Jumat jam 21 malam saya dijapri Dr. Ali Anwar Mhd  bahwa Mbah Jad sakit. Malamnya saya bermimpi banyak orang tinggi besar menjaga rumahnya Mbah Jad yang ruangannya besar sekali. 

Berdasar kisah para santri dan jamaah Mbah Jad, pada hari Kamis, beliau sudah capek dan tidak mengaji. Pada malam Jumat mendatangi adiknya, yakni Kiai Syakur (rumahnya dekat dengan Mbah Jad) untuk memasrahkan kepengurusan takmir masjid di desa itu.

Kata adik Mbah Jad yang lain, yakni Kiai Rouf,  Mbah Jad yang kelahiran 1930 pada hari Jumat subuh saat ngimami sholat subuh di rokaat pertama setelah ruku’ lalu mau i’tidal, beliau  jatuh dan untung ditampani para  santri.

Setelah itu Kiai Rouf berinisiatif membawa ke rumah sakit yang memang salah satu RS (RS Bhayangkara) telah menyiapkan ruang khusus. Mbah Jad tidak mau dan berkata kepada Kiai Rouf  “Orang sakit panas itu diampuni dosanya oleh Allah, makanya kalau sakit panas tidak usah ditambani (diobati) agar tidak hilang pahalanya.”

Pagi tadi sekitar jam 6 Mbah Jad wafat. Kita kehilangan guru spiritual yang istiqomah. Kiai Rouf  berkata saat upacara pemakaman, bahwa berdasar musyawarah keluarga, Mbah Jad  dimakamkan di depan musholla pondoknya. Pondok itu dibangun Mbah Jad tanpa cari sumbangan. Bani Kiai Faqih sepakat pondok pesantren diwaqafkan. Kiai Rouf memungkasi kepada seluruh para pelayat untuk daf’ul fitan (menghindari fitnah) agar memaki masker dan cuci tangan.

***

Kalau mengamati keseharian Mbah Jad, kegiatan beliau sangat padat hingga jelang wafat. Beliau ngimami sholat  lima waktu. Lalu bakda Maghrib ngaji sampai jam 20.00  selanjutnya istirahat. Pada pukul 24.00 adzan dilanjutkan qiyamul lail lalu istighosah sampai subuh. Ritual rutin ini dilakukan sampai pada hari Rabu. 

Tidak hanya kegiatan di atas, tamu beliau setiap hari sangat banyak hingga antri menunggu.Terakhir 40  hari lalu, saya mau sowan, tapi tamu sangat banyak. Saya menunggu sepinya tamu sampai lama sekali hingga harus menunggu di rumah adik perempuan Mbah Jad (Mbah Wur) yang tepat ada di sebelah pondok. 

Karena sudah sore, maka saya saat melihat Mbah Jad menuju dapur ambil sayur terong, saya langsung mencegat beliau , maksud saya paling tidak untuk salaman dan pamit. Mbah Jad berkata sambil membawa terong, “Kalau tidak masuk ruang tamu nanti tidak bisa omong omong dengan saya.” Entah saat itu saya semendal dengan ucapan Mbah Jad, saya menjawab karena hampir Maghrib dan ada jadwal di Tambakberas. Lalu Mbah Jad berkata,  “Kalau begitu saya doakan di sini saja.” Beliau berdoa sambil berdiri. Itulah pertemuan saya terakhir dengan beliau.

Untuk sang kiai kampung yang bermanfaat bagi masyarakat Alfatihah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *