Orang modern banyak yang mempertanyakan eksistensi Tuhan, sebut saja yang terkenal di antara mereka adalah Marx dan Freud. Bahkan banyak sekali yang kemudian berlanjut mempertanyakan eksistensi agama, sebelum kemudian menganggap spiritualitaslah yang sesungguh lebih bermakna dari agama, dan bahkan dari tuhan yang mereka pahami sendiri.   Begitulah manusia yang diberi potensi oleh penciptanya untuk bisa mengkritisi sejarah pengalaman bertuhan, beragama dan berspi ritual dirinya sendiri. Proses inilah yang berujung pada menguatnya konsep antroposentrisme di kalangan intelektual, dimana manusia menjadi pusat dari hakekat kehidupan. Bukan lagi Tuhan yang selama ini diyakini mayoritas penduduk dunia dengan semua latar dan ragam agama yang ada. 

Diakui atau tidak, agama (dalam sejarahnya) berulang-ulang mengalami kejumudan, dan disaat itulah muncul orang suci atau nabi yang berupaya memperbaiki kembali. Bahkan di awal2 kemunculan manusia atau peradabannya, kehadiran orang suci berulang muncul dalam frekwensi yang rigid. Tentu kita bisa berargumen karena saat itu cara berpikir manusia masih sangat sederhana dan masih sangat kuat bergantung pada alam. Bahkan begitu kuatnya ketergantungan itu, tidak sedikit manusia yang kemudian “tersesat” menjadikan alam sebagai tuhan. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai dinamisme dan animisme oleh para ilmuwan. Meski tidak sepenuhnya benar, paling tidak itulah yang dikenalkan kepada kita tentang bagaimana manusia berelasi dengan alam. 

Meskipun demikian sampai saat ini, belum ada yang bisa mengalahkan cerita Adam sebagai manusia pertama dan sekaligus orang suci kesayangan Tuhan. Walaupun berulang dibantah oleh para ilmuwan dengan segala teori penciptaan dari ketiadaan. Tetap saja logika akal lebih menerima adanya manusia bukan dari ketiadaan. Sebab nalar ketiadaan itu muskil atau mungkar secara akal. Karena semua yang ada tentu hadir karena ada yang lebih dahulu Ada. Karena adanya yang lebih akhir itu membutuhkan bahan baku dari yang Maha Pencipta. Kenapa harus disebut Maha Pencipta, karena akal kita tidak atau belum mampu menjangkau bahan awal penciptaan karena keterbatasan pengalaman dan waktu kita dalam menalarnya. 

Kondisi Itulah yang mendorong para ilmuwan kemudian mengembangkan empirisme dalam rangka mengurangi “kelemahan” nalar manusia yang terbatasi umur dan pengalamannya. Sehingga dengan bukti2 empiris itulah manusia atau para ilmuwan diharapkan bisa melacak perkembangan  peradaban manusia, sehingga bisa menemukan kesimpulan siapa dan kapan manusia itu tercipta, dengan “ramalan” ilmiah. Namun ramalan yang dibungkus istilah ilmiah itu pun sampai sekarang tetap menjadi mitos ilmiah. Sebagaimana teori evolusi Darwin yang dalam batas ekstrimnya sampai sekarang pun (meski dilakukan percepatan lewat rekayasa genetika) belum juga terbukti secara empiris. Teori itu hanya melahirkan argumen2 yang dipaksakan bisa diterima secara logis untuk meyakinkan kebenaran nalar tidak ada Tuhan. Padahal nalar ketiadaan Tuhan jauh lebih tidak logis ketimbang nalar “Keberadaan-Nya”. Apalagi empirisme itu mensyaratkan yang “ada”, bukan yang tidak ada. Karena itulah, jika kita tidak terlalu egois sebagai “ilmuwan” dan juga sebagai “penganut Agama” maka kita bisa mempertemukan dua ekstrim itu pada titik yang “Ada” tersebut. 

Menyelaraskan nalar ke-Tuhanan dan nalar Kemanusiaan inilah yang menjadi tugas  para manusia suci (Nabi) dan ulama (ilmuwan). Mereka mengemban tugas menjadi wasilah Tuhan dalam “berkomunikasi” dengan hamba Nya (manusia), melalui ramuan nalar beragama sekaligus nalar berilmiah di kehidupan dunia. Sedangkan mereka yang masih enggan atau “elergi” dengan ber-Tuhan atau ber-agama, kemudian mencari legitimasi baru dengan cara menyeburkan diri dalam spiritualitas yang mereka anggap lebih luas dan dalam dibandingkan dengan ber-Tuhan dan beragama. Karena mereka beranggapan Tuhan dan agama telah direduksi dalam simbol-simbol yang melahirkan kekacauan berpikir dan bertindak manusia. Dalam bahasa ekstrimnya (Karen Armstrong) para penganut agama dalam sejarahnya terbukti  sering melahirkan kekerasan atas nama Tuhan dan Agama. #SeriPaijo

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *