Namanya Mohammad Ro’i, kadang ditulis Matrai. Warga desa/Kec. Jombang Kab. Jember memanggilnya Pak Ro’i. Saya dan keluarga memanggilnya takdzim, Pakde Ro’i. Sebab, Bude Hj. Mas’amah, istrinya, masih sepupu ibu saya.

Dalam perang kemerdekaan, Pakde Ro’i bertempur di Surabaya, November 1945. Pakde Ro’i bersama pasukan lain mendapatkan amalan dari KH. Romly Tamim Rejoso Jombang. Juga semacam “rompi ontokusumo” dan rotan yang telah disepuh bacaan Hizb  pemberian beliau. Ketika Surabaya jatuh, bersama para sahabat sesama anggota Hizbullah, beliau mundur untuk beralih taktik gerilya. Dari Jember, Lumajang, Pasuruan, hingga Malang.

Di era revolusi fisik, khususnya dalam Aksi Agresi Militer I dan II, 1947-1948, Pakde Ro’i pernah bertempur di front Malang. Waktu itu, setelah berhasil menguasai pos Belanda, Laskar Hizbullah beristirahat. Maklum, capek. Sebagian ngotot bergerak, sebagian memilih bersantai dulu. Tak disangka, pesawat Belanda menghujani pos yang telah dikuasai mereka dengan rentetan tembakan dan luncuran bom.

Akibatnya, banyak di antara mereka yang menjadi syuhada. Saya masih ingat, pada 2005, ketika menuturkan kisah ini, pandangan beliau nanar, teringat para sahabatnya yang gugur.

“Arek-arek wis tak ajak ngaleh, tapi gak gelem. Kekeselen jare. Akhire Londo nyerbu balik. Yo wis, akeh sing dadi korban…” suaranya berat, menahan pedih peristiwa yang telah berlalu pilihan tahun sebelumnya. Saya menduga, peristiwa ini terjadi pada Agresi Militer I, Juli 1947, yang membuat pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Malang jebol. Kabar ini yang membuat KH. Hasyim Asy’ari shock, lalu terkena serangan jantung, lantas wafat.

Dalam buku “Perjuangan Total Brigade IV”, tentang hijrahnya Pasukan Hizbullah dari Lumajang di halaman 123, sebagaimana saya nukil dari komentar akun @Fajar Tillauer di status FB-nya Ustadz Farhat Abu Abdurrahman, peristiwa gerilya yang dituturkan oleh Pakde Ro’i dilukiskan dengan narasi demikian:

“…Dari kelaskaran Hizbullah Lumajang juga dilakukan hijrah. Mereka berangkat menuju daerah Malang Selatan dengan berjalan kaki melintasi Gunung Semeru siang dan malam, dengan tujuan akhir Kota Dampit. Kelaskaran Hizbullah bermarkas pada sebuah gudang kopi milik Pak Karto Sastro. Beliau adalah pemilik kebun kopi di Malang Selatan, ternyata pasukan A. Djalal serta pasukan Panjiluwung Suwarno Fatah juga sampai ditempat tersebut. 

Selain ditempuh dengan berjalan kaki melewati Gunung Semeru, kelaskaran Hizbullah juga memberangkatkan pasukannya melewati daerah pendudukannya. Pasukan tersebut diantaranya berasal dari pasukan Anas Zaini dan Aziz Masyhuri…”

(Catatan: Bapak Aziz Masyhuri ini adalah ayahanda Mbak Dokter Zahrotur Riyad)

Setelah menjadi anggota TNI-AD, Pakde Ro’i dikirim ke palagan penumpasan RMS di Maluku, penyergapan DI/TII di Makassar, penumpasan PKI hingga Operasi Seroja di Timor Timur. Saat sowan pada lebaran, dulu saya sering diberi oleh-oleh cerita kiprah beliau di palagan ini. Cerita yang membuat miris, ngeri, kadangkala membuat terbahak bahak. Ada saja cerita lucu di medan perang.

“Angkatan Pertama Hizbullah Jember”

Dalam catatan Mas Y. Setiyo Hadi alias Mas Yopi, sejarawan Jember, Pakde Ro’i termasuk angkatan pertama pemuda yang dikirim ke Cibarusah, Bogor, mengikuti pelatihan perdana Laskar Hizbullah.

Mas Yopi melacaknya dalam dokumen

alm. Bapak Sulthan Fajar (pimpinan Hizbullah Jember) bahwa ada sejumlah 24 orang pemuda dari wilayah Karesidenan Besuki yang mengikuti pelatihan perwira Hizbullah di Cibarusah. 

Nama-nama pemuda tersebut, informasi dari Pak Sulthan Fajar,  adalah: Sulthan Fajar, Buchori Ahmad, Moh. Ro’i, Moh. Irfab, H. Moh. Ali, Abdul Hamid, A. Anang, Abdul Muslih, Syarif, Abd Rosid, Sayadi, Mujtahid, Moh Rais (Jember), H. Mawardi, Abd Kadir, Abd Karim (Bondowoso), Sirajudin, Abd Syukur Nasduki (Situbondo), Sudiryo, Soheh, Azhari, Ahmadi, dan M. Syarif (Banyuwangi).

Sejak tanggal 28 Februari 1945 sampai 20 Mei 1945 diadakan pelatihan calon perwira Hizbullah di Cibarusah. Jumlah peserta 500 orang pemuda dari seluruh karesidenan di Jawa dan Madura yang dilatih dibawa pimpinan perwira Jepang bernama Yanagawa dibantu para perwira PETA. Hizbullah yang beranggotakan para pemuda dikomando oleh KH. Zainul Arifin berdampingan kelaskaran Sabilillah yang berisi para kiai yang dipimpin KH. Masykur. Baik Kiai Zainul Arifin maupun KH. Masykur diangkat sebagai pahlawan Nasional. Keduanya berasal dari NU. Kelaskaran ini berada di bawah naungan Masyumi.

Anggota Hizbullah ini yang juga berperan aktif di palagan Surabaya, November 45 bersama kelaskaran lain, walaupun dalam catatan KH. Munir Hasyim Latief, anggota Hizbullah yang kemudian aktif di TNI dan kelak menjadi Ketua PWNU Jawa Timu, kadangkala sistem komando hierarkis-nya agak kacau saat di lapangan. Jadi berangkat perang sebagai pasukan Hizbullah namun saat bertempur malah dikomando kesatuan lain. Kadang miskomunikasi, kadang miskoordinasi (Selengkapnya lihat “Laskar Hizbullah Berjuang Menegakkan RI” [Jakarta: LTN PBNU, 1995)

***

Ketika sudah pensiun, Pakde Ro’i aktif membina anak anak muda dalam klub sepakbola Jombang Putra. Yang junior dikumpulkan dalam Mliwis Putih. Di tangannya, dua klub ini beberapa kali menjawarai kompetisi bal balan level kabupaten maupun se-Karesidenan Besuki.

Sampai usia senja, selera humornya tetap tinggi. Biasanya kalau cerita lucu, lantas terbahak, suaranya menggelegar dan terlihat beberapa giginya yang sudah tanggal. Kalau bertanding catur bersama keponakan-keponakannya, lantas dirinya kalah, Pakde Ro’i selalu menukas, “Meski aku kalah skak, tapi jelek-jelek begini aku anggota Hizbullah lho. Kowe nggak bakal bisa ngalahkan aku…hahahaha”

Setelah pensiun, jiwa korsa-nya masih membara. Tahun 1999, ketika mengimami shalat Magrib di langgar anaknya, beliau ambruk. Kondisinya drop. Setelah ditanyai Mbak Dian Qies Dian, putrinya, veteran kelahiran 15 Maret 1928 itu menjawab lunglai:

“Di tengah-tengah ngimami sembahyang tadi, aku nggak khusyuk. Aku ingat para sahabatku yang sudah gugur dalam Operasi Seroja. Mereka sudah berjuang mengorbankan nyawanya, tapi sekarang pemerintah malah melepaskan Timor Timur…”

Suaranya parau. Matanya terpejam menggali ingatan pedih.

Pakde Ro’i, anggota Hizbullah angkatan perdana ini wafat pada 29 April 2009. 

“Old Soldiers Never Dies, They Just Fade Away” (Jenderal Douglas McArthur)

****

Selamat Hari Pahlawan.

Untuk para pahlawan yang telah berjuang, alfatihah.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *