Berikut ini adalah halaman terakhir dari manuskrip kitab “Qashd al-Sabîl ilâ Tauhîd al-Haqq al-Wakîl” koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan nomor kode (?). Kitab “Qashd al-Sabîl” adalah karya Syaikh Ibrahim b. Hasan al-Kurani (w. 1690 M), yang merupakan bentuk penjelasan (syarh) atas teks puisi (nazham) berjudul “al-Manzhûmah al-Wajîzah fî al-‘Aqîdah al-Mûjizah (al-‘Aqîdah al-Shahîhah)” karya gurunya, yaitu Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (w. 1661 M) dan berisi kajian bidang teologi (ilmu akidah) Islam.

Baik al-Kurani atau pun al-Qusyasyi, keduanya adalah dua ulama sentral dunia Islam yang hidup di abad ke-17 M dan berkedudukan di kota suci Madinah al-Munawwarah. Keduanya juga tercatat sebagai mahaguru para ulama Nusantara yang hidup di rentang masa tersebut, yaitu Syaikh Abdul Rauf Singkel (Aceh) dan Syaikh Yusuf Makassar.

Pada halaman terakhir manuskrip kitab “Qashd al-Sabîl” di atas, terdapat sebuah catatan di luar teks kitab tersebut. Dalam terminologi ilmu filologi, keadaan ini disebut dengan “parateks”. Parateks dapat diartikan sebagai “catatan tambahan di luar teks utama sebuah manuskrip”.

Prateks yang terdapat pada halaman akhir manuskrip kitab “Qashd al-Sabîl” koleksi PNRI itu berupa kabar “khataman kitab” dan “ijazahan” yang dimandatkan oleh Syaikh Ibrahim al-Kurani kepada salah satu muridnya yang bernama Abdul Syakur b. Abdul Karim al-Bantani.

Tertulis di sana:

الحمد لله/ قرأ علي المسلك المختار من أوله الى آخره/ قراءة تحب الأخ المكرم عبد الشكور بن عبد الكريم/ البنتني في مجالس آخرها 20 رجب سنة 1084 (الهجرية)/ بزاوية شيخنا الإمام صفي الدين أحمد القشاشي بظاهر المدينة المنورة على ساكنها/ أفضل الصلاة والسلام (.) وأجزت له روايته ورواية سائر ما يجوز لي وعني روايته/ (؟) نفعني الله لي واياه بالعلم وجعلنا من أهله آمين (.) قال ذلك وكتبه/ العبد إبراهيم بن حسن الكوراني كان الله له (؟) فيما له آمين

(Alhamdulillâh/telah membaca kitab “al-Maslak al-Mukhtâr” kepadaku dari awal mula hingga selesai/ dengan bacaan yang disukai oleh al-Akh al-Mukarram (saudara mulia) Abdul Syakur b. Abdul Karim/ al-Bantani dalam sebuah majlis yang berakhir pada tanggal 20 Rajab tahun 1084 Hijri/ di Zawiyah guru kami al-Imam Shafiyy al-Dîn Ahmad al-Qusyâsyî di kota Madinah al-Munawwarah, semoga shalawat dan salam terbaik senantiasa tercurah untuk sang Nabi yang tinggal di sana/ dan Aku mengijazahkan kepadanya atas periwayatan Syaikh al-Qusyasyi, juga periwayatan yang boleh sekiranya diriwayatkan atasku dan dariku/ semoga Allah memberikanku manfaat dan juga kepadanya dengan ilmu, dan menjadikan kita sebagai ahli daripadanya/ amin. Berkata atas kalimat ini dan menulisnya/ seorang hamba Ibrahim b. Hasan al-Kurani. Semoga Allah senantiasa menjaganya. Amin)

Meski terkesan hanya selintas, namun parateks di atas memberikan kepada kita sebuah informasi awal yang terbilang kaya dan langka. Di antara informasi tersebut adalah keberadaan seorang ulama Nusantara asal Banten yang bermama Syaikh Abdul Syakur b. Abdul Karim al-Bantani yang hidup di abad ke-17 M dan merupakan murid langsung dari al-Kurani.

Selama ini, ulama Nusantara yang hidup di masa tersebut dan masyhur diketahui hanya dua orang saja, yaitu (1) Syaikh Abdul Rauf Singkel (w. 1693) yang menjadi mufti Kesultanan Aceh dan pengarang sejumlah karya monumental dalam bidang tafsir, fikih, tasawuf, teologi, dan lain-lain, serta (2) Syaikh Yusuf Makassar (w. 1699) yang menjadi mufti Kesultanan Banten dan juga memiliki sejumlah karya prolifik. Syaikh Yusuf Makassar ditangkap dan diasingkan pihak penjajah Belanda ke Srilanka dan Afrika Selatan.

Nah, parateks di atas memberikan kita selintas informasi, bahwa selain Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Syaikh Yusuf Makassar, terdapat pula seorang murid dekat Syaikh Ibrahim al-Kurani di Madinah yang berasal dari Kesultanan Banten, dalam hal ini adalah Syaikh Abdul Syakur al-Bantani, yang disebut oleh al-Kurani dengan panggilan “al-akh al-mukarram” (saudara yang mulia).

Dalam parateks tersebut, Syaikh Abdul Syakur Banten tercatat mengaji di hadapan Syaikh Ibrahim al-Kurani kitab berjudul “al-Maslak al-Mukhtar” yang juga merupakan karangan al-Kurani (berjudul lengkap “al-Maslak al-Mukhtâr fî Ma’rifah al-Shâdir al-Awwal wa Ihdâts al-‘Âlam bi al-Ikhtiyâr” dan berisi kajian bidang teologi dan kosmologi Islam), mulai dari awal hingga akhir, yang diselesaikannya pada tanggal 20 Rajab tahun 1084 Hijri (bertepatan dengan 31 Oktober 1673 Masehi) dan bertempat di Zawiyah (pemondokan) Syaikh Ahmad al-Qusyâsyî di kota Madinah.

Informasi yang tak boleh kita lewatkan begitu saja dari secuil parateks di atas juga adalah hal-ihwal Syaikh Ibrahim al-Kurani yang memberikan sanad keilmuan kepada Syaikh Abdul Syakur Banten dengan meng-ijazah-kan (memberi mandat kredensi intelektual) semua jalur keilmuan yang dimiliki oleh al-Kurani, terutama yang diperolehnya dari jalur al-Qusyasyi.

Pertanyaannya: siapakah gerangan sosok Syaikh Abdul Syakur Banten ini?

Sahabat saya, al-Fadhil Dr. Zacky Umam, dalam karyanya yang berjudul “al-Ta’lîm fî al-Madînah al-Munawwarah fî al-Qarn al-Sâbi’ ‘Asyar al-Mîlâdî: Hayât wa Halaqât Ahmad al-Qusyâsyî” (Riyadh: King Fasihal Center for Research and Islamic Studies, 2016) menyinggung selintas nama Syaikh Abdul Syakur Banten ini, sebagai salah satu murid dari Syaikh Ibrahim al-Kurani. Namun, beliau mengatakan tidak menemukan informasi lebih lanjut terkait sosok tersebut (foto halaman terakhir manuskrip kitab “Qashd al-Sabîl” yang ada berikut ini pun saya ambil dari sumber beliau).

Hingga saat ini, kita memang masih belum memiliki sumber informasi dan data yang melimpah terkait sosok Syaikh Abdul Syakur Banten ini. Hanya saja, kita dapat menemukan beberapa “petunjuk yang masih samar-samar” yang dapat menuntun kita pada gerbang informasi dan data berikutnya terkait sosok baru ini.

Di antara petunjuk itu adalah sebuah karya Syaikh Ibrahim al-Kurani yang berjudul “Kasyf al-Mastûr fî Jawâb As’ilah ‘Abd al-Syakûr” dan berisi himpunan jawaban al-Kurani atas pelbagai macam persoalan yang dikemukakan oleh salah seorang muridnya yang bernama Abdul Syakur. Kita bisa berasumsi jika sosok Abdul Syakur yang mengajukan pertanyaan kepada al-Kurani dan dijawabnya itu melalui karya tersebut adalah Syaikh Abdul Syakur Banten.

Petunjuk lainnya yang saya dapatkan terkait sosok Syaikh Abdul Syakur Banten ini adalah sebuah manuskrip berisi silsilah Tarekat Syattariyah yang berasal dari keluarga al-Fadhil Agung Firmansyah, mahasiswa saya di Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Dalam silsilah tersebut, tertulis judul “Dzikir Syattariyah Saking Syaikh Abdul Syakur”.

ذكر شطارية سكع شيخ عبد الشكور قدس الله سره

Di sana, disebutkan Syaikh Ibrahim al-Kurani menurunkan sanadnya kepada Syaikh Abdul Syakur (Banten), lalu Syaikh Abdul Syakur Banten menurunkan sanadnya kepada Syaikh Abdul Muhyi (Karang, Pamijahan), lalu Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan menurunkannya kepada anaknya yang juga bernama Syaikh Abdul Syakur (Karang, Pamijahan), lalu Syaikh Abdul Syakur Pamijahan menurunkan sanadnya kepada Kiyai Mas Arif Jasinga (Bogor), lalu Kiyai Mas Arif Jasinga menurunkan kepada Kiyai Mas Jabin Jasinga (Bogor), dan seterusnya.

Seorang ulama dari Kesultanan Banten lainnya yang menjadi murid al-Kurani di Madinah adalah Syaikh Muhammad b. Abdul Lathif al-Bantani al-Jawi. Keberadaan tokoh terakhir ini tercatat dalam katalog manuskrip koleksi Perpustakaan Arif Hikmet, Istanbul. Syaikh Muhammad b. Abdul Lathif al-Bantani al-Jawi terekam menyalin kitab berjudul “al-Asfar ‘an Ashl al-Istikhârah A’mâl al-Lail wa al-Nahâr” karya al-Kurani, dengan tahun penyalinan 1093 Hijri (1682 Masehi) bertempat di rumah al-Kurani di kota suci Madinah.

Wallahu A’lam
Bogor, Akhir Syawwal 1440 Hijri (Juni 2019 M)
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

16 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *