Ayah Buya Hamka dan Pendiri Sumatera Thawalib
Beliau adalah ulama Padang dan dalam dirinya mengalir darah Syekh Muhammad Amrullah yang merupakan ulama terpandang dan pemuka kaum Tarekat Naqsyabandiyah di Padang. Setelah pulang anaknya Haji Karim Amrullah dari belajar di Mekkah, Syekh Haji Muhammad Amrullah disebut dengan Tuanku Nan Tuo, sedangkan anaknya Angku Karim Amrullah disebut dengan Tuanku Nan Mudo dan kedua orang ini adalah Ayah dan Kakek dari Almarhum Buya Hamka.
Syekh Karim Amrullah diperkirakan lahir tahun 1879 di Nagari Sungai Batang Sumatera Barat. Dalam usia tujuh tahun, Syekh Karim Amrullah mulai diajarkan oleh ayahnya langsung dasar-dasar keilmuan Islam. Hampir tiga tahun Angku Karim Amrullah belajar kepada Ayahnya Syekh Haji Muhammad Amrullah dan Ibunya Tarwasa. Pada usia sepuluh tahun Angku muda Karim Amrullah mulai mendalami ilmu-ilmu keislaman seperti Ilmu Tajwid, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf dan ilmu lainnya termasuk Ilmu Tafsir yang beliau pelajari dari murid ayahnya Tuanku Sutan Muhammad Yusuf di Sungai Rotan Pariaman.
Setelah belajar hampir lima tahun kepada para guru dan ulama-ulama Sumatera Barat, pada usia 16 tahun beliau dikirim untuk belajar langsung ke Makkah al Mukarramah kepada ulama tersohor pada zamannya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang merupakan putera Sumatera Barat yang pernah menjadi Imam, Khatib dan Mufti dalam Mazhab Syafi’i di Mesjidil Haram. Syekh Ahmad Khatib hidup dalam kurun 1855 sampai 1916. Pada masanya Syekh Ahmad Khatib Minangkabau merupakan ulama Indonesia yang sangat diperhitungkan dalam pentas keilmuan Dunia Islam.
Bahkan hampir semua ulama Indonesia yang menjadi pelopor berbagai organisasi Islam di Indonesia adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Syekh Ahmad Khatib juga seangkatan dengan Syekh Muhammad Amrullah ayah dari Syekh Karim Amrullah ketika mengaji dahulunya.
Selama tujuh tahun Syekh Karim Amrullah belajar di Mekkah kepada gurunya yang hebat itu, sehingga telah mengantarkannya menjadi seorang alim muda yang diperhitungkan. Bahkan kealiman Syekh Karim Amrullah diakui pula oleh teman seperguruannya Syekh Muhammad Jamil Jaho pendiri dari Perti yang merupakan mertuanya Teungku Syekh Muda Waly Aceh. Dan Syekh Muda Waly pernah melihat Syekh Abdul Karim pada forum ilmiah, dan menyebutkan bahwa Syekh Karim Amrullah adalah seorang orator yang alim sebagaimana yang ditulis oleh Abuya Muhibbudin Waly dalam buku Ayah Kami.
Selain belajar dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Karim Amrullah juga belajar kepada beberapa guru lainnya termasuk Syekh Said Yamani yang juga guru dari Teungku Syekh Hasan Kruengkalee, Syekh Yusuf Nabhani penulis banyak Kitab dan Syekh Thaher Jalaluddin yang pernah menjadi Mufti di Malaysia dan berasal juga dari Sumatera Barat sepupunya Syekh Ahmad Khatib dari Jalur Ibunya, masih keturunan Tuanku Nan Rancak pemimpin Perang Paderi bersama Tuanku Imam Bonjol.
Setelah belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, pulanglah Syekh Karim Amrullah ke kampung halamannya untuk mengayomi masyarakatnya. Dan oleh masyarakat membuat semacam perayaan menyembelih beberapa ekor lembu untuk mengangkat beliau sebagai Tuanku Nan Mudo sedang ayahnya Syekh Muhammad Amrullah dikenal dengan Syekh Kisai karena keahliannya dalam Al Qur’an sebagai Tuanku Nan Tuo. Maka jadilah dua orang ulama tua dan muda tersebut panutan di wilayahnya Nagari Sungai Batang sebelah selatan Maninjau.
Walaupun demikian, semangat muda dan jiwa revolusioner Syekh Karim Amrullah kadang tak terbendung untuk mengkritik hal-hal yang tidak sesuai menurut ilmu yang ia peroleh ketika belajar pada gurunya Tuan Syekh Ahmad Khatib. Baru mulai mereda jiwa revolusioner beliau setelah dinikahkan dengan Raihanah binti Haji Zakaria yang kemudian meninggal setelah melahirkan anak kedua mereka, sehingga Syekh Karim Amrullah atas kesepakatan ninik mamak dinikahkan dengan Sofiah yang merupakan adik dari Raihanah yang merupakan ibu dari Buya Hamka.
Setelah kira-kira enam tahun Syekh Karim Amrullah berada di Sumatera Barat, pada tahun 1904 beliau harus mengantar adek-adeknya belajar ke Mekkah yaitu Abdul Wahab, Muhammad Nur dan Muhammad Yusuf. Awalnya Syekh Karim Amrullah ingin belajar kembali kepada Syekh Ahmad Khatib, namun menurut Syekh Ahmad Khatib bahwa ilmunya Syekh Karim Amrullah muridnya itu sudah memadai untuk mengajar di Mesjidil Haram. Hampir dua tahun berikutnya Syekh Karim mengajar di Mekkah di beberapa tempat.
Tahun 1906 pulanglah Syekh Karim Amrullah dan mulai menyebarkan pemahamannya yang dianggap revolusioner tersebut. Dimana dalam kajian Tarekat Naqsyabandiyah beliau seirama dengan gurunya Tuan Syekh Ahmad Khatib dan Ulama besar Medan yang juga pengajar di Mekkah Syekh Abdul Qadir al Mandaily, mereka agak sedikit berbeda dengan pemahaman kaum Tarekat Naqsyabandiyah yang kemudian terjadi polemik saling berbalas hujjah dalam kitab yang mereka karang masing-masing termasuk melibatkan pula pendukung Tarekat Naqsyabandiyah Padang di antaranya: Syekh Sa’ad Mungka ayahnya Syekh Jamil Sa’di dan Syekh Khatib Ali yang kemudian menurut Teungku Syekh Muda Waly bahwa Tarekat Naqsyabandiyah telah memiliki hujjah yang kuat sebagaimana yang beliau utarakan dalam tulisannya Permata Intan mengenai keputusan I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah. Namun yang pasti semua ulama yang berseberang pemahaman tersebut bermazhab Syafi’i hanya dalam beberapa furu’iyah saja berbeda.
Bahkan dalam satu perjalanan antara Syekh Karim Amrullah, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Sulaiman al Rusuli Pendiri Perti yang merupakan guru dari Kiyai Haji Siradjuddin Abbas pernah berkata: “Apalah artinya kita berbeda padahal kita menyauk dari kolam yang sama” maksudnya mereka para ulama besar tersebut adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib yang merupakan mufti dalam Mazhab Syafi’i.
Disebutkan oleh Buya Hamka, pada masa mudanya Syekh Karim pernah berdebat persoalan-persoalan khilafiyah seperti: baca ushalli, qunut, berdiri ketika baca Barzanji, persoalan zikir, talqin dan hal-hal lainnya. Namun menginjak usia tuanya beliau tidak suka mempertikaikan persoalan-persoalan tersebut, beliau lebih senang mengajak orang untuk Shalat dan mempersatukan ummat, bahkan banyak pendapat dan Ijtihad yang beliau ubah seperti membaca qunut yang beliau anggap sunnah setelah membaca berbagai kitab dan literatur, dan untuk itu beliau menyusun kitab yang berjudul Assyir’ah demi menguatkan pandangannya.
Syekh Karim Amrullah juga seorang penulis yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu lama. Dan beliau juga orang yang memajukan dunia pendidikan dengan sistem kelas tahun 1918 beliau telah mendirikan Sumatera Thawalib yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang paling disayanginya dan berbakat ulama Ahli Ushul Fiqih yaitu Angku Mudo Abdul Hamid Hakim pengarang Kitab Mabadi Awaliyah, Assulam, Albayan banyak dikaji di Pesantren-pesantren seluruh Indonesia.
Di antara murid dari Syekh Karim Amrullah adalah: Syekh Daud Rasyidi, Angku Mudo Syekh Abdul Hamid Hakim, Angku Zainuddin Labai Pendiri Diniyah School Padang Panjang, Buya A. R Sutan Mansur, Buya Hamka, Hajjah Rahmah el Yunusiah Pendiri Diniyah Putri, Rangkayo Rasuna Said tokoh wanita pergerakan dan banyak ulama-ulama dan ilmuan lainnya bahkan beliau ada guru tuanya Syekh Ibrahim Musa Parabek ulama besar yang tawadhu’.
Pada tahun 1926 beliau dan temannya Syekh Haji Abdullah Ahmad mengikuti konferensi internasional di Mekkah yang kemudian karena keaktifan, kealiman dan ide-idenya kedua ulama itu diberikan gelar Doktor Honoris Causa dari Al Azhar Mesir yang kemudian di tahun 1959 anaknya Buya Hamka juga mendapatkan penghargaan yang sama dari Al Azhar Mesir, cuma dua orang ayah dan anak itu yang mendapatkan penghargaan sedemikian rupa dari Al Azhar Mesir.
Pada era pergerakan, Syekh Karim Amrullah adalah ulama yang berani mengkritik kebijakan Belanda dan Jepang bila dinilainya bersalahan dengan keyakinan dalam agamanya. Sehingga beliau ditahun 1943 dipindahkan ke Sukabumi kemudian dipindahkan ke Jakarta. Pada bulan Juni 1945 menjelang beberapa bulan kemerdekaan Indonesia berpulanglah ulama tersebut; Doktor Fiddin Syekh Karim bin Muhammad Amrullah. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.
No responses yet