Pada kajian hari sabtu (29/07/2017) bertempat di INC Wisma Usaha UIN Ciputat, Ahmad Ginandjar Sya’ban membahas satu sosok ulama nusantara yaitu Syaikh Ahmad al-Khatib Minangkabau. Beliau merupakan sosok yang luar biasa dan menjadi guru para ulama nusantara seperti Mas mansur, Kiai Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari termasuk Kiai Nur Halim.

Syaikh Ahmad al-Khatib Minangkabau termasuk ulama besar nusantara yang berkarir di Mekah. Beliau sezaman dengan Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Ahmad Fathoni dan Syaikh Mukhtar Atharid dari bogor. Ahmad Ginandjar mengulas sosok beliau dari sumber-sumber timur tengah.

Biografi Syaikh Ahmad al-Khatib terdapat dalam kitab hagiografi (thobaqat ulama). Salah satunya dimuat dalam kitab A’lam al-Makkiyyin; ulama-ulama Mekah dari abad 9 sampai abad 14 H karangan al-Mu’allimi. Kitab ini sangat representatif karena banyak dirujuk ketika mengkaji para ulama yang pernah berkiprah, berkarir, mengajar di Mekah. Sosok Syaikh Ahmad al-Khatib dibahas di kitab ini pada juz 1 halaman 407 dan 408.

Nama lengkap beliau adalah Syekh Ahmad ibn ‘Abd al-Lathîf ibn ‘Abdullâh al-Mankabâwî al-Jâwî tsumma al-Makkî. Beliau lahir tahun 1276 H bertepatan dengan 1860 M. Beliau merupakan ulama sentral dunia Islam pada abad ke 14 H. Beliau adalah khatib dan juga imam di Masjidil haram. Beliau merupakan seorang pengajar serta guru besar di Mekah. Pengarang beberapa kitab dan merupakan inspirator gerakan pembaharuan di Nusantara.

Beliau lahir di Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat pada 6 dzulhijah 1276 H (26 juni 1860 M). Ayahnya yang bernama Abdul latif dan kakeknya Abdullah merupakan ulama, imam serta khatib di Minangkabau. Karena itu jugalah Ahmad Khatib mamakai sandangan gelar “al-Khatib” di belakang namanya.

Masa kecil Syaikh Ahmad Khatib banyak belajar dari keluarganya terutama dari ayahnya. Kemudian pada usia 11 tahun diajak oleh ayahnya pergi ke Mekah kemudian menetap dan belajar disana. Keluarga dari ibunya memiliki properti di Mekah. Ibunya merupakan anggota keluarga Syaikh Ismail al-Khalidi; tokoh tarekat kholidiyah yang ada di Sumatera Barat.

Ibunya memiliki banyak saudara di Mekah, dan syaikh Ahmad ketika di Mekah tinggal di rumah bibinya. Pada mulanya beliau tinggal bersama bibinya karena mau dijodohkan dengan sepupunya.

Ketika di Mekah beliau berguru ke beberapa ulama diantaranya Syaikh Ustman Syatho. Adapun dua guru beliau yang utama adalah Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan; mufti madzhab syafi’i Mekah dan kedua Syaikh Abu Bakr Muhamad Syatho Ad-Dimyati (Sayyid Bakri) pengarang kitab I’anatul tholibin syarah kitab Fathul Mu’in.

Kemungkinan besar Ahmad Khatib juga belajar kepada beberapa ulama Nusantara yang sudah lebih dahulu berkarir di Mekah, seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Junaid Betawi, Syaikh Nawawi Banten dan lainnya.

Sayyid Bakri (guru Syaikh Ahmad Khatib) punya kedekatan khusus dengan orang nusantara. Putrinya dinikahkan dengan orang nusantara yaitu Kiai Abdus syakur Surabaya yang menjadi guru KH. Hasyim Asy’ari. Jika pada abad 17 yang menjadi poros utama jaringan intelektual ulama nusantara dan timur tengah adalah Ahmad al-Qusyasyi dan Ibraim al-Kurani, maka pada abad ke 19 Sayyid zaini dahlan dan Sayyid Bakri lah sosok yang dimaksud.

Syaikh Ahmad Khatib merupakan pelajar yang sangat rajin. Siang malamnya digunakan untuk belajar sehingga tumbuh menjadi orang jenius. Selain mengkaji ilmu keagamaan, beliau juga banyak mempelajari ilmu-ilmu sains seperti matematika, ilmu ukur, teknik, ilmu waris, astronomi dan juga astrologi.

Pada akhirnya beliau didaulat dan ditunjuk oleh ulama-ulama Mekah sekaligus mendapatkan legalitas dari penguasa Mekah untuk menjadi pengajar, imam dan khatib di Masjidil Haram. Forum intelektual dan halaqah pengajiannya terletak di sekitar “Bab az-Ziyaadah” Masjidil Haram. Forum pengajian beliau dihadiri oleh ratusan pelajar dari berbagai penjuru dunia.

Syaikh Ahmad Khatib menikah dengan putri bangsawan Mekah Syaikh Salih al-Kurdi. Syaikh Salih al-Kurdi merupakan saudagar penerbitan dan termasuk bagian dari lingkaran penguasa Mekah. Titik tolak karir Ahmad Khatib sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram pun merupakan rekomendasi mertua beliau sendiri.

Syaikh Salih al-Kurdi mempromosikan Syaikh Ahmad Khatib kepada Aun al-Rafiq; Syarif (penguasa) Mekah pada waktu itu. Adik ipar Ahmad Khatib yang bernama Muhammad Majid al-Kurdi merupakan penerus usaha percetakan “Mathba’ah al-Taraqqi al-Majidiyyah” yang awalnya dimiliki oleh ayahnya; Syaikh Salih al-Kurdi .

“Mathba’ah al-Taraqqi al-Majidiyyah” merupakan salah satu percetakan terbesar di Mekah pada masanya yang banyak menerbitkan karya-karya ulama Nusantara termasuk karya-karya Ahmad Khatib.

Putra Syaikh Ahmad Khatib bernama Abdul Hamid al-Khatib. Abdul Hamid al-Khatib mengarang kitab yang berjudul “Tafsir al-khatib al-makki” dan pada mulanya digadang-gadang untuk menjadi penerus ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Ketika terjadi revolusi Saudi Arabia Abdul Hamid al-Khatib pergi ke Mesir. Kemudian beliau kembali ke Saudi dan menjadi pejabat tinggi di kerajaan Saudi. Beliau sempat menjadi duta besar Pakistan untuk kerajaan Saudi.

Beliau termasuk salah satu orang yang mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia di Liga Arab. Ketika pada tahun 1949 Indonesia merdeka secara de facto dan de jure, beliaulah perwakilan dari kerajaan arab yang mengucapkan selamat kepada pemerintah Indonesia atas kemerdekaannya.

Manuskrip autobiografi yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Khatib berjudul “al-Qaul an-Nakhib fii Tarjamati Taarikh hayaat Ahmad al-Khatib” tersimpan di perpustakaan Makkah al-Mukarramah nomor manuskrip 116 kategori sejarah. Syaikh Ahmad Khatib pernah berdebat dengan KH. Hasyim Asy’ari terkait dengan Sarekat Islam.

KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab berjudul “Kaaful awam anil haud fi sarikatil Islam” dan Syaikh Ahmad Khatib menanggapinya dengan judul “Tanbiihul anam firrod ‘ala risalah kaafil ‘awam’. Polemik juga sempat terjadi antara Syaikh Ahmad Khatib dengan mufti Batavia Sayyid Utsman. Polemik yang terjadi terkait pendirian dua masjid di satu kota dan pelaksanaan sholat jumat di dua masjid dalam satu kawasan.

Kitab “Raudhah al-Hussâb” merupakan karya Syaikh Ahmad Khatib yang memuat kajian ilmu hitung atau matematika. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab. Keberadaan kitab ini menjadi istimewa, karena terbilang sebagai khazanah intelektual Islam Nusantara yang mengkaji ilmu sains, dalam hal ini adalah matematika, yang sangat langka ditemui, karena rata-rata literatur karya ulama Nusantara kebanyakan mengkaji bidang agama.

Sedangkan karangan paling populer dan banyak dikaji di pesantren tradisional berjudul “haasyiyat an-Nafahaat a’la syarhil waraqaat dalam bidang ushul fiqh.

Oleh : Ahmad Imam Baili

One response

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *