Oleh Prof. Dr. A. Chozin Nasuha, MA.* 

Raden Abdul Hadi seorang pemuda keturunan sultan Cirebon menikah dengan Ratu Randulawang Anjasmoro dari Kerangkeng. Pernikahan itu menurunkan empat orang putera, yaitu Muqayyim, Ismail, Yahya, dan Nyai Alfan. Mereka semua ulama kharismatik dan aktif mengembangkan ilmu Agama Islam. Kiyai Muqayyim kelak mendirikan Pesantren di Buntet Mertapada, Kiyai Ismail mendirikan Pesantren di Pesawahan Sindanglaut, dan Nyai Alfan dinikah oleh Kiyai Ardi Sela. Tokoh ini terkenal digjaya yang banyak membantu aktifitas Kiyai Muqayyim, dan keturunannya banyak yang mengelola pesantren Buntet. Sedang Yahya tidak banyak diceritakan.

       Dalam satu  cerita, Muqayyim lahir tahun 1770 dan dididik oleh ayahanya sampai menjadi pemuda yang menguasai ilmu agama. Di samping itu, dia banyak membaca kitab-kitab Arab pegon tulisan para wali yang ada di Keraton, sehingga dia menjadi ilmuan agama dan menguasai teknik pengembangan Agama. Karena kepinteran itulah Kiyai Muqayyim diangkat menjadi penasehat ilmu agama bagi Sultan Khairuddin I (Sultan Kanoman). Kiyai Muqayyim sangat berpihak pada kepentingan rakyat, dan tidak berfikir untuk membantu penjajah Belanda (non cooperation). Melihat gelagat seperti itu Belanda curiga atas aktifitas Kiyai Muqayyim. Maka melihat kecurigaan itu Kiyai Muqayyim keluar dari istana dan mencari tempat untuk membangun pesantren, dan Buntet itulah tempatnya.    

          Setelah Belanda mengetahui Kiyai Muqayyim menghimpun pemuda (santri) dan dibina di Buntet, Belanda berusaha untuk membubarkan himpunan itu dengan senjata, sehingga beberapa santri meninggal.Sebelum itu Kiyai Muqayyim dan beberapa santri sudah meninggalkan Buntet menuju Pesawahan Sindanglaut. Di Pesawahan itulah Kiyai Ismail ibn Abdul Hadi (adik Kiyai Muqayyim) sedang merintis pesantren, dan perencanaan itu didukung oleh Kiyai Ardi Sela. Rencana itu kemudian diketahui juga oleh Belanda sehingga tiga tokoh bersaudara itu harus bertahan dan membela diri. Alhamdulillah, Allah melindungi mereka selamat dari rekayasa Belanda dan mereka berhasil membangun sebuah pesantren.

        Langkah berikutnya, Kiyai Ismail tetap di Pesawahan, Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela berangkat ke Tuk Sindanglaut dan mengadakan aktifitas seperti biasa. Belanda juga mengetahui aktifitas Kiyai Muqayyim di Tuk, maka atas anjuran Kiyai Ardi Sela agar Kiyai Muqayyim pindah tempat dan menyamar sebagai rakyat biasa, dengan meninggalkan daerah Cirebon. Kiyai Muqayyim berangkat ke Pemalang dan tinggal di rumah Kiyai Abdussalam, seorang Lebe di Desa Beji. Tokoh ini kelak akan menjadi penggerak pemuda (santri) di daerah Pemalang untuk mengikuti perang Diponegoro tahun 1825-1830. Sebelum terjadinya perang itu Kiyai Muqayyim sudah banyak cerita kepada Kiyai Abdussalam tentang kekejaman Belanda di Cirebon, terutama kepada ulama dan santri.     

       Kiyai Muqayyim tinggal di Pemalang beberapa tahun, sampai masyarakat tahu bahwa Kiyai Muqayyim adalah seorang ulama yang memiliki kharisma yang besar. Dalam waktu yang tidak lama, penguasa Belanda di Cirebon mengambil langkah yang lunak dan memasang startegi yang seolah-olah Belanda bersahabat dengan kiyai. Atas dasar itu Belanda mempersilahkan Pangeran Santri alias Pengeran Muhammad ibn Pangeran Khairuddin untuk pulang dari pengasingannya di Ambon. Begitu juga Kiyai Muqayyim bisa pulang dari Pemalang, ketika penyakit tha’un melanda masyarakat Cirebon. Waktu itu Kiyai Muqayyim mengajarkan dua buah syair penolak penyakit tha’un (kolera) dan akhirnya dua syair itu banyak dibaca oleh santri menjelang shalat berjama’ah. Mendengar akan kedatangan Kiyai Muqayyim di Cirebon lagi, santri dan pengamal thariqat Syathariyah semakin senang. Sesampainya di Buntet Pesantren, Kiyai Muqayyim banyak mengadakan riyadlah mengamalkan Thariqat Syathariyah bersama masyarakat. Ibadah Kiyai Muqayyim tekun sekali dan banyak taqarrub ilaa Allah. Dalam waktu yang tidak lama, yaitu di tahun 1802-1806 Kiyai Muqayyim mendengar pemberontakan santri yang disebut Perang Kedongdong. Medan perang itu berlokasi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan sebelah barat-utara Pesantren Babakan Ciwaringin. Para santri yang ada di pesantren daerah Cirebon, Majalengka, Indramayu dan sekitarnya ikut bertempur dalam perang itu. Kadang-kadang perang pada siang hari dan kadang-kadang malam. Dalam pertempuran itu, hizib, wirid dan semua kedigjayaan santri dikerahkan. Dalam pertempuran yang dahsyat itu, pihak Belanda mengalami kekalahan dan kerugian besar sekali, banyak tentara Belanda yang mati terutama ketika diserang oleh santri di malam hari. Selain banyak kematian, pabrik-pabrik gula Belanda di daerah-daerah Cirebon sebelah timur sampai Kadipaten juga berhenti dan tidak berproduksi. Usia Kiyai Muqayyim waktu itu sudah 62-66 tahun. Akan tetapi semangatnya besar sekali sehingga semua santri dan pengamal thariqat yang dibimbingnya dikerahkan untuk memenangkan santri dalam perang itu. Secara realitas, kemenangan dalam perang lokal itu ada di pihak santri. Tetapi di belakang kemenangan itu santri tidak menindak lanjuti, dan para kiyai kembali ke kegiatan semula. Melihat keadaan itu semua administrasi pemerintahan kita tetap dipegang oleh penjajah Belanda. Tidak lama kemudian Kiyai Muqayyim wafat dan dikuburkan di Desa Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Ardi Sela.

      Kiyai Muqayyim meninggalkan lima orang putera-puteri, yaitu Kiyai Muhajir, Nyai Sungeb, Nyi Raisah, Nyai Thayyibah, dan Nyai Khalifah. Semua tidak dapat diceritakan dengan leluasa tetapi ada riwayat singkat, bahwa Nyai Khalifah memiliki puteri bernama Nyai Aisyah. Tokoh ini awalnya dinikah oleh Kiyai Jalalain ibn Muhammad Imam ibn Ardi Sela. (pernikahan tunggal buyut). Tetapi tidak memiliki putera. Kiyai Jalalain menikah lagi dengan Nyai Sharfiyah, dan dari pernikahan itu, lahir Kiyai Anwaruddin (Ki Kriyan), Kiyai Kilir, Kiyai Abror, dan Kiyai Muntaha.

       Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim nikah lagi dengan Raden Muta’ad  (1785-1852) ibn Raden Muhammad Muridin ibn Nashruddin, ibn Ali Pasya (Sultan Gebang) keturunan Sunan Gunung Jati. Dari perniakahan itu lahir sepuluh putera puteri, antara lain Nyai Rohilah (istri Ki Kriyan), Kiyai Shalih Zamzami (pendiri Pesantren Benda-kerep), dan Kiyai Abdul Jamil (penerus kiyai Buntet Pesantren). Tiga tokoh besar itu memiliki aktifitas yang berbeda, tetapi memiliki maksud yang sama yaitu membina masyarakat dan mengembangkan agama Islam. Cerita singkat tiga tokoh itu adalah :

      1. Kiyai Kriyan. Tokoh menantu Kiyai Muta’ad ini masa kecilnya mengaji al-Quran dan belajar agama dari orang-orang tuanya. Setelah dewasa dia pergi ke pesan-tren di Kaliwungu Semarang, belajar ilmu kepada Kiyai Asy’ari. Setelah pulang, Kiyai Kriyan diangkat menjadi penghulu kesultanan Cirebon dan bersama keluarga tinggal di Keraton. Kiyai Kriyan bukan hanya ilmuan besar, tetapi juga seorang shufi pengamal Thariqat Syatahriyah. Meskipun dia tinggal di Keraton yang mewah tetapi dia seorang zahid, wira’i, tawakkal, ridla, tekun beribadah dan banyak riyadlah untuk taqarrub ila Allah. Melihat fenomena itu, beberapa santri berpendapat bahwa Kiyai Kriyan adalah wali. Ma’unat yang dimiliki terkadang oleh santri disebut karamah. Antara lain, Belanda tidak menaruh curiga pada aktifitas Kiyai Kriyan, tidak seperti  kecurigaan mereka pada Kiyai Muqayyim dulu. Keadaan itu menjadikan Kiyai Kriyan bebas keluar-masuk Buntet Pesantren dan memberikan bimbingan sepuas-puasnya.   

      2. Kiyai Shalih. Ulama dan pendiri pesantren Bendakerep ini adalah tokoh yang berfikir simpel, menuntun santri agar berakhlak karimah, dan mengajarkan ilmu agama yang sangat sederhana. Selain mengajarkan bacaan al-Quran, pesantren ini  mengajarkan juga beberapa kitab kuning yang kecil-kecil, dan oleh gurunya agar isi kitab itu diamalkan. Sejak dulu sampai sekarang pesantren ini tidak mau membuka madrasah atau sekolah. Selain itu beberapa tokoh mereka, melarang mengamalkan agama dicampur dengan teknologi ciptaan manusia.Atas dasar itu banyak sekali tokoh mereka yang melarang menggunakan ‘pengeras suara’ untuk khutbah Jum’at. Dalam satu riwayat tokoh ini pengamal Thariqat Syathariyah seperti Kiyai Muqayyim Kiyai Muta’ad, Kiyai Kriyan, dan ulama besar lainnya. Dalam satu riwayat, thariqat itu diturunkan kepada anak cucu. Ketika mendengar keturunan saudara kandungnya ada yang mengamalkan Thariqat Tijaniyah, maka pesantren Bendakerep berreaksi keras menolak thariqat itu, sampai terjadi gondok-gontokan, terutama dibawakan oleh Yai Zaini bin Muslim bin Shalih. Dari segi lain, Pesantren Bendakerep meskipun letaknya dekat dengan kota Cirebon, tetapi dulu lokasinya susah ditempuh oleh kendaraan. Kampung itu sunyi sekali, tetapi tenang bagi santri yang mencari ilmu. Belanda juga mengetahui kegiatan di pesantren itu, dan ingin membubarkan. Tetapi strategi mereka berubah menghadapi kiyai dengan cara sopan santun, tetapi menipu dan menerapkan adu domba. Pembesar Belanda, antara lain Residen Cirebon bernama Van der Plas sering bertemu Kiyai Shalih dan bicara untuk membujuk, agar Kiyai tidak perlu menghimpun dunia, karena dunia adalah bagaikan bangkai yang diburu oleh anjing. Ulama yang sukses adalah mereka yang hidup di lereng gunung, dan kampung yang jauh dari komunitas umat. Kiyai pasti teringat bahwa Nabi Musa AS. bermunajat dan mendengar kalam Allah di atas gunung Sinai. Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dari Allah di Guwa Hira di atas gunung, dan banyak lagi model cerita-cerita keagamaan, yang sasarannya adalah tipu muslihat agar kiyai pasif dan tidak mengarahkan santri untuk menyerang penjajah. Maksud mereka agar tokoh bangsa kita tidak tertarik untuk mengelola negerinya sendiri. Kalau ada kiyai yang hendak bergerak, dan menampakkan kebenciannya kepada Belanda, maka mereka didatangi dengan sopan santun, untuk dilunakkan hatinya. 

