Catatan Singkat Kajian Mingguan Kitab al-Risalah dan al-Mustashfa Ke-125
Kemasyhuran Imam al-Syafi’i dan Imam al-Ghazali adalah maklum adanya. Yang pertama ditasbihkan sebagai “nashirussunnah” (penolong sunnah), sedangkan yang kedua dikenal sebagai “hujjatul islam” (pembela Islam). Dengan kepakarannya masing-masing, keduanya adalah suri teladan praksis kerendahan hati. Ilmu dan amal seluas samudera, namun tak membuatnya membusungkan dada. Apalagi menganggap pemahamannya sebagai kebenaran tunggal.
Kekuatan dan kedalaman memahami teks agama adalah sebuah keniscayaan. Membangun kejelasan dan keruntutan argumentasi dan konklusi adalah sebuah keharusan. Namun, di saat yang sama, menghargai pendapat orang lain yang berbeda adalah sebuah kematangan. Bersedia mendengar dan menyimak alur pendapat orang lain adalah sebuah kedewasaan. Terbuka menerima kritik dan sanggahan adalah sebuah kelapangan. Dari sikap keterbukaan inilah keilmuan dapat terus dimatangkan.
Pagi ini, Jum’at 16 Oktober 2020, untuk kesekian kalinya, kita tertegun. Di sudut halaman kitab al-Risalah ataupun al-Mustashfa kita mendapati sebuah kalimat penuh makna; “wallahu ta’ala a’lam”. Setelah secara runtut dan argumentatif, Imam al-Syafii mengajukan pendapat bahwa khabar wahid bisa menjadi dalil (sumber hukum), beliau menutupnya dengan kalimat “wallahu ta’la a’lam”. Dengan kata lain, Imam al-Syafi’i ingin meneguhkan bahwa inilah pendapat yang benar, namun kebenaran hakiki tetap milik Allah ta’ala. Terbuka kemungkinan ada pendapat ulama lain yang berbeda, namun juga mengandung kebenaran.
Demikian halnya dengan Imam al-Ghazali, ketika sudah berlembar-lembar mengkritisi argumentasi Mu’tazilah terkait kewajiban syukur berdasar akal atau wahyu, ulama multi disipliner itu tidak segan menutup ulasannya dengan kalimat “wallahu ta’ala a’lam”. Menurut tilikan Imam al-Ghazali, argumentasi Mu’tazilah menyimpan banyak kelemahan dan problema. Karena itu, tiap titik pijak argumentasi Mu’tazilah didedah satu persatu. Namun demikian, bukan berarti hal ini membuat Imam al-Ghazali menganggap pendapatnya adalah kebenaran tunggal. Sedangkan pendapat Mu’tazilah adalah salah mutlak. Ada beberapa titik yang tetap bisa disepakati bersama.
Jika sekaliber Imam al-Syafi’i dan Imam al-Ghazali saja tetap rendah hati mengutarakan pendapat, maka pantaskah kita menganggap pendapat dan pemahaman masing-masing sebagai kebenaran tunggal? Mengukur dan menghukumi pendapat orang lain dengan pendapat kita?
Wallahu ta’ala a’lam bisshowab.
No responses yet