Oleh: A Ginanjar Sya’ban

Berikut ini adalah judul-judul kitab yang menjadi acuan kurikulum pendidikan di institusi-institusi pendidikan Islam pada masa kekhilafahan Utsmani. Sebagaimana dimaklumkan sejarah, bahwa corak keberislaman kekhilafahan Utsmani adalah Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), di mana dalam teologi (ilmu kalam) merujuk kepada madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi, dalam yurisprudensi (ilmu fikih) merujuk kepada madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, sementara dalam esoterisme (ilmu tasawuf/ akhlak) merujuk kepada madzhab tasawuf akhlaki (al-Ghazzali, al-Sakandari, al-Qusyairi) ataupun tasawuf yang dilembagakan (tarekat).

Institusi-institusi pendidikan Islam kekhalifahan Utsmani tersebar di hampir semua wilayah administratifnya, mulai dari Istanbul sebagai ibu kota pemerintahan, Rumeli (Eropa Timur dan Balkan), Anadolu (Asia Minor), Syam (Suriah dan Palestina), Irak, Hijaz (Makkah dan Madinah), Yaman, Mesir, Sudan, hingga Tunis. Karena itu, corak pemikiran Islam yang berkembang masa kekhilafahan Utsmani hampir semuanya searus dan saling berjejaring antar satu sama lain. Corak Aswaja ini pulalah yang kemudian berkembang di Nusantara yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara masa silam.

Dr. ‘Îd Fathî ‘Abd al-Lathîf dalam artikelnya yang berjudul “al-Tabâdul al-Tsaqâfî bayna al-‘Arab wa al-Atrâk” mengutip dari al-Murâdî menuliskan judul-judul kitab yang menjadi acuan kurikulum pendidikan di institusi-institusi pendidikan Islam pada masa kekhilafahan Utsmani sebagaimana di bawah ini:

Dalam bidang tafsir : (1) al-Kasysyâf karangan al-Zamakhsyarî, (2) al-Baydhâwî karangan al-Baydhâwî.
Dalam bidang hadits : (1) Kutub al-Sittah (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abi Dawud, Nasai, dan Ibn Majah), juga (2) Mashâbih al-Sunnah karangan al-Baghawî.
Dalam bidang fikih [Syafi’i] : (1) al-Hidâyah karangan al-Mirghanânî, (2) al-‘Inâyah Syarh al-Wiqâyah karangan ‘Alî al-Aswad.
Dalam bidang ushul fikih : (1) al-Talwîh karangan al-Taftâzânî, (2) Manâr al-Anwâr karangan al-Nasafî, (3) al-Mughnî karangan Jalâl al-Dîn ‘Umar, dan (4) Mukhtashar Ibn Hâjib.
Dalam bidang ilmu akidah : (1) Kitâb al-Qâdhî al-Îjî, (2) Kitâb al-Nasafî, (3) Kitâb al-Thahâwî.
Dalam bidang ilmu kalam : (1) Tajrîd al-Kalâm karangan al-Thûsî, (2) Thawâli’ al-Anwâr karangan al-Baydhâwî, (3) al-Mawâqif karangan al-Îjî.
Dalam bidang ilmu balaghah : Miftâh al-‘Ulûm karangan al-Sakkâkî, (2) Talkhîsh al-Miftâh karangan al-Qazwînî.
Dalam bidang ilmu mantiq : (1) Kitâb al-Îsâghûjî, (2) Mathâli’ al-Anwâr karangan al-Armawî.
Dalam bidang ilmu falak : (1) al-Mulakhkhash karangan al-Jaghmînî.
Dalam bidang ilmu nahwu : (1) Alfiyyah Ibn Mâlik, (2) ‘Awâmil al-Jurjânî, (3) Kâfiyah Ibn Hâjib, (4) Syudzûr al-Dzahab, (5) Qathr al-Nadâ, (6) Mughnî al-Labîb karangan Ibn Hisyâm.
Dalam bidang ilmu sharaf : (1) Asâs al-Tashrîf karangan al-Fanârî, (2) al-Syâfiyah karangan Ibn Hâjib.
Dalam bidang kedokteran : (1) al-Qânûn karangan Ibn Sînâ, (2) Kitâb Ibn ‘Abbâs al-Muqawwas.

Kurikulum di atas rupanya bertahan selama berabad-abad lamanya, meski dengan adanya pola perkembangan dalam kitab-kitab yang dijadikan acuan, namun dengan tetap berada dalam satu trek ideologi Islam Aswaja. Perkembangan ini menjadi niscaya, karena pada setiap zamannya terdapat banyak ulama Aswaja yang mengarang kitab dengan pola “Syarah” (komentar), “Hasyiah” (komentar atas komentar), “Mukhtashar” (ringkasan), “Nazham” (pemuisian) atas kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Tradisi ini sangat menarik, karena menjadikan bangunan tradisi keilmuan Islam tidak terputus dan terus menyambung seumpama mata rantai dari generasi ke generasi.

Di Al-Azhar (Kairo, Mesir) perempat terakhir abad ke-19 M, yang pada masa itu mejadi wilayah bagian Utsmani, misalnya, kurikulum yang dipakai hampir tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang disebutkan di atas (lihat https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152815159234696&set=pb.570469695.-2207520000.1537598248.&type=3&theater).

Hal serupa terjadi juga di institusi-institusi pendidikan di Hijâz (Makkah-Madinah) pada masa yang bersamaan, yang juga pada masa itu menjadi wilayah bagian Utsmani. Kurikulum pendidikan Islam di institusi-institusi pendidikan Hijâz, utamanya di madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah, juga mengacu pada sistem yang tidak jauh berbeda. Hal ini sebagaimana termaktub dalam buku catatan tahunan pemerintahan Utsmani atas wilayah Hijâz (Hicâz Vilâyet-I Sâlnâmesi).

Lebih menariknya lagi, kurikulum serupa juga diterapkan di institusi-institusi pendidikan Islam di Nusantara pada masa silam. Dalam catatan perjalanannya menjelajahi pesatren-pesantren Sunda-Jawa-Madura pada akhir abad ke-19 M, Snouck Hurgronje (penasehat pemerintahan kolonial Hindia-Belanda untuk urusan keagamaan) merekam kitab-kitab yang dijadikan acuan kurikulum sekaligus jenjang-jenjang tingkatan kelas pada beberapa institusi pendidikan Islam di Sunda-Jawa-Madura (seperti Mulabaruk di Garut, Darat di Semarang, Kebon Dalem di Surabaya, dan Bangkalan di Madura). Rekaman kitab-kitab Snouck tersebut sedikit banyak tidak jauh berbeda dengan list nama-nama kitab di atas. Memang ada beberapa penambahan, seperti kitab “Alip-Alipan”, kitab “Sapinah”, kitab “Jurumiyah”, dan kitab-kitab karangan ulama Nusantara berbahasa Melayu atau Jawa beraksara Arab (Jawi-Pegon) yang diperuntukkan untuk kalangan pelajar pemula.

Di Nusantara masa sekarang ini, masih terdapat beberapa institusi pendidikan Islam tradisional yang melestarikan, mempertahankan, dan mengembangkan kitab-kitab dan sistem kurikulum di atas secara baik. Beberapa institusi tersebut adalah pesantren-pesantren tradisional yang berafiliasi secara ideologi dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan telah berdiri (di antaranya) sejak abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur), Pesantren Ploso (Kediri, Jawa Timur), Pesantren Langitan (Tuban, Jawa Timur), Pesantren Sidogiri (Pasuruan, Jawa Timur), Pesantren Sarang (Rembang, Jawa Tengah), Pesantren Kajen (Pati, Jawa Tengah), Pesantren Tegalrejo (Magelang, Jawa Tengah), dan lain-lain.

Karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan pesantren-pesantren tradisional NU di Nusantara sebagai pewaris tradisi keilmuan Islam masa kekhilafahan.

Beberapa ulama Nusantara juga tercatat menjadi pengajar di Masjidil Haram dan madrasah-madrasah di Makkah pada masa-masa akhir pemerintahan Utsmani, seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfuzh Tremas, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Ahmad Pattani, Syaikh Husain Palembang, Syaikh Mukhtar Bogor, Syaikh Hasyim Asy’ari dan lain-lain.

Nama-nama ulama di atas punya keterkaitan yang sangat erat dalam jaringan intelektual yang menghubungkan mereka dengan nama-nama pesantren yang disebutkan di atas tadi.

Bogor, Muharram 1440 H/ September 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

12 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *