Oleh A Ginanjar Sya’ban

—————–
Berikut ini adalah tulisan tangan dari Syaikh Muhammad Shâlih b. Sa’îd al-Yamânî (w. 1964), salah satu ulama Makkah pada awal abad ke-20 M, mengemukakan penghadiahan kitab “al-Asybâh wa al-Nazhâir” (karangan al-Imâm al-Suyûthî) dari beliau untuk KH. Soleh Lateng Banyuwangi, salah satu ulama besar Jawa Timur asal Palembang (w. 1952).

Saya menemukan dokumen ini dari lemari masjid KH. Soleh Lateng di Banyuwangi pada bulan September tahun 2017 lalu, saat berziarah ke masjid, makam, pesantren, dan rumah KH. Soleh Lateng bersama dengan kawan-kawan Komunitas Pegon dan Aswaja Center PCNU Banyuwangi Ayung Notonegoro Rohmat Tulloh.

Tulisan tersebut ditulis dalam dua baris. Tertulis di sana:
هذا الكتاب هدية من الحقير محمد صالح بن سعيد اليماني الى أطلس فلك العلوم ومركز دائرة المنطوق والمفهوم كياهي محمد صالح

(Kitab ini adalah hadiah dari seorang yang hina, Muhammad Shâlih bin Sa’îd al-Yamânî kepada atlas cakrawala ilmu pengetahuan dan pusat lingkaran yang tersirat dan tersurat Kiyai Muhammad Soleh)

Tidak ada titimangsa yang menunjukkan kapan waktu diberikannya hadiah tersebut sebagaimana tulisan di atas. Namun demikian, ada banyak hal yang menarik untuk diulas lebih jauh dari sekedar dua baris tulisan itu.

Pertama, sosok Syaikh Muhammad Shâlih b. Sa’îd al-Yamânî (sang pemberi hadiah). Dalam beberapa kamus biografi berbahasa Arab (seperti A’lâm al-Makkiyyîn karangan al-Mu’allimî, Siyar wa Tarâjim arangan ‘Abd al-Jabbâr, da lain-lain), disebutkan jika Syaikh Muhammad Shâlih al-Yamânî adalah ulama madzhab Syafi’i yang mengajar di Masjidil Haram sekaligus direktur Perpustakaan Makkah al-Mukarramah. Beliau lahir di Makkah pada 1892 dan wafat di kota suci itu pada 1964.

Syaikh Muhammad Shâlih al-Yamânî adalah anak dari Syaikh Sa’îd al-Yamânî (w. 1936), ulama besar sekaligus imam madzhab Syafi’i di Makkah. Tokoh ini juga terhitung memiliki hubungan dan jaringan intelektual yang sangat erat dengan ulama Nusantara, di mana beliau menjadi guru dari banyak ulama Nusantara yang bermukim di Makkah pada generasi awal abad ke-20 M, seperti KH. Hasyim As’ari, KH. A. Wahhab Hasbullah, KH. Mas Mansur, KH. Ahmad Sanusi, KH. Syathibi, dan lain-lain.

Pada tahun 1925-1926, ketika pasukan Kerajaan Saudi-Wahhabi dari Nejd menguasai Makkah dan kota-kota Hijaz lainnya, Syaikh Sa’îd al-Yamânî beserta kedua putranya, Syaikh Hasan b. Sa’îd al-Yamânî dan Syaikh Muhammad Shâlih al-Yamânî, pergi ke Nusantara untuk beberapa bulan lamanya. Di antara tempat yang mereka singgahi adalah pesantren Raudhah Thalabah di Tebu Ireng (Jombang, Jawa Timur) asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pada saat itu, KH. Hasyim Asy’ari baru saja menyelesaikan salah satu karya beliau, yaitu kitab “Âdab al-‘Âlim wa al-Muta’allim”. Karya tersebut pun dikoreksi oleh ketiga ulama itu, sekaligus keduanya menuliskan taqrîzh (sambutan) atas kitab “Âdab al-‘Âlim wa al-Muta’allim”.

Kedua, penyebutan sosok Syaikh Muhammad Shâlih al-Yamânî atas dirinya dengan “al-haqîr” (seorang yang hina) dan sosok KH. Soleh Lateng dengan gelar “kiyai” dan julukan “atlas cakrawala ilmu pengetahuan dan pusat lingkaran yang tersirat dan tersurat”. Tentu saja, selain menunjukkan kerendah hatian dan akhlak yang luhur dari al-Yamânî, kata-kata di atas juga menegaskan kapasitas keilmuan dan kebesaran peran dari sosok KH. Soleh Lateng.

KH. Soleh Lateng Banyuwangi (yang diberi hadiah) lahir tahun 1862 dan wafat sembilan puluh tahun kemudian (1952). Beliau bernama lengkap KH. Kiagus Soleh Syamsuddin b. Abdul Hadi b. Abdurrahman dan tercatat sebagai ulama besar Banyuwangi asal Palembang. Kakek beliau, Kiagus Abdurrahman, meninggalkan Palembang lalu menetap di Madura setelah masa perang Palembang (1818-1822). KH. Soleh Lateng juga terhitung sebagai salah satu murid KH. Kholil Bangkalan dan kawan dekat KH. Hasyim Asy’ari. Pada awal tahun 1900-an, KH. Soleh Lateng pergi ke Makkah dan bermukim di sana beberapa tahun lamanya. Sepulangnya dari Makkah, KH. Soleh menetap di kampung Lateng, Banyuwangi, dan mendirikan masjid sekaligus pesantrennya di sana. Ketika NU didirikan di Surabaya pada Januari 1926, KH. Soleh Lateng ikut serta membantu dan dipercaya oleh KH. Hasyim Asy’ari untuk membuka cabang NU di Banyuwangi. Tahun 1934, pesantren KH. Soleh Lateng menjadi tempat muktamar NU yang ke-9.

Sayangnya, kini pesantren KH. Soleh Lateng (yang pada zamannya menjadi salah satu kiblat utama keilmuan untuk daerah Tapal Kuda) tidak ada yang meneruskan. Bangunan pesantren yang masih tampak megah dan kokoh itu sudah tidak berpenghuni. Salah satu peninggalan berharga dari KH. Soleh Lateng yang masih tersisa adalah perpustakaan pribadinya yang menyimpan koleksi langka dan kaya. Ditemukan di sana beberapa kitab karangan ulama besar Nusantara dan Timur Tengah yang pada halaman depannya terdapat beberapa catatan dari para pengarangnya itu sebagai hadiah untuk KH. Soleh Lateng.

Ketiga, dua baris tulisan ini menegaskan eratnya hubungan keilmuan dan jaringan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Haramayn. Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Kepulauan Nusantara dan Timur Tengah Abad XVII dan XVIII” menggambarkan betapa erat dan dinamisnya pola transmisi intelektual dan jaringan keilmuan yang terbangun antara wilayah Kepulauan Nusantara dan Timur Tengah, khususnya Haramayn, di kurun masa abad ke-17 dan 18 M. Pola tersebut masih terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M, masa di mana ketika Syaikh Muhammad Sa’îd al-Yamânî menghadiahkan kitab di atas kepada KH. Soleh Lateng.

Adapun kitab yang dihadiahkan oleh Syaikh Muhammad Shâlih b. Sa’îd al-Yamânî kepada KH. Soleh Lateng Banyuwangi tersebut adalah kitab “al-Asybâh wa al-Nazhâir” dalam bidang “furû’ (bagian dari ushul fikih)” karangan al-Imâm al-Suyûthî (w. 1505 M) edisi cetakan Mathba’ah al-Taraqqî al-Mâjidiyyah yang berbasis di Makkah dengan tahun cetak 1321 Hijri (1903 Masehi). Percetakan tersebut adalah milik Syaikh Mâjid al-Kurdî, yang juga merupakan adik ipar dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916).

Bogor, Mulud (Rabi’ul Awwal) 1440 H/ Desember 2018 M
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

* catatan tambahan: stempel atas nama Syaikh Muhammad Shâlih b. Sa’îd al-Yamânî (pojok kanan bawah gambar) bersumber dari selembar manuskrip ijazah yang diberikan beliau untuk Syaikh Mukhtar Abdul Ghani Komering (Palembang), koleksi alfadhil Muhammad Daud Bengkulah

No responses yet

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *