Catatan Singkat untuk Ki Seno Nugroho (1972-2020)
Dulu, untuk mendakwahkan Islam, Walisongo menggunakan wayang kulit. Di masa mudanya, Kiai Ihsan Jampes (1901-1952) adalah maniak wayang kulit. Bahkan, penulis kitab “Siraj al-Thalibin”, syarah “Minhaj al-Abidin” karya Imam al-Ghazali (450-505 H) itu lebih detail hafal lakon wayang kulit daripada dalang. Jika dicermati, banyak sekali tulisan-tulisan Gur Dur (1940-2009) yang mengangkat kisah wayang kulit. Mengakar dan mendalam, menyingkap makna filosofis tokoh dan cerita pewayangan.
Di masa kecilnya, Kiai Ali Mustafa Yaqub (1952-2016), juga gemar wayang kulit dan sempat belajar mendalang. Tidak aneh jika dalam ceramahnya, penulis kitab “al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah” wasis memanjatkan shalawat dengan langgam Jawa.
Akhir tahun lalu, 27 November 2019, Habib Luthfi Pekalongan, menggelar wayang kulit dalam rangka Maulid Nabi. Lakonnya adalah “Parikesit Mandito”. Dalangnya adalah Ki Manteb Sudarsono. Dalam kata sambutannya, Habib Luthfi mengajak masyarakat untuk terus melestarikan budaya Nusantara. Banyak ajaran tasawuf dan budi pekerti yang terkandung di dalamnya.
Tadi malam, 3 November 2020, kita berduka. Ki Seno Nugroho berpulang. Sugeng tindak. Karya dan jasa njenengan senantiasa terkenang.
Semoga generasi muda dapat melanjutkan. Meramu kearifan budaya dan agama untuk memayu hayuning jiwo, memayu hayuning keluargo, memayu hayuning sesomo, memayu hayuning bawono.
No responses yet