Catatan Muhammad Munir

Sebagaimana kita mafhum, Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah sosok yang melegenda dan diabadikan dalam manuskrip dan berbagai versi lontara’ di Mandar. Salah satu lontara’ menyebutkan sebagai berikut :
“Pannassai toi iyamo diqe upannassai pau-paunna todiolota, disanga Kanna I Pattang, appona Todilaling. Ana’na Todijalloq. Apa matei amanna, maraqdiami di Balanipa anna polemo Tosalamaq di benuang, todilaiq diitaq Makka. Talaqbong nala lopi, teqeng bassi nala takong. Iyamo mappasallang idaeng mapattang, sallammi maraqdia siola to Balanipa ingganna banua kayyang; Napo, Samasundu, Mosso, Toda-Todang. Massahadaq, mappuasa, massakkaqi, mappittara, massambayang, manjuqnuq, massatinja, napakeqdeq ajumaq di Balanipa I Puang di Benuang. Anna mebainemo maraqdia Balanipa daiq di Tun-nunnuang, di appo najalu maraqdia di Tammemba, maraqdia di Baroqboq nalikkai. Iyamo mappauruq-uruang nande saraq maraqdia di Balanipa.”

Artinya:
Demikian fakta sejarah yang telah dikemukakan oleh pendahulu bernama Kanna I Pattang, cucu Todilaling, putra Todijallo. Setelah ayahnya mangkat, digantikan oleh Kanna I Pattang. Berselang tiga memimpin tampuk kerajaan Balanipa, ulama yang bergelar Tosalama di Binuang berkunjung ke Balanipa setelah pulang dari Makkah. Mayang kelapa yang dijadikan kendaraan (perahu), dengan dayung yang terbuat dari besi. Dialah peganjur Islam di Balanipa dan mengislamkan Idaeng Mapattang, dan diikuti seluruh rakyatnya yang notabene warga Balanipa yang tersebar di beberapa wilayah meliputi; Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-Todang. Mereka telah mengaplikasikan rukun Islam yang terdiri atas: syahadat, puasa, zakat, shalat, junub, istinja, mendirikan shalat jumat di seluruh Balanipa. Ketika itu sang raja menikah di Tinunnungang, menikahi cucu raja Tammemba dan Baroqboq. Dialah sang Raja yang menikah dengan menggunakan aturan syariat, mas kawinnya empat puluh empat.

Selain lontara’, beberapa literatur yang mengangkat kisah Abdurrahim Kamaluddin dan Bil Ma’ruf antara lain Agama Nelayan karya Arifuddin Ismail, Sejarah Islam di Mandar karya Ali Parman dkk, Ensiklopedi Sejarah, Tokoh dan Kebudayaan Mandar karya Suradi Yasil. Dari berbagai sumber tersebut diketahui bahwa kedua Tosalama’ yang makamnya di Pulau Tangngnga ini memiliki hubungan guru dan murid. Syekh Abdurrahim adalah guru dari Bil Ma’ruf.

Arifuddin Ismail dalam Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal (2012) menyebut Syekh Abdurrahim adalah sosok yang sama dengan Syekh Bil Ma’ruf, yang merupakan ulama dari Samarkand, salah satu kota di Uzbekistan, Asia Tengah.

Syekh Bil Ma’ruf memang punya kisah yang cukup termasyur di Tanah Mandar. Abu Muslim, dalam jurnal Simbol pada Makam Syekh Bil Ma’ruf dan Sosio-Religi Pulau Tangnga Sulawesi Barat (2016) menyebutkan ahli tasawuf tersebut dipercaya Kerajaan Binuang untuk memimpin pendirikan masjid pertama di sana.

Kehebatannya menentukan arah kiblat lantas membuatnya digelari Saiyye’ Losa. Gelar tersebut disematkan karena konon Syekh Bil Ma’ruf mampu memperlihatkan wujud Ka’bah melalui celah dinding masjid saat orang meragukan arah kiblat di tengah pembangunan masjid.

Masih dalam sumber yang sama, Arifuddin Ismail menyebutkan Syekh Abdurrahim menginjakkan kaki dan menyebarkan ajaran Islam di Sulbar pada abad ke 17 atau sekitar 1610 Masehi. Ulama tersebut datang bersama saudagar Arab serta para mubaligh dari Makassar.

Jika kita menelaah sumber lontara’, Abdurrahim Kamaluddin ini adalah sosok yang begitu dimuliakan sehingga muncul kepercayaan bila Syekh Abdurrahim adalah sosok yang mampu salat di atas pelepah daun pisang, berjalan di atas air laut dan pelepah daun kelapa, serta menggenggam bara api. Dan pengaruh Syekh Abdurrahim yang cukup besar di tanah Mandar membuatnya mampu mengubah kebiasaan penduduk di sana. Sekedar diketahui, sebelumnya kehidupan tradisional suku Mandar masih dalam suasana hinduistik. Kehadiran Islam di tengah-tengah mereka membawa ajaran dan nilai baru yang melahirkan akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Mandar (Arifuddin Ismail, 2012).

Sebelum Daetta Tommuane (Tandibella Kakanna I Pattang) Raja Balanipa ke-4 masuk Islam, Kanne’ Cunang (Mara’dia atau Raja Pallis telah memeluk Islam terlebih dahulu. Setelah Daetta masuk Islam, maka semua rakyatnya pun masuk Islam dan dari sinilah Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan. Konon beliaulah yang pertama mengubah Sayyang Pattu’du’, tradisi kuda menari menjadi perayaan bagi anak yang baru khatam Qur’an. Tradisi ini sudah ada sejak agama Islam belum masuk di wilayah ini. Syekh Abdurrahim juga mendirikan semacam sistem pendidikan yang disebut “Mukim” yang juga tercatat dalam lontara sebagai keputusan kerajaan:

Naiyya mukim, tannaindoi Allo, tannaimbusi iriq, tandi papandengnge’i, tandi papambullei, tandi papajagai, tandi pammanangi. Madodong duambongi anna loppa’i litaq, malolii dai di timor tarrappuq, malolii naung di waraq tarrappaq.

Artinya:
Adapun mukim itu tak tertimpa panasnya matahari, takkan terhembus tiupan angin lalu, takkan dibebani tugas-tugas yang berat dan pikulan yang berat, takkan dijadikan hamba sahaya. Besok atau lusa apabila negeri dalam keadaan panas (kacau), ke Timur atau ke Barat mereka takkan pecah (tidak boleh diganggu).

Sistim pendidikan Mukim ini dikembangkan menjadi Mukim Patappulo oleh Annangguru Malolo atau Musy’ab Baabullah di Tangnga-Tangnga (Desa Lambanan Kec. Balanipa). Annangguru Malolo melaksanakan mukim patappulo ini dalam sebuah langgar yang diberi nama Haqqul Yakin, setelah berpindah ke Lambanan namanya diubah menjadi Masjid Abadan. Diatas gunung Tangnga Tangnga saat ini masih bisa kita longok artepak peninggalan langgar itu berupa passauang tuere (sumur yang diberi berkah/rahmat). Sayang sekali, sebab masjid tua peninggalan Annangguru Malolo ini sudah dirubuhkan dan diganti dengan bangunan baru sejak tahun 2016 lalu.

sumber : FB Mandar studies

10 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *