Catatan Muhammad Munir

Matahari sudah mulai bergeser ke arah barat. Mobil Innova yang ditumpangi oleh Dr. Zain dkk beranjak meninggalkan kappung masigi Desa Bonde menuju ke Lapeo. Mobil kami beriringan memasuki gerbang Wisata Religi Masjid Nuruttaubah atau yang lebih dikenal Masjid Imam Lapeo. Masjid yang dibangun pada tahun 1902-1906 dalam bentuk langgar ini sampai sekarang masih berdiri kokoh dan menjadi masjid termegah di wilayah ini. Dari Langgar inilah kemudian Masjid Lapeo dibangun untuk tahao petama pada tahun 1906 sampai 1916.

Dari sinilah Muhammad Thahir dikukuhkan sebagai Imam Masjid. Namanya yang kemudian banyak dikenal orang terutama karena pengetahuan agamanya yang luas dan diberi banyak kelebihan oleh Allah SWT. Kehadiran Masjid Lapeo, menjadikan agenda Tosalama’ Muhammad Thahir atau Imam Lapeo dalam penyiaran Islam kian meluas dan tertata rapi. Namun di sisi lain, sang Imam tak luput dari gangguan dan ancaman pembunuhan. Maklum saat itu masih banyak warga masyarakat di Mandar yang belum menjadi pengikut ajaran Muhammad SAW ini secara benar dan kahfah. Berkat keikhlasan menjalankan misi kebenaran yang diturunkan langsung Allah SWT dan kemampuan ilmu pencak silat yang dipelajarinya ketika masih di Padang, maka tantangan dan cobaan itu tak mempan bagi Imam Lapeo.

Tiba di Masjid Imam Lapeo, rombongan Dr. Zain menikmati suasana Masjid yang dihalaman depan terpajang Mushap Al Quran besar yang dipadati banyak jamaah dan pengunjung, termasuk menziarahi makam Imam Lapeo di sudut Masjid tepat berada di bawah menara Masjid. Dari Masjid ini, yang memenuhi syarat sebagai situs bersejarah tinggal makam, menara dan boyang kayyang, sebab masjid sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru sehingga jika merujuk pada Undang Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, masjid Umam Lapeo hanya bisa didaftar sebagau struktur bangunan masjid.

Berada di Masjid ini, saya berfikirnya bahwa Kawasan Wisata Religi mestinya lebih terpola dan dikelola secara profesional sebagai obyek wisata. Bangunan megah ini harusnya disiapkan museum mini Imam Lapeo. Meseum yang yang nantinya bisa menampilkan manuskrip dan dokumen terkait Imam Lapro. Termasuk benda atau barang yang pernah digunakan oleh Imam Lapeo selama hidupnya. Ini penting, sebab jejak Imam Lapeo itu penting sebagai media edukasi bagi semua pengunjung. Selain museum, souvenir dan buku tentang Imam Lapeo harusnya dicetak banyak dan dijual untuk umum agar jejak dan karomah beliau semakin banyak dibaca olrh masyarakat.

Lalu dari sisi ajaran dan tharekat, ritual rate sammang mestinya sewaktu waktu bisa disaksikan atau bahkan para pengunjung bisa ikut maksyuk dalam ratiban ini. Dengan demikian para jamaah dan pemgunjung tidak saja diduguhi dengan tampilan masjid dan makam, tapi bisa menikmati suasana yang lain terkait kebesaran Imam Lapeo ini. Bahkan saya membayangkan kawasan Wisata Religi ini terdapat komunitas pemuda kreatif yang memproduksi marchandise dan T. Shirt atau oblong bergambar masjid, menara dan Imam Lapeo. Disini diperlukan konsepbdan perencanaan penerintah dalam menata kawasan wisata religi. Peran pemerintah harus jelas dan terukur, bukan sekedar nebeng dengan gernang wisata religi, sebab tanpa penerintah pun tempat ini sudah menjadi pusat kunjungan.

Buku Imam Lapeo yang sudah terbit mesti dicetak ulang, termasuk memberi ruang bagi siapa saja untuk penulis baru meriset dan menulis tentang jejak beliau. Bukan hanya fokus pada penulisan daftar karomah beliau. Kenapa jejaknya penting diriset, sebab jejaklah yang menjadi pemantik mengapa Imam Lapeo sampai pada maqam kewalian dengan sejumlah karomah yang mrnyejarah di masyarakat. Membaca jejak beliau akan menjadi ukuran kepantasan beliau mendapat karomah yang tak lain adalah keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada setiap hambanya yang mempantaskan diri. Semua itu telah dilakukan oleh Imam Lapeo.

Hal menarik yang saya ingin kutipkan tulisan yang dirangkai oleh Sarman Sahuding terkait rekam jejak sosok Tosalama yang memiliki nama kecil JUNAIHIN Namli ini. Ia terlahir dari orang-orang yang memang sangat dekat dengan Islam. Bahkan kakeknya, Abdul Karim atau yang digelari Kanne’ Buta adalah penghafal Al-Quran. Begitu pula ayahnya, Muhammad, yang tamat hafalan Qurannya. Mungkin dari titisan itulah yang kemudian terpancar dari wajah dan semangatnya sehingga Puang Kadhi JumpuE di Pinrang, Sulawesi Selatan, berbesar hati memeliharanya untuk tinggal bersama di rumahnya. Dan terbukti, hasrat Muhammad Thahir pada ilmu agama begitu tinggi.

Karena kehausan pada ilmu agama pulalah sehingga pada suatu ketika, Muhammad Thahir hendak meninggalkan JumpuE untuk mencari tempat di mana Islam akan lebih bisa dipelajarinya secara luas dan mendalam. Suatu waktu, Kadhi JumpuE agak kaget mendengar permintaan Muhammad Thahir. Genap lima tahun Muhammad Thahir menetap di JumpuE. Atau lebih tepatnya di rumah Puang Kadhi JumpuE, Pinrang.

Pada suatu sore di kala mentari sudah merapat ke ufuk barat, Muhammad Thahir duduk bersimpuh di hadapan Kadhi JumpuE, yang tak lain adalah tuannya dan sekaligus pengganti ayahnya selama lima tahun. Hal yang diutarakan Muhammad Thahir seolah telah diperkirakan oleh sang tuan itu. Apa yang disampaikan Muhammad Thahir? Dia bermohon kepada Kadhi JumpuE untuk diberi izin pergi ke daerah Padang, Sumatera Barat, untuk memperdalam ilmu Agama Islam.

Sang Kadhi lalu bertanya, “kamu mau naik apa ke Padang Muhammad Thahir?”, Dia menjawab, “kebetulan di pinggir pantai JumpuE sedang sandar perahu. Mudah-mudahan mereka mengikutkan saya ke Padang, Sumatera Barat, guru.” Begitu penjelasan Muhammad Thahir kepada orang tua keduanya ini. “Apa tujuan utamamu ke Padang Muhammad Thahir?” Dia jawab lagi, “saya mau belajar Agama Islam guru. Yang saya tahu bahwa di Padang adalah salah satu tempat bermukimnya para pemuka-pemuka Agama Islam yang sudah tidak diragukan lagi.”

Mendengar penjelasan itu, sang guru pun mengizinkan anak yang juga muridnya ini untuk berangkat ke Padang, Sumatera Barat. Setelah pemakluman atas cita-cita yang luhur itu, Kadhi JumpuE pun memberi Muhammad Thahir beberapa keping uang logam untuk ongkos dan sebagai bekal selama di perjalanan. Sang Kadhi tahu bahwa uang yang diberikannya itu tentu tidaklah cukup, tapi ia tahu bahwa dengan kesungguhan dan ketulusan hati Muhammad Thahir untuk merantau jauh belajar dan memperdalam Agama Islam, maka Allah akan menurunkan berkah bagi anak muda ini.

Dari cerita terakhir ini saya melihat bahwa keistimewaan yang diterima oleh Imam Lapeo itu memang layak, sebab belau mempantaskan diri untuk menempati maqam itu. Allah telah menjadikan beliau sebagai sosok yang patuh dan patut untuk dipatuhi. Lahul Fatihah.

Sumber: FB Mandar studies

4 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *