Categories:

Kontributor: Imam Aziz Hasanudin (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Sejak lahir kita sudah diajarkan bagaimana caranya untuk berbicara dengan berbagai upaya yang dilakukan kedua orang tua kita supaya anaknya mampu berbicara, seperti halnya di saat kita dilahirkan oleh ibu kita, suara yang pertama kali keluar dari mulut kita tak lain disebabkan karena menangis, suara yang dikeluarkannya itu menjadi pertanda bahwa kita memiliki potensi kemampuan untuk berbicara, terkadang ketika sudah meranjak ke jenjang usia yang lebih tinggi, terpikir sejenak bahwasanya berbicara itu bisa membawa hal yang positif maupun negative.

Manusia merupakan makhluk sosial, sebagaimana makhluk sosial ini tidak bisa hidup seorang diri, manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalankan kehidupannya, hal seperti ini yang membuat adanya hubungan antar sesamanya akan terjalin baik, apabila di dalam berbicaranya memiliki etika, sebaliknya apabila etika di dalam berbiacara tidak dimilikinya, maka akan membuat adanya hubungan antar sesama akan terjalin tidak baik.

Selain itu berbicara merupakan hasil dari pemikiran manusia yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya pada waktunya untuk disampaikannya kepada orang lain, maka dari itu berbicara ini sama halnya dengan menulis naskah di buku atau yang lainnya, sehinggga bisa di baca maupun di pahami oleh pembaca.

Dari beberapa manuskrip yang telah saya baca, sekilas saya pun termotivasi dari sebuah pasal yang telah dijelaskan di dalam syahrul kalam melalui naskah kunonya yang berjudul Ayat Al-Qur’an pilihan, mengenai asal ini secara tidak langsung mengajak manusia untuk lebih berhati-hati dalam berbicara.

Salah satu manuskrip yang ingin saya mengkajinya lebih lanjut ini merupakan manuskrip yang berasal dari daerah Ciamis, Jawa Barat, dengan begitu kita pun bisa mengaksesnya melalui   https://lektur.kemenag.go.id. Menurut puslitbang Lektur dan khazanah keagamaan Badan Litbang dan Diklat KEMENTRIAN AGAMA, naskah ini diberikan judul “ayat Al-Qur’an pilihan” berdasarkan dari isi naskah itu sendiri, karena judul aslinya tidak dijumpai baik pada kaver maupun teks naskah itu sendiri. Demikian juga nama penulis naskah maupun nama pemilik naskah tidak diketahui, baik pada kaver maupun dalam teks naskah. Adapun bahasa yang dipakai dalam tulisan naskah ini adalah bahasa Arab, sedangkan untuk penjelasannya mengunakan bahasa Jawa. Naskah ini ditulis menggunakan kertas jenis HVS bergaris, ketebalan 38 halaman, setiap halaman terdiri dari 12 baris, tanpa mencantumkan nomor halaman, yang ditulis dengan tinta hitam masih dapat dibaca seluruhnya dengan jelas. Naskah di jilid dengan benang, dan di kaver dengan kertas berwana biru muda.

Mengenal Fasal di Dalam Syahrul Kalam

Menurut KBBI V, pasal merupakan hal perkara; pokok pembicaraan (perselisihan dan lain sebagainya), selain itu tujuan kata pasal digunakan dalam beberapa kalimat KBBI seperti halnya untuk menyatakan (sesuatu); mengingatkan dengan menyebut bukti.

Pasal yang terdapat di dalam syahrul kalam ini diperuntukkan kepada umat manusia dalam menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial, yang pastinya membutuhkan komunikasi yang baik antar sesama, sehingga terwujudnya kehidupan yang aman dan tentram.

Melalui kegiatan berkomunikasi, manusia dapat meningkatkan kualitas hidupnya, dengan berbicara ini dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai kepribadiannya maupun tingkah lakunya.

Berikut ini merupakan teks kutipan dari halaman terakhir manuskrip “ayat Al-Qur’an pilihan” mengenai pasal di dalam syahrul kalam:

”Iyeu fashalmertelakeun syrah al-Kalamhartna nya ayana ngaesepkeun kana loba omongan… ngalobakeun omongan anu henteu manfaat ayana manah peteng ati, jeung sok paeh ati. Hartina ayana manah henteu aya karep kana kahadean, jeng matak loba kasalahankarana di dawuhkeun ku kangjeng Nabi Saw dina hadist: ” Man kaṡura tha’mugu kaṡura saqṭuhu, waman kaṡura  saqṭuhu kaṡura żunūbahū…”

Artinya:

Ini adalah pasal yang menjelaskan tentang Syarhul kalam, artinya membanyakan bicara, membanyakan bicara yang tidak ada manfaatnya dan justru malah akan menyebabkan hati menjadi gelap, dan hati menjadi mati, selain itu juga menyebabkan banyaknya kesalahan. Sebagaimana telah diceritakan oleh Rasulallah SAW dalam haditsnya: ” Man kaṡura tha’mugu kaṡura saqṭuhu, waman kaṡura  saqṭuhu kaṡura żunūbahū…”

Dalam pasal ini menerangkan bahwasanya manusia yang banyak berbicara akan membuat hatinya mati, apabila manusia memiliki hati yang mati, ketika diberikan nasihat oleh orang lain ia pun tidak menyadarinya, walaupun akal pikiran yang dimilikinya itu sadar atas hal tersebut, akan tetapi ia akan tetap melakukan kesalahan-kesalahan sama seperti sebelumya, sebagaimana diibaratkan hati yang mati tidak akan bisa memakan nasihat yang baik, sehingga menjadikannya sebagai orang yang sombong dengan ulama, selain itu, ciri-ciri manusia yang hatinya mati, ketika mengingat dosa tidak menitihkan air mata, kemudian dengan mudah baginya untuk melakukan segala perbuatan yang di larang oleh Allah Swt, sebaliknya dengan manusia yang memiliki hati yang hidup ketika melakukan perubuatan dosa akan menitihkan air matanya, diberikan nasihat hatinya terenyuh, dengan orang lain penuh kasih dan juga tawadhu, beda halnya dengan hati yang mati itu pasti hatinya keras, karena hati yang keras pastinya akan bertingkah laku seenaknya dengan orang lain, dan juga ketika diberikan nasihat oleh orang lain akan membantahnya, akan tetapi apabila hatinya hidup walaupun diberikan nasihat oleh anak kecil akan mengucapkan terimakasih.

Hadis yang terdapat pada pasal di dalam syahrul kalam ini diriwayatkan dari Abdullah bin Umar,

من كثر كلامه كثر سقطه ومن كثر سقطه كثرت ذنوبه ومن كثرت ذنوبه كانت النار أولى به

“Barangsiapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak salahnya, dan barangsiapa yang banyak salahnya maka akan banyak dosanya, dan barang siapa yang banyak dosanya maka lebih pantas masuk neraka.”

Kualitas hadis ini dikategorikan sebagai hadis yang derajatnya lemah, sebagaimana hadis ini bisa dikatakan lemah karena salah satu periwayat dari sanadnya tersebut dikategorikan sebagai seorang yang majhul.

Tulisan hadis yang terdapat pada pasal di dalam syahrul kalam ini hanya sampai lafadz “żunūbahū” yang sudah di transliterasi oleh penulis dikarenakan lafadz di dalam isi teks manuskripnya tidak dapat dibaca, selain itu ada beberapa tulisan hadisnya yang tidak bisa ditulis dengan sempurna seperti halnya pada lafadz “Man kaṡura tha’mugu” yang sebenarnya tulisan pada lafadz tersebut ialah  “Man kaṡura kalamih.”

Foto: https://lektur.kemenag.go.id/manuskrip/web/koleksi-zoom/38905.html#

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *