Qadhi H. Muhammad Jafri adalah putera ketiga dari Qadhi H. Abdussamad (Datu Samad) Marabahan dari isteri beliau yang kedua, yang bernama Markamah binti Martaib. Dilihat dari garis keturunan ayah, Qadhi H. Muhammad
Jafri adalah buyut dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Ranji silsilahnya Qadhi H. Muhammad Jafri bin Qadhi H. Abdussamad bin Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Beliau lahir diperkirakan pada tahun 1858M/1262H di Kampung Bentok (Kampung Tengah) Kelurahan Marabahan Kota. Sejak kecil Qadhi H. Muhammad Jafri diasuh oleh kedua orang
tua beliau. Bimbingan ilmu agama diberikan langsung oleh ayah beliausendiri yang dikenal sebagai ulama berpengaruh dan mempunyai
keluasan ilmu di bidang syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Meskipun yang dipelajari beliau meliputi ilmu lahiriyah dan ilmu batiniyah, Qadhi H. Muhammad Jafri ternyata lebih cenderung pada ilmu batiniyah. Artinya, ilmu ma’rifat beliau jauh lebih menonjol bila dibandingkan dengan ilmu syariat, tarikat dan hakikat. Tentu saja hal ini menjadi kegembiraan, kebanggaan dan kesyukuran
tersendiri bagi orang tuanya, Qadhi Abdussamad. Karena dengan begitu dia sudah memiliki calon penerus dan penggantinya dalam mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat sepeninggalnya.

Sosok Qadhi H. Muhammad Jafri memang banyak merwarisi perilaku orang tuanya. Selain rajin dan tekun menuntut ilmu, beliaujuga tidak malu membanting tulang untuk bekerja. Sejak kecil beliau sudah terbiasa mengisi waktu diluar mengaji agama untuk bekerja guna mendapatkan penghasilan untuk meringankan beban orang tua dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Dalam bekerja, beliau sudah biasa membaur dengan masyarakat dan sama sekali tidak merasa tinggi hati meskipun beliau merupakan anak seorang ulama sepuh dan sangat berwibawa di masa itu. Karena
sifat rendah hati, sopan-santun dan kasih sayang beliau inilah, maka orang lain pun sangat senang bergaul dengan beliau.

Lebih kurang sepuluh tahun lamanya beliau menerima berbagai ilmu pengetahuan dari sang ayah. Ketika dirasa sudah siap dan cukup beliau diberangkatkan oleh orangtua beliau ke Makkah. Tujuan utamanya selain untuk menunaikan ibadah haji juga untuk menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar di Makkah dan sekitarnya.

Selama empat tahun belajar di sana, setidaknya ada empat orang guru tempat beliau menimbadan menyauk ilmu, yaitu Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Said Al-Makki, Syekh Amin Al-Banjari, dan Syekh Ali Al-Banjari. Tidak
berapa lama setelah kembali dari menuntut ilmu di Makkah, beliau menyunting putri seorang Demang Bakumpai yang bernama Hafiyah binti Abdul Aziz.Demang Wangsa Negara, yang kebetulan masih tetangga beliau sendiri. Jarak rumah beliau dengan ayah gadis yang dinikahi itu hanya sekitar sepuluh meter saja. Dari perkawinan ini beliau dianugerahi tujuh orang anak, terdiri dari tiga orang laki-laki dan empat orang perempuan, yakni Muhibbah, Abdul Hamid, Mashunah, Ahmad Hamdi, Masuyah, Abdul Murid dan Basrah.

Sebagaimana ayah beliau (Datu Somad), ketika sudah berada di kampung halaman, beliau juga membuka pengajian. Beliau mengajarkan berbagai pelajaran agama Islam baik di bidang ilmu syariat maupun ilmu tarekat, hakikat atau ma’rifat. Hanya saja untuk ilmu ma’rifat khusus diberikan kepada mereka yang dinilai sanggup dan memenuhi persyaratan, terutama dalam mengamalkan berbagai riyadhah atau amaliah batiniyah seperti yang berlaku dalam dunia
tasawuf.

Qadhi H. Muhammad Jafri dikenal sebagai guru mursyid dua tarekat besar, yakni tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah dan tarekat Syazaliyah. Untuk kelancaran pengajian, Qadhi H. Muhammad Jafri mendirikan bangunan khusus berlantai dua, yang letaknya persis berhadapan dengan rumah kediaman beliau di pinggir Sungai Barito. Lantai kedua dimanfaatkan untuk mendirikan shalat berjamaah, pengajian atau majelis taklim, sedang lantai dasar digunakan sebagai tempat tinggal murid-murid yang berasal dari luar daerah. Di sinilah mereka menginap selama menuntut ilmu layaknya semacam asrama santri. Khusus untuk membimbing pengamalan tarekat dan suluk, beliau memakai balai yang dahulu digunakan ayah beliau, yakni di kubah atau lokasi makam. Dengan adanya bangunan bertingkat itu rumah kediaman Qadhi H. Muhammad Jafri ramai didatangi para penuntut ilmu dari berbagai daerah. Lebih dari itu, rumah dengan arsitektur RumahAdat Banjar Bubungan Tinggi dengan langgarnya itu juga dikunjungi kaum muslimin atau masyarakat pada umumnya yang ingin meminta fatwa, memecahkan berbagai macam persoalan atau masalah-masalah agama yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi setelah ayahnya wafat, maka yang menggantikannya sebagai qadhi adalah beliau dan secara otomatis beliaulah yang menggantikan ayahnya dalam menyelesaikan
berbagai masalah umat.Qadhi H. Muhammad Jafri tampaknya memiliki kelebihan tersendiri dibanding ayahnya. Beliau diberi kelebihan lain oleh Allah SWT. Sebab disamping sebagai ulama dan juru dakwah yang handal, beliau bisa menolong orang dalam hal
mengembalikan barang atau harta benda yang hilang karena dicuri. Dengan memohon doa kepada Allah barang yang dibawa pencuri tadi dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Demikian pula halnya dengan masalah-masalah pelik lain yang dialami masyarakat yang sulit dipecahkan, dalam hal ini beliau sering diminta bantuan untuk menyelesaikannya hingga persoalan itu dapat diatasi. Lantaran kelebihan inilah masyarakat sering menganggap beliau sebagai seorang ulama yang berilmu tinggi.

Mereka yang sempat hidup sejaman dengan Qadhi H Muhammad Jafri menilai bahwa beliau bisa dikatakan sebagai ulama yang
lebih modern dibanding ulama semasanya. Salah satu indikasi kemodernan beliau adalah cara berpakaiannya di mana beliau tidak
selalu memakai surban dan jubah (gamis) sebagaimana kebiasaan ulama pada masa itu. Justru beliau sering memakai stelan jas tutup dengan peci bundar berwarna hitam, sehingga bila dilihat sekilas tidak tampak sebagai seorang ulama besar, tetapi terkesan seperti orang biasa saja. Kemudian apabila bepergian jauh, beliau menggunakan kendaraan sendiri, yakni kuda beliau sendiri yang berwarna putih. Meski berpakaian ‘lebih modern’, Qadhi H. Muhammad Jafri, tetap menunjukkan pola hidupnya yang sederhana dan apa adanya. Padahal beliau adalah ulama besar dan berwibawa serta memiliki pengaruh di masyarakat maupun di kalangan pemerintahan kolonial kala itu. Sifat qana’ah yang beliau miliki benar-benar patut diteladani.Tampaknya beliau tidak mau memanfaatkan status sosial yang dimiliki untuk kepentingan pribadi ataupun keluarga.

Beliau lebih memilih untuk bekerja sebagai pedagang karet, sebab saat itu usaha karet cukup lumayan hasilnya. Selain itu di waktu-
waktu senggangnya beliau suka terlibat dalam pengelolaan sawah ladang dan perkebunan.
Usia Qadhi Muhammad Jafri tidak sepanjang usia ayahnya.Sang ayah berusia sampai 80 tahun sementara beliau hanya berusia 72
tahun saja. Namun demikian kiprah aktif beliau sebagai ulama, muballigh, tokoh dan pemimpin umat serta pembimbing masyarakat tidak kalah pentingnya. Sangat jelas antara beliau
dengan ayahnya ada banyak kesamaan dalam menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan demi tersebarluasnya syiar Islam di negeri Banjar, khususnya di Bakumpai Marabahan Kabupaten Barito Kuala.

Beliau menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu tanggal 16 Jumadil Akhir tahun 1334 H, disaksikan langsung oleh keluarga, kerabat, murid dan masyarakat. Jenazah beliau dikebumikan di alkah kubah yang berada di belakang rumah sendiri, berkumpul dengan makam keluarga dan mertua. Sebagai ulama panutan dan banyak meninggalkan keteladanan serta murid, adalah wajar jika
makam beliau ini sering diziarahi. Sepeninggal beliau syiar dan dakwah Islam terus berlanjut, perjuangan dalam mengembangkan ilmu
agama tidak terhenti. Ada tiga orang yang bisa dicatat sebagai penerus beliau, yaitu Qadhi Muhammad Bijuri, Abdul Murid, dan Qadhi H. Basiyuni. Allah Yarham.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *