Oleh : Dr. Ali Fahrudin MA (Dosen UIN Jakarta) 

Kecintaan kepada tanah air ini bukanlah sesuatu yang diharamkan karena merupakan fitrah manusia. Hal ini tercermin, misalnya, dari sikap Rasulullah Saw. yang lebih menyukai kiblat dalam shalat menghadap ka’bah daripada menghadap Baitul Maqdis di Palestina, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah/2: 144)

Ayat ini ditafsirkan oleh Misbah Mustofa sebagaimana berikut:

Ingsun (Allah) pirsahi Muhammad! Bola baline rahi nira ana ing arah langit perlu nunggu perintah Allah. Ingsun mesthi mindahake kiblat nira marang kiblat kang sira demeni. Sangka iku mulai iki detik, sira bisaha shalat madep marang arah-arahe masjid kang mulya yaiku ka’bah. Lan sira kabeh hai para muslimin! Ana ing endi bae panggonan nira, yen sholat bisaha ngadepake nira marang arahe ka’bah. Temenan! Wong kang diparingi kitab taurat dening Allah yaiku wong Yahudi, iku pada weruh yen pemindahan kiblat iku sangking Pengeran yaiku Allah. Allah ora bakal lali apa bae kang dilakoni wong-wong ahli kitab iku.

Artinya:
Aku (Allah) melihatmu wahai Muhammad! Yang bolak baliknya wajahmu menghadap ke langit untuk menunggu perintah Allah. Aku pasti memindahkan kiblatmu ke kiblat yang kamu sukai. Karena itu mulai detik ini, kamu bisa salat menghadap ke arah masjid yang mulia yakni Ka’bah. Dan kamu semua wahai orang Islam! Dimana pun kamu berada, kalau salat harus menghadap ke arah ka’bah. Sungguh! Orang yang diberi kitab Taurat oleh Allah, yaitu orang Yahudi, itu tahu kalau pemindahan kiblat itu (perintah) dari Tuhan, yakni Allah. Allah tidak akan lupa apa pun yang dilakukan oleh orang-orang ahli kitab itu.

Ayat ini menceritakan tentang perintah perpindahan kiblat salat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Masjid al-Haram. Namun, hal yang menarik untuk dikaji adalah latar belakang perpindahan ini, bukan hukum yang ditimbulkannya.

Ibnu Abbas menceritakan sebab turunnya ayat ini, “Suatu hukum yang pertama kali dihapus adalah kiblat. Itu terjadi ketika Rasulullah Saw. sudah hijrah ke Madinah. Waktu itu mayoritas penduduknya beragama Yahudi. Allah memerintahkan Nabi agar salat menghadap Baitul Maqdis, Yahudi Madinah sangat senang dengan hal itu. Lalu Rasulullah Saw. menghadap kiblat selama belasan bulan, padahal beliau lebih menyukai kiblat Nabi Ibrahim As. (Ka’bah). Karena itu, beliau seringkali berdoa sambil menengadahkan wajahnya ke langit”.

Dalam sebab turunnya ini, dikatakan bahwa Rasulullah Saw. menghadap ke Ka’bah karena beliau mencintai kiblat Nabi Ibrahim. Kiai Sholeh Darat menambahkan bahwa sebab perpindahan kiblat ini bukan hanya itu, tetapi Rasulullah ingin menarik hati orang-orang Arab agar mereka mau masuk Islam.

Misbah Mustofa dalam tafsirnya mengatakan bahwa kiblat salat asalnya menghadap ke Ka’bah, lalu ketika hijrah ke Madinah, beliau mendapat wahyu agar salatnya menghadap Baitul Maqdis. Hal ini menjadikan Yahudi Madinah senang akan tetapi tidak menjadikan mereka banyak masuk Islam, justru mereka mencibir dan menjadikan mereka sombong dengan agamanya. Lalu Rasulullah Saw. kembali memohon kepada Allah agar kiblat kembali dipindahkan ke Ka’bah karena kecintaan beliau pada tanah airnya dan untuk menarik kaum musyrikin Arab agar masuk Islam. Bagaimana pun, kecintaan Nabi Muhammad kepada Mekkah sama dengan cintanya Nabi Ibrahim kepadanya.
Di samping itu, bukti kecintaan Nabi Muhammad Saw. kepada Mekkah dapat dicermati dari sabdanya ketika beliau akan berhijrah ke Madinah,

وَاللَّهِ إِنَّكَ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ وَأَحَبُّهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى ، وَلَوْلا أَنِّي كُنْتُ أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Demi Allah engkau adalah sebaik-baik bumi Allah dan yang paling dicintai Allah. Seandainya aku tidak diusir darimu, maka pasti aku tidak akan keluar darimu. (HR. Ibnu Majah)

Mekkah memang telah dipilih Allah sebagai negeri yang didiami para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, serta Nabi Muhammad Saw. karena itu wajar jika negeri ini merupakan negeri yang paling dicintai Allah Swt. Akan tetapi dari sisi kemanusiaannya, Nabi Muhammad sangat mencintai negeri ini karena disanalah beliau lahir dan dibesarkan. Dari sisi kemanusiaan inilah, wajar jika manusia sangat mencintai negeri dimana dia dilahirkan dan dibesarkan.

Terkait dengan kecintaan dengan negeri Mekkah ini, Allah menggambarkannya dalam doa Nabi Ibrahim agar Mekkah menjadi aman, dan penduduknya diberikan rizki yang banyak. Allah berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ…

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian… (Al-Baqarah/2: 126)

Ayat ini ditafsirkan oleh Kiai Sholeh Darat, Nabi Ibrahim karena sangat cintanya kepada negeri yang ditempati anak istrinya ini, memohon kepada Allah agar negeri ini menjadi negeri yang aman dari segala marabahaya, baik dari penyakit menular maupun gangguan orang-orang yang mau menyerangnya. Di samping itu, permohonan Nabi Ibrahim supaya Mekkah diberikan rizki buah-buahan yang banyak meskipun tanahnya tidak dapat menumbuhkannya secara langsung. Berkat doanya itu, Allah mengabulkannya dengan menjadikan Ka’bah dan air zam-zam sebagai daya tarik “wisatawan rohani”, yakni haji, yang menjadikan banyak orang menziarahinya, baik sebelum maupun setelah adanya Islam.

Nabi Ibrahim mencintai negeri ini karena di dalamnya ada keluarganya, istrinya Hajar dan anaknya Ismail, meskipun beliau sendiri berdomisili di dekat Baitul Maqdis Palestina. Ini menunjukkan bahwa kecintaan pada suatu negeri bukan saja pada tempat kelahirannya saja, akan tetapi tempat dimana dia atau keluarganya sekarang berada. Doa Nabi Ibrahim ini dikabulkan Allah baru setelah diutusnya Nabi Muhammad Saw.

Negeri Mekkah ini menjadi tanah haram (tanah mulia, aman dan sentosa) dengan penduduknya yang semuanya beriman kepada Allah Saw. Itu sama halnya dengan Indonesia, bahwa kemerdekaan negeri ini, meski sudah didoakan oleh para ulama sejak zaman dahulu, namun Allah baru memberikan karunianya ini pada tahun 1945. Inilah karunia terbesar pada negeri Indonesia.

Salah satu surah dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang negeri adalah surah al-Balad yang artinya negeri. Allah bersumpah dengan suatu negeri ini, tentu karena negeri dimana seseorang tinggal itu pasti akan berpengaruh dan dipertahankan oleh penduduk yang tinggal di dalamnya. Para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud dengan negeri dalam surah al-Balad adalah negeri Makkah, akan tetapi jika kaidah yang digunakan adalah al-‘ibrah bi ‘umūm al-laf§i l± bi khu¡µs as-sabab (ungkapan yang dianggap adalah karena umumnya lafazh bukan karena khususnya sebab), maka yang dimaksud disini adalah negeri manapun tempat seseorang dilahirkan, dibesarkan, dan tempat bermukim yang aman dari segala macam ganggungan.

Karena itu, dalam menafsirkan surah al-Balad, Bakri Syahid mengungkap hal yang unik terkait negeri Indonesia. Dalam tafsirnya, beliau mengungkapkan:

Maksud utami surah al-Balad utawi ambangun negari punika anelakaken bilih ambangun desa punika wonten tatacaranipun, mekaten ugi ambadhol desa utawi transmigrasi punika tambah rumit malih. Punapa malih ambangun nusantara sa-indhenging Indonesia ingkang mawarni-warni trah katurunanipun, agami, serta adat tata cara, serta rupi derajat sosial lan ekonomipun. Nanging sadoyo wau namung satunggal bangsa, satunggal wutah rah, serta satunggal basa, inggih punika nagari Republik Indonesia. Pramila wonten ing surah al-Balad, Gusti Allah paring pitedah, supados tansah lumampah ing margi ingkang leres, sampun kelut godha rencana ingkang saking fitnah, hasud, dengki, lan ingkang damel risak pembangunan, kedah kiyat manah kita ngadhepi alang rintangan punapa kemawon, kados pundi kemawon kita kedah tansah guyup-rukun saeka praya kaliyan sadherek kita tunggal bangsa. Kita kedah ingkang kekah nyepangi paugeran, bilih sadaya punika kedah temata sarana tatanan ingkang kita damel piyambek, wosipun kita kedah nglembagakaken negeri kita piyambek! Punika margi ingkang leres kangge ambangun negeri!

Artinya:
Maksud utama surah al-Balad adalah bahwa membangun negeri atau membangun desa itu ada caranya. Begitu pula membangun desa baru atau transmigrasi itu tambah rumit lagi. Apalagi membangun nusantara, yang mencakup seluruh Indonesia yang bermacam-macam suku, agama, adat istiadat, serta strata sosial dan ekonominya. Namun, semua itu merupakan satu bangsa, satu tumpah darah, satu bahasa, yakni Negara Republik Indonesia. Karena itu dalam surah al-Balad, Allah memberikan petunjuk agar tetap berjalan di jalan yang benar, maka (penduduknya) tidak boleh mempunyai rencana yang menimbulkan fitnah, hasud, dengki, dan sesuatu yang menjadikan rusak pembangunan (negaranya). Kita harus kuat menghadapi aral melintang apa pun jua. Bagaimana pun, kita harus hidup rukun sesama saudara kita satu bangsa. Kita harus kokoh merajut persaudaraan karena semua tatanan yang ada merupakan buatan kita sendiri. Jadi, kita harus mengatur negara kita sendiri. Inilah jalan benar untuk membangun negara.

Dalam penafsirannya terhadap surah al-Balad ini, Bakri Syahid menyatakan bahwa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, adat istiadat dan sosial ekonomi ini merupakan satu bangsa yang berada di bawah naungan negara kesatuan Republik Indonesia. Paling tidak, menurut pandangannya, ada tiga cara supaya negara ini menjadi negara yang makmur sejahtera:

1. Penduduk negerinya tidak boleh mempunyai rencana jahat yang dapat menimbulkan fitnah, hasud, dengki, dan hal lainnya yang dapat merusak pembangunan negara.

2. Rakyat harus hidup rukun sesama saudara satu bangsa, tanpa melihat suku, agama, ras, dan antar golongan.

3. Tatanan hidup (undang-undang) merupakan kesepakatan bersama untuk mengatur kehidupan bernegara, maka rakyat harus mematuhinya agar kedisplinan tetap terjaga dan persaudaraan tidak terputus.

Untuk melakukan ini semua, warga negara harus melakukan kerja sama dalam dalam segala bidang. Kerja sama yang baik timbul dari perkenalan dan jalinan kasih sayang antarsesama manusia. Sifat inilah yang dapat kita teladani dari pendahulu kita ketika mereka mengikrarkan sumpah pemuda.

Hal ini bisa dapat dilihat pada tafsir al-Huda ketika menafsirkan Surah ar-Ra’d ayat: 21 berbunyi sebagai berikut:

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (ar-Ra‘d/13: 21)

Dalam menafsirkan ayat ini, Bakri Syahid mengatakan:
Saestu nyambut tangsul pasedherekan (silaturrahmi) karena Allah, boten pamrih punapa-punapa amung kerana sungkem nderek dhawuhing Allah Swt. punika ageng sanget ganjaranipun, serta kathah sanget manfa’atipun. Mula bukanipun saking anggathukaken balung-balung pisah, ngantos saged hasil anjodhokaken sadherek ingkang ambetahaken saestu jejodhohan, wiyaripun damel karukunan gesang bebrayaning bangsa saking tuwuhing ikrar (Sumpah Pemuda). Asalipun saking pepanggihan silaturrahmi, lajeng dados ikrar: Satunggal Nusa, Satunggal Basa, lan Satunggal Bangsa, estu-estu punika syarat mutlak badhe kiyating Ketahanan Nasional. Tetilaranipun tiyang sepuh: Rukun agawe sentosa, crah agawe bubrah.

Artinya:
Sungguh melakukan persaudaraan (silaturrahmi) karena Allah, tanpa mengharapkan apa-apa hanya taat mengikuti firman Allah itu besar sekali pahalanya dan banyak sekali manfaatnya. Karena itu, hal ini bukan hanya sekedar memadukan tulang belulang yang terpisah sampai menjadi persaudaraan yang erat, lebih dari itu, bisa melahirkan bangsa yang melahirkan sumpah pemuda, awalnya dari sekedar silaturahmi. Teksnya berbunyi: satu nusa, satu bahasa, dan satu bangsa. Sungguh inilah syarat mutlak menjadi kuatnya ketahanan nasional. Prinsip yang diungkap oleh orang-orang tua adalah, rukun menjadikan damai sentosa, sedangkan perseteruan itu menjadikan cerai berai.

Ada beberapa hal yang disebutkan Bakri Syahid terkait penafsiran ayat ini, antara lain:

1. Silaturrahmi itu sangat besar manfaatnya, bahkan bisa menjadikan perjodohan atau persahabatan yang sangat erat melebihi saudara kandung bagaikan memadukan tulang belulang yang terpisah.

2. Berdasarkan silaturrahmi antar pemuda, tumbuh kesadaran untuk meneguhkan kerukunan dan persatuan bangsa dalam bentuk ikrar bersama yang disebut Sumpah Pemuda.

3. Petuah orang tua, “rukun menjadikan damai sentosa, sedangkan perseteruan menjadikan cerai berai”. Inilah kearifan lokal yang patut kita jaga dan dilestarikan agar kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia tetap kokoh.

Ali Fahrudin (kanan) bersama Gus Milal Bizawie, saat mengisi kajian di Islam Nusantara Center (INC). Sabtu 2 Maret 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Al-¦umaidi, Muhammad ibn Futū¥, al-Jam’ Bain a¡-¢a¥ī¥ain al-Bukāri wa Muslim, (Bairut: Dār Ibn Hazm, 2002)
Al-Qazwīnī, Muhammad ibn Yazid, Sunan Ibn Mājah, (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), jilid 2
al-Wahīdī, Syarh Dīwān al-Mutanabbi’, (Bairut: Aliyagir, tanpa tahun), jilid 1
Anom, Raden Pengulu Tafsir, Al-Juz’ al-Awwal min Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, Surabaya: Maktabah Nabhaniyyah, t.th.
Darat, Muhammad Sholeh, Fai« ar-Ra¥m±n f³ Tarjamah Tafs³r Kal±m al-Malik ad-Dayy±n,Singapura: Maktabah Muhammad Amin,1312 H.
Frederick Hertz, Nationality in History and Politics: a Psychology and Sociology of National Sentiment and Nationalism, (London: Routledge & Kegan Paul, 1951)
Ibn Kaṡīr, Isma’il, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, (Bairut: Dār al-Jīl, t.th.), jilid 1
___________, Qi¡a¡ al-Anbiyā’, (Kairo: Mu’assasah an-Nūr li an-Nasyr wa al-I‘lān, 1997)
John B. Witton ed., “Nationalism dan Internationalism”, dalam The Encyclopedia Americana, (Vol. 8, New York, 1956)
L. Stoddard, Dunia Baru Islam (Terj. The New World of Islam), (Jakarta: Panitiya Penerbit Dunia Baru Islam, 1966)
Murs³, Abµ al-¦asab Ali, al-Mu¥kam wa al-Mu¥³¯ al-A‘§am, Bairut: D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Mustofa, Bisri, al-Ibrīz li Ma’rifah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz bi al-Lugah al-Jāwiyyah, Al-Ibriz versi Latin Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa, Wonosobo: LEKAS Indonesia, 2015.
Mustofa, Misbah, al-Iklīl fī Ma‘āni at-Tanzīl, Surabaya: al-Ihsān, t.th.
Nur, Aminuddin, Pengantar Studi Sedjarah Pergerakan Nasional, (Djakarta: PT Pembangunan Mas, 1967)
Syahid, Bakri, al-Huda Tafsir Al-Qu’an Basa Jawi, Yogyakarta: Percetakan Offset Persatuan, 1979.

One response

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *