Beliau adalah ulama intelektual yang berasal dari Aceh Utara. Teungku Ismail Jakub lahir pada tahun 1915 anak dari Teungku Muhammad Jakub anak dari Teungku Abdussalam yang berasal dari Banten. Semenjak kecil Teungku Ismail Jakub mulai belajar dasar-dasar keilmuan Islam dari ayahnya yang juga seorang yang mencintai ilmu pengetahuan. Setelah menyelesaikan sekolah umum di kampungnya dalam kawasan Aceh Utara. Beliau kemudian mulai memperdalam kajian keilmuannya di beberapa dayah. Di antara dayah yang pernah beliau singgahi adalah Dayah Meunasah Manyang Samakurok pada tahun 1927 dan kemudian beliau melanjutkan ke Dayah Pucok Alue Simpang Ulim.

Pada tahun 1931, dalam usia 16 tahun Teungku Ismail Jakub mulai mengembara dalam menuntut ilmu. Tempat yang ditujunya adalah Sumatera Barat Padang. Kemungkinan besar beliau segenerasi dengan beberapa teungku lainnya yang kemudian menjadi tokoh berpengaruh di Aceh. Karena pada tahun 1931 ada beberapa putera-putera terbaik Aceh yang dikirim ke Padang untuk belajar di Normal Islam dan Sumatera Thawalib Padang Panjang dan Parabek. Di antara mereka yang belajar di Padang adalah Sayed Abubakar, Teungku Muhammad Ali Ibrahim, Teungku Ali Hasjmi, Teungku Ismail Jakub. Dan kemungkinan besar Abuya Syekh Muda Waly juga berangkat pada era ini, yang umumnya mereka dikirim ke Padang oleh Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong.

Lebih kurang sekitar lima tahun beliau belajar dengan segenap kesungguhan, telah mengantarkan Teungku Ismail Jakub menjadi seorang intelektual yang memiliki wawasan yang luas. Beliau belajar di Normal Islam yang ketika itu dipimpin oleh seorang ulama ahli pendidikan yaitu Professor Mahmud Yunus yang juga pengarang Kamus Tekenal Mahmud Yunus. Selain Normal Islam, adapula Thawalib Padang Panjang yang didirikan oleh ‘Inyiak Doktor’ Syekh Abdul Karim Amrullah, yang kemudian dilanjutkan oleh Angku Mudo Abdul Hamid Hakim pengarang Kitab-kitab ushul fiqih. Sedangkan Thawalib Parabek, didirikan oleh ulama besar Syekh Ibrahim Musa Parabek.

Setelah beberapa tahun belajar di Padang, Teungku Ismail Jakub kemudian mengabdikan ilmunya di kampung halamannya dengan merintis dan menginisiasi berdirinya beberapa sekolah keagamaan. Beliau juga terlibat aktif dalam kepengurusan organisasi keislaman dan bahkan pernah menjadi redaktur Majalah Penyuluh pada masanya. Setelah berkiprah beberapa tahun di Aceh, Teungku Ismail Jakub kemudian merasa ilmunya masih perlu penambahan, sehingga mengantarkan beliau belajar ke tempat yang jauh Mesir. Di Mesir puncak kematangan keilmuan Teungku Ismail Jakub bermula. Selama belajar di Universitas Al Azhar Kairo Mesir, beliau juga pernah ditunjuk sebagai salah seorang musahhih atau editor senior untuk Kitab kitab Arab Melayu yang dicetak di Matba’ah Musthafa Bab Al Halabi yaitu percetakan Arab yang mencetak banyak karya para ulama Melayu. Pada usia 38 tahun Teungku Ismail Jakub kemudian pulang kembali ke Aceh.

Karir keilmuannya semakin menanjak, dimana Teungku Ismail dikenal sebagai intelektual yang produktif dalam menulis terutama tentang sejarah Aceh. Puluhan karya tulisnya dengan berbagai judul mengisi rak-rak bacaan berbagai pembaca, mulai dari pembahasan yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Atas kiprahnya ini, Teungku Ismail Jakub pernah mengemban amanah sebagai Rektor di Universitas Al Washliyah Medan, dan pernah pula menjadi Rektor di IAIN Sunan Ampel dan IAIN Walisongo. Ketika menjabat sebagai Rektor di IAIN Sunan Ampel, beliau dikukuhkan sebagai Professor dalam bidang sejarah dan kebudayaan.

Disela-sela kesibukannya, Teungku Ismail Jakub masih memberikan perhatian penuh kepada literatur keagamaan. Bahkan beliau sempat menerjemahkan beberapa karya besar ulama Islam. Di antara kitab yang berhasil beliau terjemahkan adalah karya monumental Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i atau Imam Syafi’i dengan judul Al Umm. Kitab terjemahan Al Umm telah dicetak dalam sebelas jilid besar. Kitab lainnya adalah kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali atau Imam al Ghazali. Dan kitab populer lainnya adalah Muqaddimah karya Ibnu Khaldun.

Penerjemahan kitab yang dilakukan oleh beliau paling tidak telah membantu bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab secara mendalam agar bisa berinteraksi dengan karya-karya besar para ulama Islam tempo dulu. Walaupun untuk Kitab al Umm misalnya, yang memiliki tingkat kerumitan tersendiri dalam pembahasannya, maka diperlukan arahan dari guru agar bisa utuh dalam memahaminya. Sehingga saking banyak pembahasan yang butuh kepada penjelasan lebih lanjut, sehingga para ulama yang datang setelah Imam Syafi’i membuat kitab khusus untuk memudahkan para ulama dalam membaca fikih dalam Mazhab Syafi’i dengan karya Imam Nawawi seperti Minhaj Thalibin yang kemudian diulas secara komprehensif dalam beberapa literatur lainnya seperti Mughni Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, dan Tuhfatul Muhtaj atau bahkan Hasyiah seperti Qaliyubi dan Umairah yang diistilahkan dengan Hasyiyatani artinya dua Hasyiah. Walaupun ada ulama yang berusaha menggali bagian khusus ibadah seperti yang dibuat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan karya besarnya Sabilal Muhtadin.

Sedangkan pada masa kontemporer, salah seorang ulama Syiria Syekh Prof Muhammad Zuhaili, adik dari Ahli fikih besar Syekh Professor Wahbah Zuhaili telah menuangkan dalam kitabnya sebanyak lima jilid tebal yang disebut dengan Al Mu’tamad Fi Fiqhil Syafi’i yaitu Kitab Pedoman Penting dalam Mazhab Imam Syafi’i.

Jasa besar terjemahan yang telah dilakukan oleh Professor Teungku Ismail Jakub kemudian diikuti pula oleh banyak para penulis dewasa ini, yang juga banyak menyadur karya-karya ulama dari Timur Tengah. Bahkan asal muasal penerjemahan kitab dalam versi Melayu lama adalah dari ulama besar Aceh Syekh Abdurrauf al-Singkili dengan karyanya Turjuman al-Mustafid yang merupakan saduran dari Kitab Tafsir Baidhawi. Sedangkan Syekh Abdussamad al-Palimbani dikenal pula dengan saduran kitab Sirussalikin dan Hidayatussalikin yang berasal dari Lub Ihya’ atau Mukhtasar Ihya’ dan kitab Bidayah al Hidayah.

Setelah berbagai macam kiprah yang dilakukan oleh Teungku Ismail Jakub. Dan dengan berbagai karya yang telah beliau torehkan. Pada tahun 1983 dalam usia 68 tahun wafatlah ulama intelek tersebut. Rahimahumullah Rahmatan Wasi’atan.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *