Oleh: Ridik Aji Saputra  ( Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang)

Kekayaan Indonesia tidak hanya terletak pada kekayaan alamya saja, melainkan dari segi budaya Bangsa Indonesia mempunyai sejuta kebudayaan yang sampai saat ini masih lestari. Tiap daerah tiap suku mempunyai kebudayaan yang berbeda, dan mempunyai cirikhas yang berbeda pula, maka sering disebut sebagai budaya daerah. Adanya perbedaan antara budaya daerah satu dengan yang lain disebabkan karena budaya daerah adalah kebudayaan yang lahir, tumbuh, dan berkembang di daerah tersebut. Biasanya kebudayaan berkembang sesuai dengan kondisi pada daerah tersebut seperti kondisi alam. Maka tidak heran ketika budaya yang ada didaerah pegunungan berbeda dengan budaya daerah pesisir.

Budaya dapat diartikan sebagai buah hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Meliputi kepercayaan, seni, hukum, norma,  pengetahuan dan lain. Secara garis besar budaya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu budaya material dan budaya non materi. Budaya material adalah budaya yang berwujud, seperti rumah adat, candi, pakaian, senjata, dan alat musik. Sedangkan, budaya non material adalah budaya yang tidak terwujud tidak dapat dilihat namun masih eksistensinya dapat dinikmati berbarengan dengan budaya material, badaya non meterial ini sering disebut juga sebagai budaya non benda, contohnya seperti bahasa, lagu daerah, perayaan adat, dan tarian daerah.

Sementara itu, tradisi adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan dengan cara yang sama. Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang karena perbuatan tersebut disukai dan dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, maka sekelompok orang tersebut melestarikannya. Pengulangan kebiasan ini sudah dilakukan turun temurun sejak nenek moyang di daerah tersebut, maka tradisi sendiri bisa dikatakan juga sebagai warisan masa lalu. Dianggap warisan karena gagasan atau nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini masih ada hingga kini.

Sementara iti, di Desa Tembelang ada salah satu tradisi yang masih lestari sampai saat ini yaitu durenan, atau dalam bahasa Indonsia disebut juga kenduri. Durenan sendiri adalah sebuah acara selametan yang didalamnya berisikan berdoa bersama. Tradisi kenduri ini adalah salah satu peninggalan dari nenek moyang kita. Mengadopsi dari kebudayaan dari kepercayaan Animisme dan Dinamisme, dan mengalami akulturasi budaya yang dikemas sedemikian rupa sehingga dapat diterima dengan kondisi sekarang. Dalam acara ini tuan rumah memanggil tetangga untuk berkumpul di kediaman tuan rumah dan kemudian diadakan do’a bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat.Lazimnya dalam tradisi ini disajikan tumpeng lengkap dengan lauk pauk yang kemudian dibagi untuk orang yang hadir dalam acara tersebut. Namun ada juga yang langsung menggunakan berkat yang berisikan nasi beserta lauk pauknya dan dikemas menggunakan besek untuk dibagi.

Salah satu durenan yang ada di Desa Tembelang adalah Unggah-unggahan. Tradisi ini dilakukan sama seperti prosesi kenduri pada umumnya. Waktu pelaksanaan dari tradisi ini dilakukan pada akhir bulan sya’ban, dan menjadi penanda bahwa bulan ramadhan akan segera datang. Pada pelaksanaanya tuan rumah akan memanggil tetangga, kemudian diadakan do’a bersama, yang dipimpin tokoh agama setempat dan tak lupa disediakan besek yang berisikan nasi lengkap dengan lauknya Biasanya berkat yang dibuat akan dibagikan kepada saudara dan tetangga.

Adapun makna dari tradisi ini adalah wujud rasa syukur kepada tuhan. Hal ini diwujudkan dengan syukuran dan beshodaqoh dengan makanan. Selain itu, sesuai dengan namanya unggah-unggahan dalam bahasa Indonesia adalah naik. Naik disini dikaitkan dengan diangkatnya catatan amalan-amalan kita langit, sesuai hadits Nabi: “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi duniawi.” (HR. An Nasa’i , Ahmad). Maka dari itu leluhur kita menganjurkan adanya tradisi ini bertujuan untuk memperbanyak sedekah, dengan ini maka ketika buku amalan kita diangkan akan berisi hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi orang lain.

Diantara tradisi yang berkembang sampai sekarang di Desa Tembelang adalah tradisi udun-udunan. Sama seperti unggah-unggahan, udun-udunan juga merupakan perwujudan rasa syukur yang diwujudkan dengan selametan  dan shodaqoh melalui makanan. Perbedaanya yaitu waktu pelaksanaanya, untuk udun-udunan dilakukan pada pada akhir bulan ramadhan. Makna dari tradisi ini sesuai dengan namanya yaitu undun-udunan. Udun-udunan berasal dari kata “mudun” yang artinya turun, adapun turun yang dimaksud diantaranya turunya rahmat dari Allah dan turunnya ampunan dari Allah, sesuai dengan keutamaan bulan ramadhan. Harapan yang lain dengan adanya tradisi ini yaitu semoga dengan do’a yang dipanjatkan ada harapan agar amal ibadah yang dilakukan selama bulan ramadhan diterima oleh Allah.

Namun sekarang tradisi udun-udunan mengalami perubahan, yang dulunya shodaqoh hanya dalam bentuk makanan sekarang ada yang menggunakan uang. Khususnya di Desa Tembelang ada sebagian yang menggunakan cara seperti itu. Pada praktiknya biasanya shodaqoh uang tersebut diberikan kemushola setempat, kemudian dilakukan do’a bersama di mushola tersebut. Bukan tanpa alasan adanya perubahan cara pelaksanaan dalam tradisi ini, shodaqoh dengan uang kemudian disalurkan melalui mushola dianggap lebih tepat karena biasanya mushola yang melakukan cara seperti itu adalah mushola yang sedang melakukan pembangunan. Maka shodaqoh yang diberikan akan lebih tepat sasaran. Tentunya hal ini masih dibenarkan kalau melihat kaidah ushul fiqh al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yakni ‘Memelihara sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik’. Yang dirubah dalam kasus ini hanya cara pelaksanannya saja, tanpa menghilangkan esensi dari tradisi udun-udunannya tersebut.

Beberapa tradisi yang telah disebutkan diatas adalah contoh dari kekayaan budaya tak benda yang dimiliki bangsa Indonesia. Sudah sepatutnya sebagai generasi penerus bangsa untuk ikut serta dalam melestarikan budaya tersebut. Bukan malah melupakan tradisi yang ada dan menganggap itu kuno. Kalau generasi muda acuh tak acuh, maka lambat laun tradisi dan budaya yang ada akan tertinggal dan menghilang.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *