Kebijaksanaan ini gampang diomongkan, sulit dilakukan, tapi salah satu kunci sukses menjalani dunia dengan banjir bandang informasi. Saya terpikir untuk membicarakan ini setelah ribut-ribut tentang omongan Presiden Prancis Imanuel Macron yang dianggap menghina Islam. Mengapa orang begitu gampang menyimpulkan dan merasa tahu banyak soal apa yang tengah terjadi. Dengan sikap semacam itu orang sering lupa pada masalah pokok dan mudah marah.
Apa pentingnya sikap rendah hati? Ia memaksa kita untuk tahu diri dan bersabar berpikir lebih jernih dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu –sikap yang makin sulit diterapkan di tengah norma kelekasan. Tawadhu’ menuntut sikap untuk merasa diri tak banyak tahu (an attitude of ‘don’t know’), lantas mencari informasi dari banyak sudut.
Dalam Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghazali yang masyhur tawadhu adalah nilai kebajikan yang diletakkan saat membicarakan sombong (kibr) membangga-banggakan diri (ujub). Tawadhu lawan dari kesombongan.
Dalam Ihya yang kini juga semakin dipopulerkan dan dikaji secara konsisten oleh Mas Ulil Abshar Abdalla bersama para jemaah facebook lewat pengajian daring, orang akan banyak mendapati informasi menarik tentang sikap ini. Misalnya mengumpamakan orang zuhud, sikap menghindar diri dari kemelakatan dunia, bagai pohon kayu yang tak berbuah. “Tahukah kamu apa arti tawadhu?” Kata seorang sahabat di salah satu baris kitab ini.
“Anda keluar rumah dan menemui seorang muslim dan merasa bahwa muslim itu memiliki kelebihan dari Anda,” begitu perumpamaan lainnya. Di bagian lain, Ihya menyebut bahwa tawadhu adalah sikap tunduk dan patuh pada kebenaran. Tak peduli ia datang dari anak kecil atau orang bodoh. Ini omongan tokoh asal Samarkand, Fudhail bin Iyadh.
Dalam psikologi modern Barat, konsep tawadhu sepertinya sepadan dengan konsep humility, yang kajiannya terus berkembang luas dengan berbagai perangkat pengukuran dan sub-sub pembahasan seperti kerendahan hati intelektual (intellectual humility) dan kerendahan hati kultural (cultural humility). Ini menandakan bahwa nilai kebajikan ini terus relevan dan fundamental bagi manusia.
Kajian Don E Davis dari Georgia State University dan Joshua N. Hook dari University of Nort Texas enam tahun lalu, misalnya, bahkan memberi pekerjaan rumah bagi para peneliti dan akademisi yang bergelut dalam isu tersebut untuk memikirkan sekurang-kurangnya tujuh area riset terkait kerendahan hati, agama, dan spiritual.
Salah satunya bagaimana mengembangkan riset-riset untuk menjawab bagaimana pengaruh keyakinan dan nilai spiritual dan agama pada persepsi tentang kerendahan hati pada diri sendiri dan orang lain. Untuk menjawabnya, ia menawarkan pisau analisis yang disebut hipotesis nilai-nilai kerendahan hati (humility-values hypothesis).
Dengan meminjam teori dasar-dasar moral Jonatahan Haidt, ahli psikologi sosial dari Amerika yang terkenal itu, Davis dan Hook mengajukan hipotesis jika orang-orang yang secara politik bersikap konservatif lebih cenderung mendasarkan sikap kerendahan hati pada nilai-nilai yang terhubung dengan nilai otoritas, loyalitas, dan kemurnian. Sedang mereka yang secara politik atau teologi cenderung liberal lebih mendasarkan pada nilai-nilai kepedulian, keadilan, dan universalitas.
Amira Eka Pratiwi dan Eva Septiana dari Universitas Indonesia menggunakan pendekatan kerendahan hati intelektual ini untuk menguji sikap toleransi pelajar kelas 10–12 di Kota dan Kabupaten Bogor. Jumlah responden yang dijangkau 365 pelajar, dan 77 guru. Salah satu yang menarik dari hasil riset ini adalah sikap toleransi keagamaan dan kerendahan hati yang dimiiliki orang tua sangat mempengaruhi sikap toleransi keagamaan anak-anak mereka.
Dengan menjelaskan ini semua, saya ingin mengatakan kita punya pekerjaan besar bukan hanya terus mentradisikan nilainya, tetapi “menurunkannya” menjadi kemampuan praktis dalam memahami dunia. Kita memang sudah terbiasa mendengar nilai tawadhu dalam pengajian, tapi bagaimana ia menjadi “skil teknis” sepertinya masih jadi pekerjaan besar.
Kalimulya, 22 November 2020