Oleh: Stephen Hirtenstein (Penerjemah Yoyo Hambali)

Pengantar Penerjemah

Sulitnya memahami teks-teks Ibn ‘Arabi tidak menghalangi penyebaran doktrin-doktrin Ibn ‘Arabi. Menurut Michel Chodkiewicz (1991), terlepas dari hambatan di atas, perlu digarisbawahi bahwa penyebaran pengaruh Ibn ‘Arabi ke seluruh penjuru dunia tak terbendung. Faktanya, di dunia Muslim berbahasa Arab, juga Persia dan lainnya, pengaruh Ibn ‘Arabi begitu luas dan mendalam. Di dunia Barat, terutama belakangan ini, minat dan antusiasme para sarjana terhadap Ibn ‘Arabi bisa dikatakan fenomenal. Pengaruhnya itu telah ada sejak Ibn ‘Arabi masih hidup sampai hari ini, suatu pengaruh yang menembus berbagai penjuru dunia dan berbagai ordo Sufisme, merangkul berbagai kelas sosial dan tingkat budaya yang paling beragam.

Ajaran Ibn ‘Arabi menyebar melalui tulisan Ibn ‘Arabi sendiri dan tulisan para murid dan pengikutnya, seperti Ibn Sawdakin (w. 646 H.), Sadr al-Din al-Qunawi, ‘Afif al-Din Tilimsani (w. 690 H.), al-Farghani (w. 699.), Mu’ayyid al-Din Jandi, (w.691 H.) ‘Abd al-Razzaq Kashani (w. 730/6 H.), Dawud Qaysari (w. 751 H.), dan lainnya. Merekalah yang berperan membentuk sebuah mazhab pemikiran yang dikenal dengan mazhab Ibn ‘Arabi (the School Thought of Ibn ‘Arabi ) atau disebut juga mazhab pemikiran Akbarian (Akbarian School of Thought).

Murid-murid dan pengikut serta pembela Ibn ‘Arabi adalah orang-orang yang memahami pemikiran dan ajarannya dengan sungguh-sungguh dan dengan niat menjungjungnya sebagai seorang ahli mistik teragung dan seorang wali Allah. Mereka ini berperan antara lain memberikan komentar atas karya-karya Ibn ‘Arabi, mensistematisasi ajarannya—seperti yang dilakukan oleh al-Qunawi–menyebarkan ajaran Ibn ‘Arabi kepada publik dan sebagiannya berupaya membantah atau meluruskan kesalahahpahaman terhadap Ibn ‘Arabi.

Para murid dan pengikut Ibn ‘Arabi itu tidak melihat kesalahan pada Ibn ‘Arabi dan doktrin-doktrinnya, kecuali bahwa dia disalahpahami oleh orang-orang yang bukan dari mereka yang memiliki tingkatan atau derajat spiritual. Bahkan ulama hadis Sunni Jalal al-Din al-Suyuti menulis buku tentang pembelaan terhadap Ibn ‘Arabi. Jalal al-Din al-Suyuti menempatkan Shaykh al-Akbar pada tingkatan spiritual yang lebih tinggi daripada Junayd ketika dia mengatakan bahwa Ibn ‘Arabi adalah guru para gnostik (‘arifin) sementara Junayd adalah guru para penemouh jalan spiritual (murid). Al-Suyuti bersama al-Makhzumi keduanya sepakat bahwa Ibn ‘Arabi menempati tempat (maqam) tertinggi dalam ilmu dan kepemimpinan spiritual. Mereka mengetahui bahwa dalam karya-karya Ibn ‘Arabi terdapat keseimbangan yang sempurna antara hukum agama (shari’ah) dan esensi (haqiqah) agama, atau antara aspek eksoterik dan aspek esoterik Islam.

Ketika Burhan al-Din Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i menyerang Ibn ‘Arabi dalam kitabnya berjudul Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn ‘Arabi, al-Suyuti membalasnya dngan kitab berjudul Tanbih al-Ghabi fi Takhti’ Ibn ‘Arabi. Dalam bantahannya itu, al-Suyuti menyatakan bahwa ia menganggap Ibn ‘Arabi sebagai wali Allah yang tulisan-tulisannya dilarang oleh mereka yang menentangnya tanpa terlebih dahulu mempelajari istilah-istilah teknis yang digunakan oleh para Sufi. Dia mengutip dari karya Ibn Hajar dalam Anba’ al-Ghumr, di antara para sarjana yang dipercaya memiliki pendapat yang baik terhadap Ibn ‘Arabi atau menganggapnya sebagai seorang wali adalah Ibn ‘Ata’ Allah al-Sakandari (w. 709), al-Yafi’i (w. 678), Ibn ‘Abd al-Salam setelah pertemuan terakhir dengan al-Shadhili, Shihab al-Din al-Malwi al-Tilimsani (w. 776), Siraj al-Din Abu Hafs ‘Umar ibn Ishaq al-Hindi al-Hanafi (w. 773) penulis Sharh al-Hidayah dan Sharh al-‘Ayni, Najm al-Din al-Bahi al-Hanbali (w. 802), leksikografer utama al-Fayruzabadi (w. 818), Shams al-Din al-Bisati al-Maliki (w. 842), al-Munawi (w. 871), dan lain-lain. Terdapat ungkapan Ibn ‘Arabi yang melimpah oleh al-Munawi dalam karyanya Fayd al-Qadir, sebuah komentar karya al-Suyuti, Jami’ al-Saghir dan dalam karya Fayruzabadi dalam komentarnya atas Sahih al-Bukhari.

Menanggapi kritik al-Biqa’i, al-Suyuti membenarkan ajaran Ibn ‘Arabi dengan empat alasan, pertama, karya-karya Ibn ‘Arabi telah pelintir oleh musuh-musuhnya; kedua, pernyataan mistik harusnya dipahami dengan menggunakan interpretasi (ta’wil) dan bukan dipahami secara harfiah dan pada nilai nominalnya; ketiga, sentralitas karya-karya Ibn ‘Arabi dalam kerangka dan religiusitas Ottoman dan keempat, ungkapan-ungkapan yang dianggap bermasalah mungkin diartikulasikan dalam keadaan ekstasi, dan karenanya tidak bersalah atas apa yang dia katakan dalam kondisi seperti itu. Dan niat seorang yang mengungkapkan pernyataan bisa berbeda dengan yang dipahami secara lahiriah, dan dengan demikian tidak boleh dia dikatakan seorang kafir (al-Suyuti, 1987).

Di antara murid Ibn ‘Arabi bahkan yang terdekat dan paling terkenal sekaligus anak tirinya adalah Sadr al-Dīn al-Qūnawī. Karya-karya adalah yang paling diwarnai ajaran Ibn ‘Arabi. Dia dapat dikatakan sebagai penafsir (komentator) pertama ajaran gurunya itu. Dalam disiplin hadis Qunawi kerap menjelaskan hadis-hadis yang ada dalam karya Ibn ‘Arabi. Berikut saya muat terjemahan Stephen Hirhenstein mengenai komentar atas hadis “ahli waris” pertama intelektualitas dan spiritualitas Shaykh al-Akbar Ibn ‘Arabi ini.

Komentar Hadis Qunawi: Hirhenstein

Sadr al-Dīn al-Qūnawī, atau memberinya nama lengkap, Abū al-Maʿālī Muḥammad b. Isḥāq b. Muhammad b. Yūsuf b. ʿAlī al-Qūnawī, putra wazir Majd al-Dīn Isḥāq yang melayani para sultan Seljuk di Konya, tampaknya telah dikenal dalam masa hidupnya sebagai al-shaykh al-kabīr , ‘guru spiritual yang hebat’. Tidak ada bukti bahwa hal ini dilakukan untuk membedakannya dengan Ibn ʿArabī, yang kemudian dikenal di dunia Ottoman sebagai al-shaykh al-akbar, ‘guru terhebat’.

Sebaliknya, tampaknya julukan ini untuk meningkatkan status al-Qūnawī pada saat orang lain menonjol di Konya. Gelar kehormatan yang dianugerahkan kepadanya oleh mereka yang mengenalnya secara langsung adalah luar biasa, bahkan oleh standar ulama Konya abad ketiga belas: ‘pemimpin para pemimpin yang mengetahui Tuhan di dunia, paling sempurna dari ahli waris para nabi dan rasul ‘seperti yang dikatakan salah satu manuskrip. [2]

Gelar ini pertama-tama menegaskan al-Qūnawī sebagai guru spiritual utama pada masanya, sebuah era cemerlang yang mencakup Maulana Jalāl al-Dīn Rūmī. Namun, orang harus ingat bahwa meskipun pandangan al-Qūnawī ini diungkapkan oleh murid-muridnya, yang tidak diragukan lagi cukup partisan, pada saat yang sama mereka dan dia sendiri menganggap Rumi sebagai ‘pemimpin sufi Muhammadi (atau mistik)’ .[3] Kalimat kedua ‘ahli waris para nabi dan rasul yang paling sempurna’ juga dengan jelas menempatkannya dalam garis Ibn ʿArabī, memang sebagai pewaris akbarian par excellence.

Fokus saya (Hirhenstein) di sini adalah pada buku terakhir yang dia tulis: komentarnya tentang empat puluh ḥadīth , yang dikenal sebagai Sharh al-Arbaʿīn ḥadīthan. Karya itu tidak pernah selesai, hanya mencapai dua puluh sembilan bulan, dengan komentar, sebelum kematian al-Qūnawī pada tahun 673/1274. Sebagai seorang ulama Hadits al-Qūnawī dianggap yang tertinggi pada zamannya, ‘Raja Sunnah’ sebagaimana Aflākī memanggilnya. [4] Dalam hal ini, dia dengan setia mengikuti jejak gurunya Ibn ʿArabī, yang juga seorang muhadits yang sempurna dan juga telah mengumpulkan beberapa karya ḥadīth. Namun, ada juga perbedaan yang mencolok. Ibn ʿArabī tidak pernah menulis komentar resmi tentang Hadits: dalam bukunya Miskāt al-anwār , misalnya, dia mengumpulkan 101 hadith qudsī dalam dua bagian: bagian satu dan dua masing-masing empat puluh hadia, ditambah dua puluh satu, tanpa penjelasan lebih lanjut, sebagai cara untuk mengikuti nasehat Nabi sendiri bahwa ‘siapa pun yang memelihara untuk umatku empat puluh hadis, Allah akan menurunkannya sebagai orang yang ‘alim dan arif ‘. [5]

Al-Qūnawī juga mengutip Hadits ini (dengan sedikit variasi) di awal teksnya sebagai pembenarannya untuk menyusun koleksi empat puluh hadis miliknya sendiri. Namun, menyadari kompilasi penulis lain, ia tampaknya telah memilih untuk menambahkan komentar pada masing-masing dari empat puluh Hadits. Secara khusus untuk menunjukkan bagaimana pemikiran akbarian menjelaskan makna batin dari tradisi kenabian. Hal ini dibuktikan oleh baris pertama pengantar karya tersebut, yang ditulis dalam prosa berima Arab (sajʿ) yang elegan yang mengingatkan pada gurunya:

Puji bagi Allah yang menghiasi surga “Jalan Hanifian” (al-milla al-ḥanīfiyya ) dengan bintang-bintang peraturan ilahi, perintah dan nasihat agama, dan yang dengan demikian membimbing orang yang dadanya terbuka untuk penyerahan sejati (islām), dan dibebaskan dari malapetaka keraguan dan selubung kegelapan; yang mempercantik diri terdalam dengan cahaya iman yang bersinar (īmān); yang membuat nampak pada cakrawala fajar di langit itu bulan-bulan bimbingan benar untuk mengarahkan manusia pada derajat perbuatan yang benar (iḥsān); yang di sebelah timur Rahmat Pemurah-Nya menyingkapkan matahari dari pengalaman pengetahuan tertentu kepada hati yang terbaik dari ciptaan-Nya, orang-orang yang berjiwa murni dan (dibimbing oleh) ajaran kenabian; [6] yang dari intisari terbaik ini mengekstraksi orang-orang yang Dia pilih untuk Diri-Nya sendiri, mengungkapkan diri-Nya kepada mereka dalam bentuk Pengetahuan-Nya, yang bergantung pada Dzat-Nya dan pada setiap hal, dan dengan demikian menggambarkan mereka dengan kualitas esensial yang kekal, [7] sehingga mereka mengungkap realitas dan misteri ketuhanan dan duniawi yang tersembunyi bagi orang lain. [8]

Sejak awal bagian alusif yang padat ini, al-Qūnawī menetapkan Nabi Muhammad dalam sebagian besar tradisi kenabian, sebagai seseorang yang dibimbing oleh Tuhan dengan cahaya penyerahan, iman dan tindakan yang benar. Ia mengembalikan tauhid yang benar (tawhid) Ibrahim yang dikenal dalam Al Qur’an sebagai Hanif (kata yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai mukmin sejati atau ortodoks, tetapi yang berarti orang yang ‘condong’, ḥanafa, kepada Allah yang benar, jauh dari selainnya, menurut Ibn ʿArabī [9]).

Dalam penggunaan Al-Qur’an, julukan ini (hanif) biasanya dikontraskan dengan orang yang menyekutukan Tuhan (mushrik), dan bagi banyak Muslim agama ḥanīfiyya menjadi sinonim untuk Islam, sebagai agama monoteistik par excellence. Hubungan Ibrahim di sini juga tersampaikan dalam gambar bintang, bulan dan matahari, mengingat bagian Alquran yang terkenal dari perjalanan Ibrahim menjadi ḥanīf. [10] Muhammad dengan demikian yang pertama dan terutama sebagai orang yang dibimbing (mahdī) oleh Cahaya Tuhan, dan hanya melalui bimbingan ilahi dia dapat menjadi pembimbing atau petunjuk bagi orang lain.

Al-Qunawi juga disini langsung menggunakan terminologi klasik dalam pandangan akbarian biasanya: ia mengacu pada tiga ajaran: Islām, Iman dan Ihsan, yang adalah subjek dari pertanyaan Jibril kepada Nabi dalam hadis yang terkenal, dan dibahas secara rinci dalam karya Ibn Arabi Mawāqi’ al-nujum (Orbit Bintang-bintang), di mana citra yang sama dari bintang, bulan dan matahari juga digunakan untuk membedakan derajat atau tingkatan yang berbeda. Selain itu, al-Qunawi ajaran Islam adalah untuk pembersihan hati Muhammad (‘yang dadanya dibuka untuk pensucian’), ketika hatinya diambil dan dicuci oleh para malaikat untuk membersihkannya dari darah-gumpalan penyimpangan manusia; dengan demikian ia menempatkan Islam pada tingkat tertingginya, bukan sebagai praktik atau keyakinan formal tetapi sebagai sesuatu yang sepenuhnya intrinsik dalam realitas manusia.

Dengan menggambarkan imān sebagai menerangi bagian terdalam jiwa dan iḥsān sebagai tindakan murni yang mengalir dari petunjuk yang benar, al-Qūnawī juga membuat referensi tersirat ke ayat Al-Qur’an (41:53) ‘Kami akan menunjukkan kepada mereka Tanda-tanda Kami pada cakrawala dan dalam diri mereka sendiri sampai jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Yang Nyata ‘. Singkatnya, dalam bagian ringkas ini al-Qūnawī menggambarkan Nabi sebagai teladan dan manifestasi penuh dari Manusia Seutuhnya (al-insān al-kāmil).), diciptakan dalam Citra Ilahi, sekaligus hamba Tuhan yang paling sempurna dan tempat di mana Tuhan dapat memanifestasikan diri-Nyab yang paling sempurna. Jadi Muhammad dibimbing dengan tidak mengaitkan apapun dengan dirinya sendiri, dengan berserah diri kepada Tuhan, dan dia adalah pembimbing karena melalui dialah Kualitas dan Nama Ilahi menemukan ekspresi penuhnya.

Koleksi khusus hadis ini, yang semuanya menunjukkan pengalaman Al-Qūnawī yang kaya akan Al-Qur’an dan Hadits, yang telah diajarkan secara pribadi oleh para ahli hadis (muhaddith) di Suriah, adalah bagian dari genre yang terkenal. Koleksi empat puluh ḥadīth oleh para Sufi sebelumnya termasuk oleh Abū ʿAbd al-Raḥmān al-Sulamī (w. 412/1022), ʿAbd Allāh al-Anṣārī (w. 481/1089) dan Aḥmad al-Rifāʿī (w. 578/1182) . Di antara orang-orang sezaman al-Qūnawī, kita dapat menyebut Muhammad b. Abū Bakr al-Rāzī al-Usfūrī (w. 666/1268), yang menulis Arbaīn Syarh Ḥadīth, dan mungkin yang paling terkenal dari semuanya, Yaḥyā b. Sharaf al-Nawawī (w. 766/1277), yang kitab al-Arbaʿūn-nya banyak dikomentari dan diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Koleksi Al-Qūnawī sebagian besar belum dipelajari di Barat, mungkin sebagian karena belum selesai, tetapi lebih mungkin sebagai bagian dari kecenderungan umum untuk mengabaikan tulisan-tulisannya yang bertahan hingga saat ini. Seperti yang dia jelaskan dalam pendahuluannya, hal itu muncul dari permintaan langsung dari teman dan rekannya:

Ketika sekelompok orang yang beragama dan terpelajar dari generasi sebelumnya menjadi yakin, berdasarkan kuatnya berbagai rantai transmisi, keaslian dari Hadits di mana Nabi, saw, berkata: ‘Barangsiapa melestarikan untukku empat puluh ḥadīth tentang nasehat agama (dīn), Tuhan akan membangkitkannya pada Hari Kebangkitan sebagai orang $alim san ‘arif ‘, kemudian mereka tertarik untuk mengeluarkan koleksi empat puluh ḥadīth dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa seperti Ibn Wadʿān [11] memilih hadits yang mencakup nasihat agama seperti yang ditemukan dalam khotbah Nabi; yang lain memilih adīth yang berkonsentrasi pada putusan [hukum] (aḥkām ) atau orang-orang yang membahas pertemuan [dengan Tuhan] atau hari Kebangkitan, [12] dan seterusnya. Beberapa teman dan rekan saya kebetulan memperhatikan dan menemukan bahwa bekal pengetahuan saya tentang ḥadīth, berkat rahmat Tuhan, berlimpah, dan bahwa urusan saya dalam pengetahuan batin tentang misterinya mendatangkan keuntungan, bukan kerugian. Jadi mereka memohon kepada saya untuk menyusun seperangkat hadits kenabian dan mendiskusikannya dengan cara beberapa dari mereka yang datang sebelumnya … Kemudian Tuhan membuka dada saya untuk mengeluarkan kumpulan hadits kenabian yang berasal dari stasiun (maqam) ucapan tersintesis (jawāmiʿ al-kalim), dan untuk mengungkap misteri hadis-hadis yang mencakup permata kebijaksanaan, dengan rantai transmisi, yang semuanya terbukti dan telah diverifikasi oleh saya dengan mendengarkannya dari guru yang saleh, yang menggabungkan pemahaman literal penuh dan otoritas tertinggi untuk transmisi… [13]

Di sini kita dapat melihat betapa teliti al-Qūnawī dalam menetapkan kebenaran dari hadits yang akan dia diskusikan, serta kepercayaannya sendiri dalam bidang yang mapan dengan kriteria yang menuntutnya sendiri. Tidak seperti gurunya Ibn ʿArabī, yang Mishkāt al-anwārnya merupakan kumpulan dari ucapan-ucapan ilahi (ḥadīth qudsī), al-Qūnawī menempatkan dirinya untuk fokus pada pengelompokan utama lainnya, catatan tentang ucapan dan tindakan Nabi (Hadith nabawī). Dalam setiap kasus ia memuat teks hadits diikuti dengan komentar atasnya dalam bentuk ‘mengungkap misteri (rahasia)-nya dan menjelaskan arti sebenarnya’ (kashf sirrihi wa īḍāḥ maʿānīhi), mengutip dengan bebas dari Al-Qur’an dan lainnya. Komentar atas Hadīth Qunawi ini (ada sekitar 100 ḥadīth secara total disebutkan dalam dua puluh sembilan bab kitabnya).

Hadis-hadis yang ia komentari meliputi aspek mata yang beragam seperti kebersihan dan kemurnian, cara halal dari mencari nafkah, zikir dan pemuliaan Allah, nama terbesar Allah, menjunjung tinggi ikatan kekerabatan, keunggulan doa berjamaah dari doa sendiri, penciptaan Adam dalam bentuk citra Ilahi, dan seterusnya. Alih-alih memusatkan perhatian pada makna literal dari Hadits, seperti yang telah dilakukan sebelumnya, ia menempatkan dirinya untuk menghubungkan hadis secara langsung dengan ilmu tasawuf. Perhatiannya, katanya, adalah dengan ‘pengetahuan batin (maʿrifa) tentang apa yang dimaksud Nabi, dan menjelaskan kebijaksanaan dan misteri yang terkandung dalam sabda-sabdanya’.[14]

Kami dapat mengutip dua contoh singkat dari metode al-Qūnawī sebelum melihatnya lebih dalam. Hadits ketiga dilaporkan oleh Rifāʿa b. Rāfiʿ:

Suatu hari kami berdoa di belakang Rasulullah, damai dan berkah besertanya. Ketika ia mengangkat kepalanya dari rukuk (rukū’), ia berkata: ‘Allah mendengar orang yang memuji-Nya’ (sami’a Allāh liman Hamidah). Seorang pria di belakangnya melanjutkan: ‘Tuhan kami, puji bagi-Mu , dengan pujian yang baik dan penuh berkah’ (rabbanā laka al-ḥamd ḥamdan ṭayyiban mubārakan fīh ). Setelah menyelesaikan shalat, Rasulullah bertanya: ‘Siapa yang mengatakan itu?’ dan pria itu menjawab ‘Aku’. [Nabi berkata:] ‘Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bergegas untuk menjadi yang pertama menulisnya!’ [15]

Dalam tafsirnya, al-Qūnawī menunjukkan bahwa setiap bentuk harus memiliki roh, yang mungkin lebih atau kurang jelas. Hal ini terjadi pada kata dan huruf seperti halnya dengan bentuk fisik. Dengan demikian, misteri jumlah malaikat yang tidak jelas dapat dijelaskan dengan jumlah tertentu (33) huruf Arab dalam doa tambahan, yang masing-masing memiliki roh atau malaikat yang menegakkannya dan mempertahankan pengucapannya. Doktrin ini tentu saja menonjol dalam tulisan-tulisan Ibn ʿArabī, yang memandang ilmu huruf sebagai ilmu yang secara khusus diberikan kepada para wali (awliyāʾ).

Hadīth kesepuluh diambil dari kitab Ṣaḥīḥ :

Anak Adam menerima pahala atas semua sadakahnya, selain dari apa yang dia investasikan untuk air dan tanah liat. [16]

Al-Qūnawī mengomentari hal ini dalam kaitannya dengan bangunan, karena ini adalah salah satu cara untuk memahami ‘air dan tanah liat’, meskipun subteks dari pembahasannya adalah bahwa air dan tanah liat melambangkan seluruh dunia material. Dia menjelaskan bahwa ‘Bentuk tindakan adalah kecelakaan, yang substansinya adalah apa yang diinginkan pelaku, pengetahuan yang mereka miliki, apa yang mereka yakini dan apa yang mereka cita-citakan.’ Sementara membangun masjid atau semacam rumah ibadah pasti akan membawa pahala, jenis bangunan yang dimaksudkan di bagian akhir Hadits, yang tidak menerima pahala, adalah satu di mana pemiliknya hanya ingin dianggap lebih mulia dan lebih baik dari yang lain, lebih mewah dan sebagainya. Ketika tujuan dan niat pembangunnya seperti ini, maka ia tidak melampaui dunia ini, sehingga konstruksi ini tidak dapat menghasilkan buah atau pahala di akhirat. Ini karena dalam apa yang dia lakukan, orang tersebut hanya mencari tempat tinggal duniawi ini. Jadi tindakannya hanyalah kerugian yang ditakdirkan untuk hilang. Tidak ada cara bagi mereka untuk berpindah dari sini ke dunia lain. Mereka tidak menghasilkan buah, mereka tidak membawa pahala. [17]

Mungkin di bagian terpanjang dari koleksi, ḥadīth kedua puluh dua, al-Qūnawī mengutip sebuah tradisi yang dicatat oleh Ibn Masʿūd bahwa Nabi berkata: ‘Siapa pun yang melihatku dalam mimpi maka benar-benar telah melihat aku. Karena Setan tidak bisa menyamar sebagai aku.’ Dia memberikan tiga versi lain dari Hadits untuk kejelasan dan kelengkapan: ‘Setan tidak dapat mewakili dirinya dalam wujudku ‘; ‘Setan tidak bisa membuat dirinya menjadi aku’; dan akhirnya ‘Siapa pun yang melihat aku telah melihat Kebenaran (ḥaqq), karena Setan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai aku’. [18] Versi kedua dekat dengan yang dilaporkan oleh Ibn ʿArabī dari Andalusia dari muḥaddith Baqī b. Makhlad, dalam bab tentang Ishak (Isḥāq) dalam bukunya Fuṣūṣ al-ḥikam, di mana ia membahas aspek mana dari mimpi yang dapat dilihat secara langsung dan mana yang membutuhkan interpretasi: ‘Siapa pun yang melihat aku dalam mimpi telah melihat aku dalam keadaan terbangun, karena Setan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai wujud aku’. [19]

Tema yang sama tentang kebenaran gambar kenabian dan realitas penafsiran adalah subjek dari komentar al-Qūnawī, yang mencapai sekitar dua puluh tujuh halaman bahasa Arab dalam edisi cetak (dibandingkan dengan hanya empat baris untuk versi terjemahannya dari teks hadīth). Ini mencakup diskusi lengkap tentang dunia imajinal (al-mithāl), dunia perantara di mana makna mengambil bentuk dan bentuk diberkahi dengan makna.

Al-Qūnawī memulai diskusinya dengan kerangka kerja yang mencerahkan:

Ketahuilah bahwa Nabi terwujud dengan segala sifat Nama dan Kualitas Tuhan, baik dalam manifestasinya pada hamba maupun dalam realisasi spiritualnya (takhalluqan wa taḥaqquqan ). [20]

Segera kerangka acuannya adalah ajaran Ibn ‘Arabi (akbarian): baik takhalluq dan taḥaqquq dan pelengkap taʿalluq (koneksi) mereka adalah dasar dari eksposisi Ibn ʿArabī tentang Nama-nama Ilahi. [21] Di sini fokusnya adalah pada Nabi sebagai tempat di mana semua Nama dan Kualitas Ilahi berada dalam ekspresi penuh. Dia secara bersamaan adalah orang yang telah menyadari citra ketuhanan manusia, yaitu Manusia Sempurna (al-insān al-kāmil), dan perwujudan sepenuhnya dari prinsip itu. Ini menjadi prasyarat bagi seseorang yang bertindak sebagai pembawa pesan dan pembimbing Kebenaran, maka kualitas utama yang terlihat oleh orang lain dalam diri orang tersebut haruslah bimbingan. Mengutip ayat Alquran ‘Sungguh Engkau (Muhammad) akan membimbing (manusia) ke jalan yang lurus’, [22] al-Qūnawī menambahkan:

[Nabi] adalah gambar dari Nama Allah Yang Maha Pembimbing, dan tempat perwujudan kualitas bimbingan, sedangkan Setan adalah tempat perwujudan nama Penyesat dan muncul dengan kualitas menyesatkan … Setan sebenarnya adalah sebaliknya dari Nabi Saw. Dan yang berlawanan tidak dapat disatukan, juga tidak dapat salah satunya muncul dalam bentuk yang lain. Tuhan menciptakan Nabi untuk menjadi pembimbing atau petunjuk. [23]

Karena Nabi hanya dapat muncul dengan atribut atau sifat petunjuk, tidak mungkin setan meniru ini dengan cara apa pun. Wujud Nabi dengan demikian juga dilindungi dari kesalahan atau penyimpangan (maʿṣum). Sementara Nabi historis dimakamkan di Madinah, bentuk spiritualnya mampu mewujud kepada orang-orang beriman melintasi ruang dan waktu, dalam ranah dunia imajinal (imajinal mithāl), yaitu dalam mimpi atau penglihatan spiritual, meskipun al-Qūnawī menambahkan ketentuan penting bahwa siapa pun yang memimpikan bentuk yang berbeda dengan yang dimiliki Nabi dalam kehidupan fisiknya – misalnya, sebagai seseorang yang sangat tinggi atau sangat pendek, berambut pirang atau tua dll – belum melihatnya. Selain itu, ia menyatakan bahwa seseorang harus memahami penampakan Nabi secara kiasan, yaitu sebagai citra kebenaran dan petunjuk spiritual, daripada secara harfiah:

Padahal, yang dilihat orang dalam mimpi itu adalah bentuk hukum yang diturunkan (shari’ah), yang berkaitan dengan keyakinan si pemimpi atau keadaannya, atau dengan kualitas atau dengan tempat di mana orang tersebut..mengalami mimpi seperti itu, sambil mempercayainya sebagai wujud Nabi sendiri. Kami telah mengalami ini untuk diri kami sendiri beberapa kali dan pada orang lain, dan kami juga sering mendengar ini dikonfirmasi oleh syekh kami. [24]

Untuk mengklarifikasi bagaimana Nabi atau gambaran tuntunan mungkin muncul, al-Qūnawī melanjutkan dengan menceritakan tiga mimpi yang sangat menarik, dua di antaranya diceritakan kepadanya oleh Ibn ʿArabī dan satu lagi yang dia alami sendiri. [25]

Syekh kami, Imam yang paling sempurna, Muḥyī al-Dīn Muḥammad b. ʿAlī b. al-ʿArabī, semoga Tuhan merahmatinya, menceritakan kisah tentang ini. Dia mengalami beberapa mimpi ketika dia masih kecil, di mana dia berada di masjid di Ishbīliya (Seville), sebuah kota di tanah Andalusia, dan Nabi meninggal, ditutupi dengan kain yang berliku, di salah satu sudut masjid. Ketika dia sudah tua, Syekh bergabung dalam jalan umat Tuhan (tariqah) dan meninggalkan harta miliknya, sehingga dia tidak memiliki apa pun dari dunia ini untuk dimiliki atau ditempati, dan Tuhan membuka sebagian untuknya. Dia menemukan dirinya di masjid yang sama dengan salah satu orang yang berbeda dan baik di negeri itu … Syekh itu berkata: ‘Saat aku memasuki masjid dengan temanku ini, aku berkata: “Aku tidak bisa melewati masjid tanpa salat dua kali di dalamnya ”. Dia mengatakan kepada saya: “Anda harus berdoa di sudut itu”, menunjuk ke satu tempat di mana saya telah melihat Nabi, damai dan berkah besertanya, mati dan dalam kafan yang indah. Ketika saya berkata saya tidak bisa, dia mengatakan kepada saya bahwa saya seharusnya tidak menolak untuk melakukan shalat di sana. Saya menjawab: “Tetapi saya pernah melihat Nabi dalam mimpi di tempat ini, dan dia telah meninggal dan diselimuti. Jadi menurut saya doa [di sini] menjijikkan. ”Dia tercengang dan berkata: “Sebenarnya kamu telah melihat kebenaran. Biar kuberitahukan rahasia mimpimu. Tempat itu dulunya adalah rumahku. Penguasa Maghrib ingin memperluas masjid, sehingga salah satu dindingnya dirobohkan. Dia membeli rumah di belakangnya, sehingga menjadi bagian dari masjid. Satu-satunya yang tersisa adalah rumah saya: mereka menawar saya tentangnya dan tidak akan memberi saya apa yang menurut saya layak, jadi saya menolak untuk menjualnya. Mereka mengambilnya dari saya tanpa persetujuan saya, hanya karena mereka menginginkannya. Apa yang Anda lihat dalam mimpimu bukanlah Nabi, damai dan berkah besertanya. Itu adalah Hukumnya, yang sudah mati sehubungan dengan tempat itu: disembunyikan dalam bentuk penjualan, dan itu bukan transaksi yang pantas. Nyatanya tempat itu diperoleh secara ilegal. Tapi sekarang, saya bersaksi kepada Anda bahwa saya telah melepaskan hak-hak saya demi kepentingan Muslim, dan kita harus salat di dalamnya. “Jadi kami masuk dan salat di sana. ‘[26]

Munculnya Nabi dalam bentuk yang tampaknya negatif dengan demikian dialihkan untuk mengungkapkan sesuatu yang universal tentang sifat dari apa yang baik dan benar. Menariknya, melalui campur tangan Ibn ʿArabī, situasi dikembalikan ke hak dasarnya. Prinsip yang sama juga jelas dari mimpi kedua yang dijelaskan Ibn ʿArabī:

Dia [Ibn ʿArabī] menyebutkan kepadaku di Damaskus bahwa salah satu dari orang-orang saleh bermimpi bahwa dia telah menampar Nabi, semoga Allah memberinya kedamaian, dan terbangun dalam keadaan ketakutan. Ketika pria itu meminta penjelasan dari salah satu syekhnya, dia diberitahu: ‘Nabi,semoga damai dan berkah besertanya, terlalu besar bagimu atau siapa pun untuk mengangkat tangan melawannya. Orang yang Anda lihat bukanlah Nabi – itu adalah Hukumnya, karena Anda telah melanggar salah satu ketetapannya (aḥkām). Tamparan di wajah menunjukkan fakta bahwa Anda pasti telah melakukan sesuatu yang dilarang, salah satu dosa besar’. [27]

Karena pria itu tidak dapat mengingat apa pun yang mungkin telah dilakukannya, dia pulang dengan perasaan sedih dan sangat prihatin. Istrinya bertanya kepadanya ada apa, dan ketika dia mendengar tentang mimpi itu dan interpretasi syekh, dia terkejut dan mengatakan kepadanya bahwa dia telah melanggar janji yang telah dia buat kepadanya untuk tidak mengunjungi orang tertentu, tetapi telah terlalu takut untuk memberitahunya karena itu berarti mereka sebenarnya sudah bercerai. Pria itu sangat menyesal, dan mereka menebus kesalahannya dengan mematuhi masa tunggu setelah nikah (ʿidda) yang ditentukan dan mengulangi kontrak pernikahan.

Gambaran mimpi Nabi dalam cahaya negatif ini sama-sama bergema dalam mimpi ketiga, mimpi yang dimiliki oleh al-Qūnawī sendiri:

Adapun diriku sendiri, pada malam Baghdad direbut [oleh bangsa Mongol], di pagi hari aku bermimpi bahwa Nabi, saw, ditutupi kain berliku, berbaring di atas usungan, dengan kerumunan orang di sekelilingnya. Kepalanya tidak tertutup, dan rambutnya hampir menyentuh tanah. Saya bertanya kepada seseorang apa yang mereka lakukan, dan dia mengatakan kepada saya: ‘Kami akan membawanya pergi dan menguburkannya.’ Kemudian saya sadar bahwa Nabi sebenarnya tidak mati, dan saya berkata kepada mereka: ‘Tetapi wajahnya tidak terlihat seperti wajah orang mati – tunggu sebentar sampai kami menemukan kebenaran masalah ini.’ Kemudian saya mendekati mulut dan hidungnya, dan menemukan bahwa dia masih bernapas dengan lemah. Jadi saya membuat mereka sadar akan hal ini dan mencegah mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Saya terbangun dalam keadaan sangat tertekan dan khawatir. [28]

Seperti yang dijelaskan oleh al-Qūnawī, dia mulai memahami bahwa mimpi itu berkaitan dengan malapetaka yang menimpa Baghdad pada 10 Februari 1258, ketika kota itu menyerah kepada orang-orang Mongol. Itu merupakan pukulan psikologis yang sangat besar bagi Islam, yang menurut beberapa orang tidak pernah pulih: pusat intelektual terbesar hari itu dilenyapkan dalam seminggu pembantaian, penjarahan, pemerkosaan, dan penghancuran. Al-Qūnawī menyatakan bahwa dia secara independen memverifikasi bahwa waktu mimpinya bertepatan dengan pengambilalihan Baghdad. [29] Di sini sosok Nabi dengan jelas diidentifikasi sebagai tanah di bawah kekuasaan Muslim (Dār al-Islām), atau lebih tepatnya, jantung Islam, karena Baghdad adalah pusat kekhalifahan. Apa yang al-Qūnawī tidak sebutkan secara spesifik adalah fakta bahwa bencana ini tidak untuk dilihat sebagai tempat perhentian: dia tahu Nabi belum mati dan dia mencegah orang untuk menguburkannya. Dengan demikian, mimpi tidak hanya menjadi peringatan tetapi juga pesan harapan di saat keputusasaan besar. Impor mimpi sebagai contoh, bagaimanapun, adalah bahwa ‘siapa pun yang memimpikan Nabi, padanya akan damai, dalam bentuk aslinya dan diberitahu tentang sesuatu, telah diberitahu dengan benar’. [30]

Mimpi, seperti yang kita ketahui dari psikologi modern, mencerminkan keadaan si pemimpi, dan al-Qūnawī selanjutnya menjelaskan secara rinci cara-cara di mana hal ini terjadi, dan sifat dari dunia kesamaan (mithāl). Dia sangat tertarik pada makna yang terkandung dalam mimpi Nabi atau Real (ḥaqq) dan bagaimana mimpi itu diterima. Pada saat yang sama ia mengulurkan kemungkinan yang lebih besar dari penerimaan yang bebas dari pewarnaan diri: bahwa mimpi dapat bersifat obyektif berdasarkan kemurnian subjek manusia yang menerimanya. Hal ini tentu saja dapat dilihat dalam mimpi kenabian seperti mimpi ibrahim tentang dirinya yang mengorbankan putranya, tetapi mungkin juga berlaku untuk siapa saja yang mencapai derajat kemanusiaan sejati (insān). Dia berbicara tentang bagaimana mimpi dapat mengesankan dirinya sendiri pada fakultas imajinatif tanpa gangguan dari tingkat psikis, dan ini mungkin tidak hanya menjadi sesuatu yang terjadi sesekali dalam keadaan tidur, tetapi sebagai keadaan terbangun konstan, di mana manusia menjadi yang ilahi. lambang yang diwakili oleh Nabi, di mana manusia menyadari kondisi sejatinya di tengah lingkaran segala sesuatu dan kondisi, sebagai ‘Kebenaran Pertengahan’ (ḥaqq al-wasaṭ) di stasiun tanpa stasiun atau maqam tanpa maqam. [31]

[Untuk orang-orang seperti itu] Tuhan telah memberi cap hidup di hati mereka, jadi tidak ada yang datang ke hati mereka dari jiwa mereka yang telah terukir di dalam jiwa sebelumnya atau untuk pertama kalinya, kecuali tetapi jarang, secara tidak sengaja, sekilas. Lebih tepatnya, tidak ada sesuatu dari yang tak terlihat dari dunia yang tinggi, serta apa yang ada di atasnya, yang terukir dalam jiwa mereka karena kurangnya atribut atau segala jenis kecenderungan menjauh dari titik pusat keseimbangan. [32]

Di sini manusia dibebaskan dari segala batasan, ikatan, atau batasan yang dapat menentukan atau merusak penerimaan penuh kepada Yang Ilahi. Tidak ada penyimpangan dari manusia sebagai citra Yang Ilahi, tidak ada yang jatuh ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat total, tidak ada keberpihakan untuk satu aspek di atas yang lain. Di dunia modern kita di mana penulis dan pembuat film memberikan citra kebaikan yang selalu berubah, saat penyihir yang jinak menggantikan malaikat dan hewan menjadi pahlawan, sungguh menggembirakan melihat citra manusia masih mempertahankan fokus utamanya pada kebajikan sejati. [33]Tetapi apa yang ditunjukkan oleh Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī kepada kita adalah gambaran manusia yang jauh lebih heroik dan tepat, aktualisasi dari semua Nama dan Kualitas Ilahi dalam kelimpahannya dan realisasi total dari pelayanan dan ketidakmampuan sebelum Bimbingan Ilahi. Lambangnya adalah sosok Nabi sendiri, yang penampilannya selalu menunjukkan dan menuntun ke ‘titik sentral keseimbangan’.

Al-Qūnawī mengakhiri tafsirnya pada Hadits ke – 21 dengan ayat Al-Qur’an tentang pemberian pujian berikut ini:

Segala puji bagi Allah, yang telah membimbing kita. Karena kami tidak akan dibimbing, jika bukan karena Tuhan yang membimbing kami. [34]

Dipetik dari Jurnal Muhyiddin Ibn Arabi Society , Vol 49, 2011.

Anotasi

[1] Sebuah versi dari artikel ini telah dipresentasikan pada Simposium Internasional Pertama tentang Sadreddin Konevi, Konya (20-21 Mei 2008).

[2] imām al-aʾimma al-ʿālimīn billāh fī al-ʿālamīn, akmal waratha al-anbiyāʾ wa al-mursalīn ( Miftāḥ al-ghayb, Yusuf Ağa 4865, 672). Kata-kata ini, yang dipilih selama hidupnya, tidak jarang di antara murid-murid langsungnya.

[3] Dikutip dalam Jāmī’s Nafāḥāt al-uns (Teheran, 1373), entri 495.

[4] Lihat Shams al-Dīn Aḥmad-e Aflākī, The Feats of the Knowers of God (Leiden, 2002), terjemahan. John O’Kane, 193.

[5] Lihat Divine Sayings, teks dan terjemahan Ibn ʿArabī’s Mishkāt al-anwār (Oxford, 2004), hal. 23.

[6] Arab: al-himam al-sunniyya, secara harfiah aspirasi yang mengikuti norma Nabi, yaitu bercita-cita menjadi seperti Nabi dalam apa yang dikatakan dan dilakukannya.

[7] Arab: taḥliya, digambarkan memiliki kualitas, keadaan atau kondisi tertentu. Kata tersebut secara etimologis terkait dengan taḥallī, yang oleh Ibn ʿArabī didefinisikan sebagai ‘penampilan dari ciri-ciri hamba yang sejati, meskipun dianugerahi ciri-ciri Nama-nama Ilahi’ ( Fut .II.128). Di sini disebutkan bahwa orang-orang ini digambarkan sebagai ‘orang yang mengetahui’, karena mereka mengenal diri mereka sendiri melalui Pengetahuan Ilahi.

[8] Sharḥ al-Arbaʿīn ḥadīthan , teks Arab oleh Hasan Yilmaz (Istanbul, 1990), 1.

[9] Patut diperhatikan bahwa beberapa pakar mendapatkan kata ini dari bahasa Siria, yang arti utamanya adalah ‘kafir’ atau ‘bidah’. Itu digunakan oleh orang Kristen untuk menggambarkan penyembahan berhala dari umat masa Ibrahim, dan tidak menunjuk pada Ibrahim sendiri.

[10] Lihat P. 6: 76–79.

[11] Ibn Wadʿān (w. 494/1101), yang bernama lengkap Abū Naṣr Muḥammad b. ʿAlī al-Mawṣilī, menulis kompilasi berjudul al-Arbaʿūn al-Wadʿāniyya (terjemahan bahasa Inggris oleh Assad Nimer Busool sebagai Khotbah Nabi Muhammad (Buku Goodword), 2002).

[12] Perhatikan bahwa Ibn ʿArabī sendiri menulis dua koleksi dari empat puluh ḥadīth (sekarang hilang) pada dua subjek terakhir ini – lihat Divine Sayings, 95.

[13] Sharḥ, 2–3.

[14] Sharḥ, 3.

[15] Lihat Bukhārī, Adhān 126, dan Ibn Ḥanbal, 3/158.

[16] Sharh, 39.

[17] Ibid.

[18] Sharḥ, 122ff.

[19] Fuṣūs al-ḥikam , ed. Abū ʿAlā al-Afīfī (Beirut, 1946), 86.

[20] Sharḥ, 122.

[21] Lihat Ibn al-ʿArabī, Kashf al-maʿnā ʿan asmāʾ Allāh al-ḥusnā , ed. dan trans. Pablo Beneito (Murcia, 1997), di mana setiap Nama Ilahi diperlakukan dalam tiga judul, taʿalluq , taḥaqquq dan takhalluq .

[22] Q. 42: 52.

[23] Sharḥ, 123.

[24] Sharḥ, 124.

[25] Kita dapat mencatat kesopanan spiritual (adab) al-Qūnawī di sini karena angka 3 secara khusus dikaitkan dengan Nabi.

[26] Sharḥ, 125–6.

[27] Sharḥ, 126–7.

[28] Sharh, 127–8.

[29] Dia menyatakan bahwa dia berhati-hati untuk memeriksa mimpi tanpa memberi tahu siapa pun tentang mimpinya sampai setelah berita itu dikonfirmasi (tindakan pencegahan yang diperlukan sebelum adanya media massa dan telepon!).

[30] Sharḥ, 128.

[31] Lihat Chittick, ‘The Central Point’, JMIAS 35 (Oxford, 2004), 25–45.

[32] Sharḥ, 146.

[33] Seperti yang ditunjukkan, misalnya, dalam seri buku Harry Potter karya JK Rowling dan The Golden Compass karya Philip Pullman .

[34] Q. 7:43; Sharḥ, 150.

Bekasi, 22 Mei 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *