Makan Bedulang secara harfiah diartikan sebagai “makan menggunakan dulang”. Makan bedulang adalah makan sesuatu yang disajikan diatas dulang, biasanya terdiri dari 4 (empat) orang duduk dilantai, duduk berhadapan dan ditengah-tengahnya ada dulang. Makan bedulang merupakan tradisi orang Belitung secara turun temurun. Makan Bedulang berasal dari kata “makan” yang berarti memasukan sesuatu ke dalam mulut kemudian dikunyah dan ditelan. Dan dari kata “dulang”, yaitu sebangsa tulam yang biasanya berbibir pada tepinya, serta terbuat dari kayu.
Makan Bedulang adalah prosesi makan bersama yang dilakukan menurut adat Belitung dengan tata cara dan etika tertentu. Satu dulang diperuntukan bagi empat orang yang duduk bersila dilantai, saling berhadapan. Dalam tradisi ini disajikan berbagai makanan khas Belitung dalam seperangkat piranti Makan Bedulang, yang mencerminkan keterkaitan erat antara sistem sosial dan ekologi pulau Belitung. Salah satu makna fisolofis yang terkandung dalam Makan Bedulang adalah rasa kebersamaan dan saling menghargai antara anggota masyarakat. Duduk sama rata, berdiri sama tinggi. Biar tambah ramai, biasanya tradisi bedulang dilakukan di masjid dan balai desa sehingga bisa disantap lebih meriah.
Makna filosofis yang terkandung di dalamnya adalah tentang rasa kebersamaan dan saling menghargai antara anggota masyarakat yang menjadi cermin keterkaitan erat antara sistem sosial dan ekologi Pulau Belitung.
Cara penyajian makanannya, 7 piring berisi makanan dihidangkan dalam satu nampan besar yang disebut dulang. Nampan itu diletakkan di atas meja. Di dalamnya tersuguh sayur ikan dalam mangkuk model kuno, ikan nila goreng garing, oseng-oseng, sate ikan (mirip pepes), ayam ketumbar, sambal serai, dan lalapan (daun singkong+timun). Sumber daya alam yang tersedia diolah menjadi makanan-makanan lezat dan menyantapnya pun dilakukan secara bersama.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti Pulau Lepar, Pulau Pongok, Pulau Mendanau dan Pulau Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001. Selat Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November 2000 yang terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang.

Sejarah dan Prosesi
Dulang bagi masyarakat Belitung adalah sebidang nampan besar berbentuk bundar. Mulanya yang digunakan adalah dulang kayu, dulang seng yang hingga kini masih dipakai baru diperkenalkan pada 1950. Diperkirakan munculnya tradisi makan bedulang berkaitan dengan masuknya tradisi Islam ke tanah Belitung. Prosesi makan bersama akan melibatkan empat orang yang mengelilingi dulang. Mereka duduk bersila untuk menikmati dulang dengan tata cara tertentu. Bukan hanya menjadi bagian upacara adat seperti syukuran kelahiran, pernikahan, ataupun sunatan, bedulang juga merupakan sarana komunikasi informal antar anggota keluarga. Secara tidak langsung, orang tua mengajarkan etika kepada anak-anaknya melalui prosesi makan bersama.
Seperangkat dulang terdiri dari lauk-pauk khas Belitung yang disediakan di dalam piring-piring kecil, semua piring diletakkan di dalam nampan dulang. Dulang ditutup dengan tudung saji yang disebut mentudong. Nasi disajikan terpisah, demikian pula dengan air minum, buah-buahan, dan panganan pencuci mulut. Untuk membersihkan tangan disediakan kobokan dan serbet yang dilipat empat.
Uniknya, tamu yang hendak santap bedulang tidak serta-merta melayani diri sendiri. Ada seseorang yang disebut “mak panggong” untuk membantu pelaksanaan makan bedulang. Mak panggong tidak sendirian dalam memasak, menata bedulang, menuangkan air minum, menyiapkan kue, dan piranti lainnya. Ia berkoordinasi dengan empat petugas yang disebut tukang rage, tukang perikse, tukang isi aik dan tukang angkat dulang. Biasanya petugas-petugas ini adalah tuan rumah yang dilatih sebaik mungkin untuk memberi suguhan kepada tamunya.
Umumnya bedulang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah dan ketersediaan bahan makanan di suatu wilayah. Kuliner pesisir akan berbeda dengan kuliner pedalaman namun tetap diracik dengan citarasa khas Belitung. Beberapa menu khas yang bisa dinikmati adalah gangan darat yaitu sup daging ayam atau daging sapi, serati atau cumi yang dimasak dengan ketumbar, sate ikan, sambal, dan kuliner khas lainnya.
Setelah mak panggong selesai membawa seluruh keperluan bedulang ke hadapan tamu, kini giliran tamu yang melakukan etika bedulang. Tamu paling muda bertugas mengambil piring dan memberikannya pada tamu yang lebih tua. Umur tidak hanya patokan satu-satunya untuk menentukan ini, status sosial pun menjadi ukuran. Sebelum makan tangan terlebih dahulu dicuci. Lalu lauk pauk baru bisa diambil dan tentunya dengan cara yang tertib. Makanan yang sudah diambil harus dihabiskan agar tidak mubazir, sedangkan makanan yang masih ada di dalam bedulang tidak boleh dikotori agar dapat dikembalikan ke dapur.
Kemudian bagi yang merasa paling muda dalam kelompok itu seharusnya membagikan nasi ke ketiga teman lainnya. Setelah itu bagi yang merasa paling tua boleh mengambil lauk pauknya terlebih dahulu kemudian diikuti oleh yang lainnya secara bergiliran. Tata cara makan adat ini saat ini dilestarikan oleh restaurant-restaurant kuliner Belitung dengan penyajian makan dalam dulang untuk satu keluarga.
Makan Bedulang tidak boleh menggunakan sendok, maka diwajibkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Karena hanya satu “kobokan” sehingga mencuci tangan juga ada aturan sendiri yakni orang paling tua harus mendapat urutan pertama dan yang muda mendapat giliran paling akhir. Satu bedulang berisi berbagai lauk pauk menggugah selera lengkap dengan nasi merah, buah dan jus.
Makan bedulang menggambarkan kebersamaan, toleransi, menghargai yang lebih tua, rasa syukur dan persatuan. Duduk bersila dinilai menjadi posisi duduk yang paling baik, menyehatkan dan sempurna saat makan bedulang. Dalam tradisi ini, terjadi transfer kearifan lokal, pengetahuan dan keterampilan dari generasi ke generasi.
Bedulang kini tidak hanya bisa dinikmati oleh warga asli Belitung. Seiring dengan meningkatnya pariwisata, Bedulang bisa dicicipi wisatawan di Rumah Adat Belitung namun tetap mentaati peraturan yang ada. Selain satu bedulang hanya bisa dinikmati oleh empat orang, juga hanya tersedia untuk makan siang dan makan malam.
Makan bedulang disebut juga Makan Bagawai. Makan Bagawai masih sering dijumpai dalam acara acara pernikahan di Belitung. Makan Begawai artinya makan di tempat orang begawai atau hajatan. Cara makan ini adalah dengan menaruh nasi dan lauk pauknya ke dalam “Dulang”.
Tradisi ini selalu membuat para perantau kangen ingin mudik lebaran. Kumpul bareng keluarga, ketemu dengan sobat lama, dan juga bisa bersilaturahmi dengan tetangga. Kalau di tempat lain momen lebaran orang-orang saling berkunjung ke rumah kerabat untuk bermaaf-maafan, tradisi bedulang yang masih dilakukan hingga sekarang selalu identik dengan makan-makan.
Tradisi ini pun dianggap menjadi salah satu alternatif untuk memanfaatkan potensi alam serta mengurangi ketergantungan produk dari luar karena apa yang dikeluarkan oleh perut bumi, itulah yang nanti akan diracik dan dimasak menjadi sajian lezat dalam tradisi bedulang.
Karena itulah kenapa tradisi bedulang erat kaitannya dengan ungkapan rasa syukur dengan hasil bumi yang diperoleh sehingga hanya produk dari daerahlah yang tersaji dalam nampan bedulang. Mungkin kalau di Jawa lebih dikenal dengan istilah gunungan yang menjadi simbol rasa syukur dari hasil bumi yang dipanen.
Sebenarnya ada dua kesempatan untuk menikmati meriahnya tradisi Bedulang, yaitu saat hari raya Idul Fitri dan saat Maulud Nabi Muhammad SAW. Biasanya, makan bedulang dilakukan di Balai Desa atau masjid saat hari raya umat Muslim. Makan bersama dilakukan usai berdoa bersama atau mengaji.
Tradisi Makan Bedulang biasanya dilaksanakan untuk menyambut/ menghidangkan tamu-tamu undangan dalam acara adat seperti perkawinan adat, selamat kampong dsbnya.
(bersambung)

One response

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *