Sebagaimana umumnya para santri pecinta Ilmu Islam, sosok bertubuh kecil dan mungil itu pun begitu rajin dan antusias untuk mendengarkan dan mencatat ilmu-ilmu yang keluar dari lisan mulia Guru Agung. Saking semangatnya, ia pun sangat memperioritaskan menengguk ilmu dari A satu, yakni; dari yang paling dekat dengan Sumber Ilmu. Sehingga, Allah ta’ala pun memberinya anugerah luar biasa, sebab hal demikian.
Ia adalah ‘Imran ibn Khithaan As-Sadusiy. Konon, Ia merupakan Murid ternama dari Sayyidatina Aisyah Istri Nabi, Abdullah Ibn Abbas Sepupu Nabi, Abu Musa Al Asy’ariy sahabat karib Nabi, dan semisalnya. Allah ta’ala menganugrahinya talenta hebat; ia meriwayatkan hadis, ahli berdebat, orasinya memukau, hingga kepandaian bersastranya yang mengungguli banyak sastrawan di masanya.
Imran merupakan ulama yang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, dan berhaluan faham moderat Ahlussunnah wal Jamaah. Hingga, pada akhirnya, ia jatuh cinta kepada seorang perempuan belia yang cantik jelita. Konon, perempuan itu masih ada hubungan famili dengannya. Walaupun agak jauh. Banyak orang sekitarnya menasehati, bahwa wanita itu berpaham radikal akut, paham khawarij garis keras, yang mudah menghalalkan darah Hamba Allah. Kemudian, dengan percaya diri ia membantah; ‘saya akan menariknya kembali pada paham moderat, ahlussunnah wal jamaah.’
Kemudian, dilangsungkanlah ijab-qabul pernikahan bagi keduanya. Mereka saling menerima, kekurangan masing-masing. Dalam nuansa kasmaran, Sang Istri dengan penuh percaya diri dan bangga akan kecantikannya, berkata kepada Suaminya, Imran;
فَقَالَتْ: أَنَا وَأَنْتَ فِي الْجَنَّةِ.
Aku dan Kamu pasti akan di Surga.
قَالَ: مِنْ أَيْنَ عَلِمْتِ؟
“Darimana kamu tahu?” Tanya Imran.
قَالَتْ: لِأَنَّكَ أُعْطِيتَ مِثْلِي، فَشَكَرْتَ، وَابْتُلِيتَ بِمِثْلِكَ، فَصَبَرْتُ، وَالشَّاكِرُ وَالصَّابِرُ فِي الْجَنَّةِ.
“Karena, kamu yang cebol dan buruk rupa dianugrahi gadis cantik jelita sepertiku, lalu kamu bersyukur. Sedangkan aku diuji dengan menikahi orang sepertimu, lalu aku bersabar. Maka, orang yg bersyukur dan orang yg bersabar pasti berada di syurga”, jawabnya.
Nuansa kasmaran dan bersyukur, Imran sangat mencintai Istrinya. Sehingga, apapun ajakan istrinya, ia pun mengamininya. Tanpa ia mengecek, mengevaluasi dan membandingkan dgn ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini. Maka, dengan kecantikan dan kepintarannya Sang istri pun menarik Imran masuk ke dalam lingkungannya, lalu sedikit demi sedikit Ideologi radikalnya merasuk kuat di akal dan pemikiran Imran. Hingga, Imran pun malah lebih dahsyat keradikalannya, bahkan berbangga, lalu memamerkan dan mempromosikannya.
Misalnya, diantaranya, ia memuji dan membangga-banggakan seorang Radikalist Abdurrahman Ibn Muljam Sang Pembunuh menantu sekaligus sepupu Rasulullah Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Sebab, baginya Abdurrahman adalah sosok penghafal al-Qur’an dan ahli ibadah. Sehingga, ia meyakini bahwa tindakannya menikam pemimpinnya, Khalifah Ali, adalah hal yang benar menurut Allah ta’ala. Dengan syairnya, ia mengekspresikan keberpihakannya kepada Abdurrahman Ibnu Muljam;
يَا ضَرْبَة منْ تَقِيٍّ مَا أَرَادَ بِهَا # إِلاَّ لِيَبْلُغَ مِنْ ذِي العَرْشِ رِضْوَانَا
إِنِّي لأَذْكُرُهُ حِيْناً فَأَحْسِبُهُ # أَوْفَى البَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا
أَكْرم بِقَوْمٍ بُطُوْن الطِّيْرِ قَبْرُهُمُ # لَمْ يَخْلِطُوا دِيْنَهُم بَغْياً وَعُدْوَانَا
“Wahai orang yang menebaskan pedangnya kepada orang yang bertakwa,
Tidaklah ia melakukannya melainkan untuk meraih ridha Sang Penguasa Arsy,
Sungguh aku mengenangnya sebagai orang yang paling berat timbangan kebaikannya di sisi Allah,
Betapa mulia sebuah kaum yang perut burung-burung menjadi kuburannya,
Mereka tidak mencampur Agamanya dengan kedengkian dan permusuhan.
Sifat dan sikap radikalnya ini pun dengan bangga diekspresikan di mana-mana. Sehingga, ia harus berkonflik keras dengan banyak orang. Misalnya, ia berkonflik dengan Keluarga Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan para pecintanya, juga berkonflik dengan pemerintah Islam yang digawangi oleh Abdul Malik ibn Marwan dan juga Al Hajjaj ibn Yusuf Ast-Tsaqafi. Bahkan, ia pun pernah dipenjara. Lalu, ia dikeluarkan. Kemudian, ia berbuat masalah lagi, dan diburu lagi, dan ia pun lari lagi.
Karena sikapnya yang demikian, Imran pun terlunta-lunta dalam pelarian, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Hingga akhirnya, ia pun meninggal dalam pelarian pada tahun 84 H di daerah yang bernama Raudzsyisyan sekitar Kufah.
Tidak hanya semasa hidupnya saja yang kontroversial, bahkan sepeninggalnya pun terjadi perdebatan antar Ulama tentang sosok/persona Imran.
Misalnya saja, Al Qadhi Husaen ibn Muhammad As Syafi’i, ulama di daerah Mazarah, menolak tegas kritikan orang semacam Abu Thayyib At Thabariy dan lainnya atas sosok Imran, sebab diyakini olehnya bahwa Imran ini sahabat Nabi yg ‘haram’ untuk dilaknat dan dicela-cela.
Lalu, Imam Tajuddin As Subuki As Syafi’iy mengatakan; pendapat Al Qadhiy Husen tersebut itu terlalu berlebihan (ghuluw); bagaimana mungkin tidak mencela Si Imran, lha wong dia telah melakukan hal sedemikian buruk. Lagian, Imran itu bukan Sahabat. Ia adalah seorang tabi’iy, berakidah dan berpolapikir khawarij radikal. Banyak juga ulama yang membantahnya, seperti; Imam Bakr ibn Hammad At Tahirtiy ulama Qairawan Tunisia, Imam Abul Mudzaffar As-Syahristani dalam kitabnya At Tabshir, As-Sayyid Al Himyariy dalam Diwan Syi’irnya, dan lainnya.
Walaupun demikian, uniknya; Prihal periwayatannya Imran, Imam Al Bukhari dalam kitabnya Sahih Al Bukhari Bab Al Libas (Bab tentang Pakaian) mengambil riwayat; dari Yahya ibn Katsir dari Imran ibn Hithan dari Aisyah. Demikian juga, Imam Abu Dawud juga mengambil riwayat Imran ini.
Sedangkan Imam Ad-Daruqutni menentang Al Bukhari prihal riwayat Imran. Ad-Daruqitni menyatakan;
عمران متروك، لسوء اعتقاده وخبث مذهبه
Imran itu matruk (ditinggalkan jauh-jauh riwayatnya), karenakan Aqidahnya yang sesat dan jeleknya pola fikirnya.
Melihat fakta bahwa riwayat Imran bertengger jelas di Kitab Tersahih setelah Al-Qur’an, Sahih Al Bukhari, maka ulama generasi berikutnya ramai-ramai ‘konferensi pers’ untuk memberi klarifikasi dan penjelasan, sebagai berikut;
Imam Al Bukhari dan Imam Abu Dawud menerima hadis periwayatan Imran, dari Yahya ibn Katsir dari Imran ibn Khithan dari Aisyah, karena Yahya menerima hadis dari Imran di saat sesudah Taubatnya. Syeikh Al Mu’aafa dalam kitabnya Tarikh Al Mausul (Sejarah kota Mosul) mengatakan bhwa Imran itu bertaubat sebelum meninggal. Ini dikuatkan oleh pandangan Syiekh Ya’qub ibn Syaibah.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penerimaan riwayat Imran semacam ini layak untuk dikritisi, sebab Yahya ibn Katsir mendapatkan hadis dari Imran, di saat ia berada dalam pelarian karena Al Hajjaj memburunya untuk dibunuh.
Lain halnya dengan Al Bukhari, Imam Abu Dawud menerima periwayatan Imran, sebab semua orang tahu bhwa Abu Dawud berprinsip;
بأنّ الخوارج أصحّ أهل الأهواء حديثا
Orang-orang Khawarij lebih bisa dipegang hadisnya, daripada Para pemuja hawa nafsu (Ahlul Ahwa).
Begitu juga, Imam Al-‘Ijliy tegas menyatakan, Imran itu orang Bashrah, generasi Tabi’in dan punya kredibilitas dan kapabilitas dalam periwayatan hadist (tsiqah).
Lalu, Imam Al-‘Uqailiy membantah, dengan menyatakan; Jangan pedulikan periwayatannya si Imran, sebab dia orang khawarij. Lagian, tidak jelas juga, yg ‘konon’ ia mendengar periwayatan dari Ibunda Aisyah istri Nabi.
Demikianlah kisah Ulama yang kontroversial saat hidupnya, juga kontroversial sosoknya saat sudah meninggal. Entahlah, Ini sesuatu yang membanggakan ataukah sebaliknya. Tetapi, di sebuah website online Imran ibn Khithan ini digelari Syahid Hurriyati At Ta’bir wa ar-Ra’yi, Sang Pahlawan Kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Apakah potret Imran ibn Khithan ada di sekitar atau bahkan di pengalaman hidup anda semua??
No responses yet