Poin penting yang termuat dalam karya Prof. Dr. Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman yang berjudul “Al-Masjid al-Haram, Al-Jamik wa al-Jami’ah: al-Fiqh wa al-Fuqaha’ fi al-Qarn ar-Rabi’ Asyar al-Hijri (Masjidil Haram Sebagai Mesjid dan Universitas: Fikih dan Para Ulamanya di Abad 14 Hijriyah –sekitar abad 19-20 Masehi).

Buku ini terdiri dari 2 jilid yang secara khusus membahas Masjidil Haram sebagai tempat ibadah dan tempat menuntut ilmu agama. Pembahasan yang paling panjang diuraikan oleh penulisnya adalah posisinya sebagai tempat menuntut ilmu.

Poin penting yang disebutkan dalam buku ini adalah:

Empat mazhab dalam fikih telah ada dan mempunyai peran penting dalam pelestarian fikih dan penyebarannya sampai sebelum masa Kerajaan Arab Saudi

Oleh karena empat mazhab, di kiblat umat Islam ini, terdapat empat maqam sesuai dengan mazhabnya.

Shalat lima waktu dilakukan secara berbeda. Jamaah pertama oleh mazhab Syafi’i di maqam nabi Ibrahim as, setelahnya jamaah mazhab Hanafi di maqam Hanafi, ketiga mazhab Maliki dan keempat mazhab Hambali di maqam masing-masing. Urutan pelaksanaan jamaah ini berdasarkan jumlah penganut mazhab, dimana pada saat itu, penganut mazhab Syafi’i yang terbanyak. Pengecualian dari lima shalat tersebut adalah shalat maghrib, sebab, waktu yang tersedia sangat sedikit.

Lembaga keagamaan tertinggi di mesjidil Haram adalah mufti 4 mazhad dan qadhi. Dibawah mereka ada imam setiap mazhab dan khatib, setelahnya adalah mudarris (guru besar). Para empat mufti dipimpin oleh seorang rais ulama (ketua para ulama) yang biasanya berasal dari mufti bermazhab Syafi’I seperti Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, dan selanjutnya bermazhab Hanafi seperti Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Siraj.

Para mudarris ditetapkan berdasarkan ujian dan seleksi ketat dari para penguji yang dipimpin oleh rais ulama dan persetujuan raja Mekkah saat itu yang bergelar syarif. Para mudarris tersebut ada yang secara resmi mengajar di mesjidil Haram seperti Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau yang mempunyai posisi prestisius; sebagai imam, khatib dan mudarris. Sementara mudarris yang tidak resmi biasanya mengajar di rumah.

Disebutkan nama-nama para mufti 4 mazhab dan sekretaris masing-masing. Namun, disini hanya disebutkan mufti mazhab Syafi’i:-Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304 H). menjabat sebagai mufti tahun 1281 sampai 1304 H. setelahnya,-Sayyid Husain bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1258-1330 H). menjabat tahun 1304 sampai 1330 H.-Syaikh Muhammad Said Babashil (1245-1330 H). menjabat tahun 1330 H hanya beberapa bulan sebab meninggal dunia.-Sayyid Husain al-Habsyi diangkat kembali menjadi mufti.-Sayyid Abdullah bin Shaleh az-Zawawi (1270-1343 H). -Syaikh Umar bin Abu Bakar Bajunaid (1263-1354 H).

Yang menarik dari para mufti ini, bahwa karena kekurangan ulama dalam mazhab Hambali, sebagian ulama mazhab Lain diangkat menjadi mufti mazhab Hambali. Sebagaimana terjadi pada Syaikh Umar Bajunaid.

Selain menyebutkan para mufti, jilid kedua yang lebih tebal memuat nama-nama ulama yang ada di mesjidil Haram saat itu, diantara mereka adalah ulama Nusantara, seperti Syaikh Muhammad Mahfuz Termas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Abdul Qadir bin Shabir Mandailing, Syaikh Ahmad Nahrawi Banyumas dan lainnya.


SEMOGA BERMANFAAT!!!

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *