-kira apa yang diiberikan Mbah Wahab kepada Kang Padi. Mbah Jum berkata bahwa selama nyopiri Mbah Wahab alhamdulillah tidak terjadi srempetan atau tabrakan. Padahal perjalanan Jombang Jakarta dan kota-kota lain sering ditempuh.

Mbah Wahab menyuruh Kang Padi agar setiap mau naik di atas mobil supaya membaca ayat tertentu.

Bagaimana kaifiyah atau tatacara pengamalan Huwal Habib?

Perlu diketahui, dari penelusuran Tim Sejarah, didapati sedikit perbedaan bilangan bacaan. Di sini dicontohkan beberapa riwayat.

Dari salah satu keluarga Tambakberas menjelaskan tatacara:

  • Untuk amalan istiqomah harian adalah maulaya 3 kali, huwal habib 11 kali, ya rabbibil. 1 kali.
  • Untuk bila ada hajat kaifiyahnya: Kirim fatihah kepada Nabi sahabat, kepada sohibil burdah, kepada KH. Wahab, kepada Orang tua, dan menyebutkan hajatnya. Lalu membaca maulaya 11 kali, huwal habib 10.000 yang setiap bacaan sampai 100 kali hendaknya membaca maulaya 3 kali. Lalu ditutup dengan ya rabbibil 1 kali

Masih dari keluarga Tambakberas yang lain;

  • Untuk amalan istiqomah tiap hari dibaca ba’da sholat shubuh maulaya 3 kali, huwal habib 10 kali, maulaya lagi 3 kali, huwal habib lagi 1 kali. Lalu ditutup dengan ya rabbibil 3 kali
  • Untuk ada hajat dibaca sebanyak-banyaknya yang nanti jumlah totalnya harus ganjil.

Masih ada beberapa riwayat lagi yang insya Allah akan kita bukukan bersama doa masyayikh Tambakberas yang lain.

Anda bisa mencoba menelusuri manfaat dari kisah pengamalan-pengalaman terkait huwal habib dari KH. Djamaluddin Ahmad di 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *