Catatan Singkat Khataman Kitab Arba’in Karya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947)
Membaca Arba’in karya Hadlaratussyaikh adalah kenikmatan intelektual tersendiri. Meskipun, bagi saya, hal ini adalah sebuah keterlambatan. Belasan tahun nyantri, baru mendengar dan mengetahui kalau Hadlaratussyaikh juga memiliki kitab Arba’in. Lebih dahulu mengenal Arba’in karya Imam al-Nawawi (631-676 H). Kitab Arba’in yang banyak menjadi kitab wajib dalam kurikulum madrasah di pesantren. Disusul kemudian karya Syaikh Mahfudz al-Tarmasi (1868-1920), kitab Arba’in karya Syaikh Yasin Al-Fadani (1916-1990), dan karya Syaikh Abdullah al-Ghumari (1910-1993).
Masing-masing kitab Arba’in di atas memiliki kekhasan masing-masing. Hal ini berangkat dari orientasi penulis dalam mengumpulkan 40 hadis. Sebagai misal, kitab Arba’in al-Ghumariyah difokuskan untuk mengumpulkan hadis-hadis terkait syukur. Arba’in Syaikh Mahfudz al-Tarmasi ditulis untuk mengumpulkan hadis “tsulatsiyat al-Bukhari”. Hadis riwayat Imam al-Bukhari yang hanya terdiri dari tiga perawi hingga sanadnya bersambung dengan Kanjeng Nabi Muhammmad (shlawat dan salam semoga tercurahkan kepada beliau). Jika demikian, lantas bagaimana dengan Arba’in karya Hadlaratussyaikh?
Terkait hal ini, setidaknya ada dua hal yang dapat diajukan. Pertama, kitab Arba’in Hadlaratussyaikh memuat hadis-hadis yang menjadi spirit perjuangan NU. Jika menelaah satu persatu 40 hadis, kita akan merasakan, seakan beliau memberikan petuah prinsip-prinsip perjuangan dakwah NU. Terlebih prinsip yang bersandar pada satu-persatu matan hadis. Sebagai misal, hadis pertama yang disebutkan terkait agama adalah nasihat. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (204-261 H). Dari hadis ini, kita jadi mafhum bahwa NU didirikan tidak lain adalah untuk saling menasihati. Secara lebih luas, makna nasihat adalah menghendekai tambahnya kebaikan untuk orang lain.
Demikian juga hadis kedua. Hadis riwayat Imam al-Thabarani (260-360 H), dimana Nabi Muhammad menyeru bahwa janganlah agama diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dalam perjuangannya, dakwah NU harus dibingkai dengan ilmu dan amal. Agama yang diturunkan sebagai petunjuk, harus didakwahkan dengan ilmu. Dipahami, diamalkan, dan diajarkan dengan perangkat keilmuan. Jika tidak, agama yang awalnya menjadi petunjuk akan menjadi beban bagi manusia itu sendiri. Tidak lain karena agama dipahami dengan kedangkalan ilmu. Contoh mudah yang ditunjuk adalah gerakan-gerakan terorisme. Dimana teks-teks agama dipahami secara serampangan. Menjadi pengabsah untuk menumpahkan darah sesama.
Kedua, keluasan rujukan kitab hadis yang digunakan Hadlaratussyaikh. Dengan mengkhatamkan kitab Arba’in, kita dapat menyinggahi ragam kitab hadis yang dipilih Hadlaratussyaikh. Mulai dari al-kutub al-sittah hingga non-al-kutub al-sittah. Jika yang awal sudah sangat familiar, maka katagori yang kedua, bisa dibilang masih kurang banyak dikenal. Sebagai misal adalah hadis-hadis riwayat Imam Ibnu Abi al-Dunya (208-281 H), Imam al-Bazzar (292 H), Imam Abu Nu’aim (430 H), ataupun Imam al-Baghawi (433-516 H). Dengan demikian, jika dahulu, Hadlaratussyaikh telah mencontohkan keluasan mengakses kitab hadis, tentunya, jejak intelektual ini patut dirawat dan dilanjutkan generasi muda.
Lantas, tertarikkah anda?
No responses yet