Hidup kalo bisa ridho pada qodho’ itu enak, mbah. Badan sehat, hati tentrem, banyak ketawa. Misal kayak perjalanan seorang pelanggan Mawlikopi yg selama hampir 3 tahun ini buka warung STMJ. 

Dulu awal2 mbuka warung, motivasinya duit. Kalo sepi kecewa, kalo rame senang karena duitnya. Tapi karena punya motivasi target duit, bikin dia kemrungsung bergantung sama asbab. Misal dia perkirakan hari ini biasanya rame, dia kulakan barang banyak. Ternyata sepi, jauh dari bayangan. Akhirnya kecewa karena target gak terpenuhi, duit kulakan gak balik. Sempet down karena ada kecewa itu tadi, susah fokus ibadah dan hidup pun jarang ketawa.

Lama-lama dia sadar, “Rejeki ini wilayah Gusti Allah, wilayah saya gak lebih cuma mbuka warung dan mempertahankan kualitas”. Artinya, ada batas-batas wilayah tertentu yang tidak boleh dilanggar, urusan manusia cuma mengurus wilayah ikhtiyar. Urusan rejeki bukan wilayah manusia. Kalo dilanggar, pasti yang ada kecewa.

Akhirnya ya dia gak ngurus mau dapat berapa, yg penting dia mbuka warung dan fokus memperbaiki kualitas. Rejeki pun mengalir tanpa diduga dan gak cuma dari warung saja. Dengan pikiran itu, dia bisa ketawa-ketiwi menikmati hidup, beribadah dan kerja dgn fokus dan hati rasanya plong, gak ada beban. Di situ dia belajar ridho.

Di sinilah ketemu maksud Imam Ghozali tentang hubungan ridho dan asbab. Bahwa ridho itu bukan berarti tidak berdoa, bukan pula tidak bekerja, bukan menolak pemberian, bukan petantang-petenteng nunggu mati, bukan pula tidak berkontribusi cari solusi.

Bukan pula ridho, orang yang cuek dgn syariat Gusti Allah dan sunnatullah yang Dia kehendaki. Terlalu berlebihan juga tidak dinamakan ridho. Justru hal itu disebut protes pada kehendak Gusti Allah secara terang-terangan seakan menolak pertolongan dari-Nya untuk mencapai ridho-Nya. Jatuhnya mati konyol.

Tidak disebut ridho, orang yang pasrah makan rumput, padahal masih bisa mengusahakan makanan enak. Bukan pula ridho, orang yang suka makanan mahal padahal makan nasi sambel aja udah kenyang.

Singkatnya, ridho itu harus beramal dan bertindak proporsional, bukan diam saja namun tidak berlebihan.

Karena ridho hakikatnya pengabdian kita pada Gusti Allah, baik itu lewat doa yg kita haturkan maupun lewat kerja fisik yang kita amalkan. Pokok semua yg memacu diri kita untuk selalu mengerahkan potensi kita dan bikin kita mau berdzikir. Hingga akhirnya kita ketemu hati yang khusyuk, fokus dan menyadari batasan kelemahan diri. 

Hati yang ridho kalo dipahami secara benar, bikin hati kita peka, lembut dan siap memperoleh anugerah lainnya. Karena mau gak mau, dengan kita menghadapi realita, kita tahu batas, bisa mengambil hikmah dan mengagumi semua ketetapan Gusti Allah untuk kemudian bisa berpikir mencari solusi terbaik dan beradab di hadapan Gusti Allah. Artinya, ingin ridho, tidak boleh meninggalkan asbab.

Justru kalo kita meninggalkan asbab atau terlalu bergantung pada asbab, namanya lari dari kenyataan yang justru menjauhi ridho. Karena orang tidak akan tahu batasan diri, tidak akan tahu realita dan tidak akan tahu hikmah. Seperti pelanggan saya tadi kalo gak kerja mbuka warung, cuma tidur aja, ya gak dapet hikmah gini plus diusir istri.

Maka dari itu, kita harus tetap berdoa sekencang mungkin, bekerja semaksimal mungkin dan hidup sebaik mungkin, dengan batas2 yg ditentukan syariat dan tidak menyalahi akal sehat, tidak kurang dan tidak lebih. Karena bagaimanapun, hidup bukanlah tentang apa yang kita inginkan. Hidup adalah tentang menerima, bahkan menerima apa yang tidak kita inginkan. Sebagai bekal untuk terus beramal hingga mencapai ridho-Nya.

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Gusti Allah ridho pada mereka dan mereka pun ridho pada ketetapan-Nya. Itulah keberuntungan yang paling agung” (Al Maidah 119)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *