Serat Dewa Ruci mengajarkan paham kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu, harus berusaha untuk dapat bersatu kembali dengan Tuhan (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Kesatuan itu bisa dicapai melalui penghayatan mistis. Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut serat Dewa Ruci sesudah datangnya masa ajal atau maut.
Manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskita dan menjadi manusia yang sempurna hidupnya. Setelah mengalami pengalaman spiritual bertemu Dewa Ruci, Bima menjadi manusia suci mawas diri.
Lukisan Dewa Ruci yang mirip dengan Bima sendiri, merupakan perumpamaan bahwa jika ingin mengenal diri Yang Ilahi haruslah mengenal dirinya sendiri. Proses mengenal jati diri itu merupakan proses penempaan kesadaran akan hidupnya yang meliputi diri, moral, sosial dan lain sebagainya yang pada gilirannya akan mencapai kesadaran yang paling tinggi, yaitu kesadaran Ilahi. Saat mencapai kesadaran tertinggi itulah, akan mengalami pertemuan dan kesatuan dengan Sang Hyang Widi, yang dalam konsep Jawa dikenal Manunggaling Kawula-Gusti.
Dalam konteks ini Suluk Linglung Syekh Malaya merupakan bentuk Islam dari kisah ini. Hubungan antara keduanya masuk ke tataran yang lebih abstrak yang oleh ilmu strukturalisme sebagaimana diungkapkan Ahimsa Putra sebagai tataran simbolis-analogis.
….penulisan cerita Dewa Ruci tersebut dipandang sebagai salah satu dari strategi dakwah..
Oleh Sebagian orang Jawa penulisan cerita Dewa Ruci tersebut dipandang sebagai salah satu dari strategi dakwah sekaligus juga sebagai simbolisasi dari pengalaman pribadi sunan Kalijaga ketika ia memperoleh pelajaran dari tokoh spiritual ghaib, yang diyakini adanya oleh umat Islam, yakni Nabi Khidir a.s.
Menurut ceritanya Sunan Kalijaga pernah berguru pada Nabi Khidir di dekat Bar’ul Akbar, di tanah Lulmat Agaib. Dalam pertemuan ini Nabi Khidir menjelma sebagai rare bajang (anak kecil) yang memberikan berbagai macam wejangan tentang hakekat nafsu lawwamah, ammarah, sufiyah, muthmainnah. Keempat nafsu ini dikatakan ada dalam diri manusia.
Selain itu Sunan Kalijaga juga diberi pengetahuan mengenal diri manusia, mengenal konsep jagad gedhe-jagad cilik, ‘tentang hadirat Tuhan, nukat ghaib, nurbuat, jauhar awal jauhar akhir, ruh idhafi, tentang asal-usul segala kejadian dan masalah gaib lainnya.
Kisah pewayangan Dewa Ruci merupakan simbolisasi dari apa yang dialami oleh Sunan Kalijaga..
Kisah pewayangan Dewa Ruci merupakan simbolisasi dari apa yang dialami oleh Sunan Kalijaga tersebut, atau lebih umum lagi merupakan penggambaran dari pengalaman Muslim yang dengan ketekunannya berhasil mendapatkan pengetahuan tentang jatininng jejer ing Pangeran, suatu pengetahuan yang biasanya ingin didapat oleh mereka yang masuk ke dalam lingkaran tasawuf atau tarekat-tarekat.
Tokoh Bima melambangkan diri Sunan Kalijaga sendiri, dan Nabi Khidir yang menampakkan dirinya dalam bentuk rare bajang dilambangkan sebagai tokoh Dewa Ruci.
Jika kita kaitkan dengan Air Suci Perwita Sari yang dicari oleh Bima dan katanya ada di Kayugung Susuhing Angin, maka ‘air suci’ tersebut tidak lain adalah ilmu yang dicari, sedang Kayugung Susuhing Angin (kayu besar sarang nafsu) tidak lain adalah diri manusia sendiri, karena pada manusialah bersarang nafsu-nafsu tersebut.
Oleh karena pengalaman Sunan Kalijaga dianggap juga merupakan pengalaman seorang Muslim yang mengikuti tarekat atau menempuh jalam kaum sufi, maka citra Islam dalam kisah Dewa Ruci juga menjadi kental.
Kisah Bimasuci dalam serat Dewa Ruci merupakan salah satu dari banyak serat yang merupakan akumulasi dari perjuangan Islam untuk menegakkan Islam sebagai jalan menuju Tuhan.
*Dikutip dari Buku Zainul Milal Bizawie “Syekh Mutamakkin : Perlawanan Kultural Agama Rakyat”, Penerbit Pustaka Compass. Hlm. 198-199.
INFO BUKU : 081384478968
No responses yet