                     3. Kiyai Abdul Jamil. Tokoh ini lahir tahun 1842 di Buntet Pesantren. Adik kandung Kiyai Shalih Bendakerep ini pada masa kecil belajar ilmu agama pada ulama yang ada di Buntet. Setelah dewasa dia belajar ilmu fiqih pada Kiyai Murtadlo di Pesantren Mayong Jepara, dan belajar ilmu tauhid pada Kiyai Ubaidah di Tegal. Setelah menjadi pemuda, Abdul Jamil berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan mencari ilmu. Waktu itu, perjalanan dari nusantara ke Makkah dan sebaliknya sudah mudah, karena mulai tahun 1869 terusan Suez dibuka. Kapal Api milik Belanda yang membawa hasil bumi, gula, dan rempah-rempah dari kepulauan nusantara ke Eropa berjalan terus, paling tidak tiga atau empat kali dalam satu tahun. Perjalanan kapal selalu mampir di Pulabuhan Jeddah untuk mengisi air dan keperluan lain. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan beberapa pemuda untuk ibadah haji atau untuk muqim mencari ilmu di Makkah/Madinah atau di Mesir. Ada dugaan keras bahwa Abdul Jamil muqim di Makkah beberapa bulan atau beberapa tahun itu, bertemu dan bergaul dengan Nasuha ibn Zayadi (pendiri pesantren Jatisari Plered) dan adiknya, Isma’il ibn Zayadi (pendiri pesantren Cipeujeuh Sindanglaut). Pada waktu itu halaqah di Masjid al-Haram yang banyak dikerumuni oleh muqimin dari Jawa adalah pengajian Sayyid Abu Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi.     

         Setelah pulang, K.H.Abdul Jamil yang berusia 30 an dinikahkan dengan putri  Kiyai Kriyan yang bernama Sa’diyah, dan tinggal di kompleks Kraton. Karena puteri ini masih kecil, maka K.H. Abdul Jamil dinikahkan lagi dengan Qari’ah bint K.H. Syathari (penghulu landrat Cirebon). Pernikahan K.H. Abdul Jamil dengan Qariah melahirkan 4 putera, yaitu Abbas, Akyas, Anas dan Ilyas, dan 4 puteri yaitu Yaqut, Mu’minah, Nadlrah, dan Zamrud. Sedang pernikahannya dengan Sa’diyah bint Kiyai Kriyan, K.H. Abdul Jamil melahirkan 5 putra, yaitu Syakirah, Mundah, Ahmad Zahid (ayah K.H. Izzuddin Buntet), Nyai Enci dan Halimah.

        Dalam sejarahnya, Buntet Pesantren mengalami perkembangan yang berliku-liku dari zaman Kiyai Muqayyim sampai zaman kemerekaan. Kiyai Muqayyim adalah pendiri pesantren, tetapi tidak selamanya tinggal di Buntet, karena dikejar-kejar oleh Belanda. Meskipun Kiyai Muqayyim wafat di Buntet, tetapi lembaga ini mengalami fatrah yang lama. Apalagi putera pertama Kiyai Muqayyim sendiri yang bernama Raden Muhajir tidak diketahui ceritanya. Maka Buntet Pesantren perkembangannya ditata ulang oleh Kiyai Muta’ad (w. 1852) ibn Muridin ibn Ali Basya (Pangeran Gebang). Sehubungan Raden Muta’ad menikah dengan Nyai Aisyah bint Khalifah bint Muqayyim, maka dia termasuk keluarga besar Buntet Pesantren. Program Kiyai Muta’ad selain pengamalan Thariqat Syatahriyah juga membentuk majlis ta’lim. Dalam majlis itu Kiyai Muta’ad mengajarkan membaca al-Quran, dan mempelajari beberapa masalah fiqhiyah. Pada waktu itu, baik ayat al-Quran atau masalah-masalah fiqhiyah selalu diajarkan dengan memakai tulisan tangan. Begitu itu karena cetakan al-Quran atau kitab agama belum banyak beredar di Cirebon. Padahal dalam catatan sejarah, Ibrahim Mutafarriqa di Turki sudah mencetak al-Quran dan beberapa kitab klasik (kitab kuning) sekitar tahun 1720 an. Begitu juga pemerintahan Muhammad Ali di Mesir (1769-1849 M) sudah mencetak beberapa judul Kitab Kuning. Tetapi pemerintah Belanda tidak mengimport barang-barang semacam itu. Karena itu, keperluan belajar al-Quran atau kitab kuning di Buntet dan sekitarnya harus ditulis tangan. Dalam penglolaan Buntet Pesantren seperti itu Kiyai Muta’ad bersama jamaahnya selalu mengamalkan Thariqat Syathariyah untuk wirid sesudah shalat jama’ah maktubah. Berkat amalan itu, Buntet Pesantren mulai hidup lagi, setelah tertata ulang. Kiyai Muta’ad wafat dalam usia 67 tahun dan dikuburkan di Tuk Sindanglaut, berdekatan dengan kuburan Kiyai Muqayyim dan Kiyai Ardi Sela.   

   Sesudah Kiyai Muta’ad wafat, Buntet Pesantren dikelola oleh Kiyai Abdul Jamil ibn Muta’ad. Pesantren pada masa itu berkembang lebih pesat, didukung oleh Haji Ali dari Kanggraksan Cirebon mewaqafkan tanah dan dibangunkannya sebuah masjid di atasnya. Tidak hanya itu tetapi di sekitar masjid, disediakan tanah yang disiapkan untuk dibangun pondok pesantren. Maka pada langkah berikutnya Kiyai Abdul Jamil yang dibantu oleh sanak saudara dan masyarakat itu mulai membangun pondok untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Masyarakat tahu bahwa K.H. Abdul Jamil memiliki suara yang bagus dalam membaca al-Quran, maka santri Buntet waktu itu sering disebut ahli qiraat (al-Quran). Pengajian di Buntet Pesantren bukan hanya Qiraat al-Quran, tetapi juga kitab yang membahas ilmu agama. Tokoh-tokoh yang membantu pengajian itu, antara lain K.H. Abdul Mun’im, K.H. Abdul Mu’thi, Kiyai Tarmidzi dan lain-lain. Tidak hanya itu, Kiyai Abdul Jamil bersama masyarakat membangun jalan dan jembatan yang menghubungkan pondok pesantren dengan masyarakat. Pembangunan jalan itu disingkronkan dengan program Belanda yang membangun kali (saluran air) untuk keperluan pertanian, dan penanaman tebu di sekitar pesantren untuk mengisi pabrik gula.

       Dalam buku berjudul “Perlawanan dari Tanah Pengasingan” yang ditulis oleh H. Ahmad Zaini Hasan dicertakan bahwa Kiyai Abdul Jamil sepulangnya dari Makkah dipanggil Haji Den Jamil (Raden Abdul Jamil) dan berhasil menghimpun para kiyai di lingkungan keluarganya, haji, saudagar/pedagang dan lain-lain untuk membangun dan menata kembali sarana fisik serta aktivitas pesantren. Pada masa itu, santri Buntet Pesantren putera-puteri mencapai 700 yang datang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Singapore, kata buku itu. Setiap bulan puasa, Pesantren Buntet dikerumuni para santri dari tanah Jawa dan luar Jawa yang mengaji pasaran. Dengan demikian masyhurlah nama Syaikh Abdul Jamil dan Pesantren di Buntet Astanajapura Cirebon.

       Dalam buku itu ditulis pula bahwa pada tahun 1882 Belanda membentuk lembaga bernama ‘Presterraden’ yang diharapkan bisa mengawasi gerakan dan perkembangan aksi yang dilakukan oleh santri/pesantren. Untuk mengantisipasi aktifitas lembaga itu K,H. Abdul Jamil bersama ulama lain mengambil beberapa langkah, yaitu (1) Fatwa Ciremai yang isinya a). Mengharamkan para santri menjadi pegawai Belanda, b). Mengharamkan bangsa kita berperilaku dan berpakaian seperti Belanda dan bergaya priyayi seperti orang Islam yang bersikap cooperation dengan penjajah Belanda. c) Pembentukan budaya santri yang diisi dengan amalan thariqat, (2) Mengadakan pengajian di beberapa tempat untuk menumbuhkan perasaan jihad fi sabilillah. (3) Memutuskan a) Membentuk santri agar bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, b). Menumbuhkan pesaraan nasionalis dengan doktrin hubb al-wathan min al-iman. c). Mengadakan latihan fisik, bela diri. (4) Mengadakan shilaturrahmi kepada kiyai/ulama terutama mereka yang pejuang kemeredekaan. (5) Gerakan Riyadlah, dan (6) Mengorganisir pengamal thariqat, untuk ikut berjuang dan membantu berdirinya negara di nusantara ini. (Diringkas dari halaman 41-51).

        Meskipun Buntet Pesantren banyak didatangi oleh santri dari berbagai daerah, sebagaimana diceritakan di atas tetapi putera-putera K.H. Abdul Jamil diberangkatkan juga untuk belajar di pesantren lain, baik sebelum K.H., Abdul Jamil wafat, maupun sesudahnya. K.H. Abdul Jamil wafat pada pagi Shubuh hari Selasa tanggal 23 Rabi’ul Tsani 1339 H. Atau tahun 1919 M, dan dikuburkan di Pesarean Buntet Pesantren.   

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *