“Apa kau percaya manusia bisa mengubah takdirnya?” tanya Katsumoto Moritsugu (Ken Watanabe).
“Manusia melakukan apapun yang mampu ia lakukan sampai takdirnya terungkap,” jawab Nathan Algren (Tom Cruise).
—dialog menjelang pertempuran, dalam The Last Samurai—
The Last Samurai, yang dinihari kemarin tayang di Global TV untuk kesekian lusin kalinya, bukan hanya menyuguhkan akting Tom Cruise yang lumayan, melainkan juga menyuguhkan eksotisme Jepang dengan ragam tradisinya. Sungguhpun fiktif, peranan Kapten Nathan Algren di dalam film tersebut bukan hanya dimaknai sebagai tercerabutnya identitas dirinya sebagai veteran kavaleri AD AS dalam Perang Saudara, melainkan pula pada aspek psikologisnya: ia yang jatuh cinta pada eksotisme Jepang yang sedang terengah-engah memodernisasi diri. Ia hadir sebagai instruktur militer di dalam pasukan Kekaisaran, namun tiba-tiba berbalik arah mendukung Katsumoto Moritsugu, seorang pemimpin berjiwa Samurai, yang telah memberinya ruang untuk memaknai hakikat kediriannya, sekaligus memberi peluang tumbuh identitas baru.
Algren memang tokoh fiktif, namun modernisasi Jepang adalah nyata. Film tersebut memang membidik pergulatan identitas seorang yang “beradab” [dalam kajian postkolonial] yang berusaha memberadabkan masyarakat yang “terasing”, “tertinggal”, dan harus diperkenalkan dengan peradaban Barat yang “maju”.
Algren hanyalah gambaran betapa sentimentilnya manusia, yang berubah secara drastis tatkala simpul-simpul emosionalnya disenggol. Di dalam perjuangan bangsa kita, misalnya, ada banyak “Algren”. Mereka datang dari Barat dan Timur dengan misi veni, vidi, vici, ala Julius Caesar, namun tiba-tiba terperanjat karena ternyata tak ada hasrat penaklukan dalam jiwanya, yang ada hanya empati terhadap calon “obyek” kemudian jatuh cinta.
Douwes Dekker, yang telah kita tahu kisahnya, adalah salah satu contoh. Pada babakan panjang setelahnya, ada Haji Johannes (HJ) Princen, serdadu muda yang ditugaskan menumpas pejuang Indonesia, namun tiba-tiba berbalik arah memihak Republiken. Ia diburu bekas sahabat-sahabatnya, perempuan Sunda yang baru dinikahinya juga gugur akibat berondongan mitraliur, toh ia tetap loyal pada Indonesia: orok negara yang sebelumnya bakal ia habisi.
Ada juga Muhammad Amin Sweeney, serdadu Inggris yang, alih-alih ikut membunuh, ia malah terpesona dengan Bahasa Melayu, Sunda, dan Bahasa Indonesia. Nyata, ia datang bukan sebagai penakluk, melainkan peneliti dan pecinta. Membicarakan Abdul Kadir Munsyi, sastrawan legendaris Melayu, tanpa menyertakan nama Sweeney seolah lancang, karena dialah yang [terlihat] lebih mengenal Munsyi daripada orang Melayu asli.
Selain Princen dan Sweeney, masih ada Rahmat Shigeru Ono. Serdadu Jepang yang bersama beberapa sahabatnya menolak kembali ke negaranya usai Jepang menyerah, lalu memilih bergabung bersama pejuang lainnya. Dari sekian banyak eks serdadu Jepang yang memihak Indonesia, Rahmat wafat dua tahun silam. Ia adalah samurai terakhir di Indonesia.
Adakah “Algren” versi perempuan? Ada, nama lengkapnya Muriel Stuart Walker/ Muriel Pearson, orang Amerika keturunan Skotlandia. Ia benar-benar jatuh cinta pada eksotisme Bali. Ia datang bukan sebagai turis, melainkan sebagai calon penduduk Bali pada awal 1930-an. K’tut Tantri adalah nama Bali-nya setelah diangkat menjadi anak angkat seorang raja Bali. K’tut Tantri menggunakan pakaian adat Bali yang bagi orang Belanda sama halnya dengan merendahkan derajat bule “beradab”. Ketika Jepang datang, ia ditangkap dan disiksa hingga hampir mati karena ia dicurigai mata-mata Sekutu. Ia berhasil diselamatkan oleh dokter Sugiri yang langsung mengajaknya bergabung dengan Barisan Pemberontak yang dipimpin Bung Tomo. Di sini, K’tut Tantri kebagian peran sebagai penyiar radio yang mengumandangkan kemerdekaan Indonesia ke negara-negara lain.
Tak main-main, dalam beberapa episode perjuangan, K’tut Tantri harus bertaruh nyawa karena ia menyelundupkan senjata dari Singapura. Dalam sebuah kesempatan, Bung Karno bahkan pernah memperkenalkan K’tut Tantri di hadapan wartawan bule sebagai “orang Barat yang lebih meng-Indonesia daripada orang Indonesia sendiri”.
“Revolusi di Nusa Damai” karya K’tut Tantri adalah buku otentik yang membahas pergulatan cintanya terhadap sebuah negara bernama Indonesia dan sepenggal pulau bernama Bali. Sayang, di era Orde Baru ia tidak lagi tinggal di pulau yang telah nyangkut di hatinya. Tantri memilih Australia sebagai tempat tinggalnya, seolah ia siap dilupakan oleh sebuah negara yang pernah ia bantu di awal kelahirannya. Wanita murah senyum ini wafat dalam kesepian di salah satu flat di Australia pada 1997.
Seperti Algren, kelima orang di atas adalah “asing” pada awalnya, kemudian “lebur” menyatu, menjiwai pada akhirnya. Mereka menanggalkan identitasnya, lalu masuk perlahan ke dalam sebuah “wadah” tempat mereka menemukan bukan hanya identitas baru, melainkan cinta, harapan, dan kehidupan. Mereka bahagia mencelupkan dirinya, jiwa raganya; di dalamnya.
Aih….
WAllahu A’lam Bisshawab
No responses yet