# Arsip-Arsip Sejarah Islam Nusantara yang Terlupakan

Oleh A Ginanjar Sya’ban

——————————————-
Ini adalah sampul kitab berjudul “Risâlah Silsilah al-Tharîqatain al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” karangan Syaikh Abdul Karim Banten (Syaikh ‘Abd al-Karîm al-Jâwî al-Makkî) dan Syaikh Ibrahim Brumbung (Mranggen, Demak, Jawa Tengah).

Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan diterbitkan dalam format tipografi (cetak huruf baris). Kitab yang ditemukan ini adalah edisi cetakan ke-II pada tahun 1356 Hijri (1937 Masehi) tanpa menyebutkan identitas penerbitnya. Sesuai dengan judulnya, kitab tersebut berisi silsilah (genealogi) Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) sekaligus berbagai kaifiyyat (petunjuk/ tata cara) bertarekat ordo tersebut.

Saya menemukan kitab ini di lemari perpustakaan KH. Soleh Syamsuddin Lateng (Banyuwangi, Jawa Timur, w. 1951) yang terkunci selama puluhan tahun sebelumnya. Di pesantren KH. Soleh Lateng pula pernah dihelat Muktamar NU yang ke-9 pada bulan April tahun 1934. Pada bulan September tahun 2017 silam, saya berkesempatan mengunjungi makam, masjid, dan pesantren KH. Soleh Lateng dengan ditemani oleh kawan-kawan dari Komunitas Pegon dan Aswaja Center PCNU Banyuwangi.

TQN sendiri diinisasi dan dikembangkan oleh seorang ulama sufi besar Makkah asal Nusantara, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Sambas (Syaikh Ahmad Khatîb b. ‘Abd al-Ghaffâr al-Sambasî al-Makkî, w. 1875 M) sebagai penggabungan dari dua tarekat besar, yaitu Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah. Ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat Syaikh Ahmad Khatib Sambas terhimpun dalam kitab suntingan muridnya yang berjudul “Fath al-‘Ârifîn”.

Syaikh Ahmad Khatib Sambas memiliki tiga orang khalifah utama yang meneruskan ajaran tarekatnya itu, yaitu Syaikh Abdul Karim Banten yang berkedudukan di Makkah, Syaikh Thalhah Kalisapu Cirebon (w. 1935), dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura. Dua nama ulama terakhir kemudian pulang ke Tanah Air dan menyebarkan ajaran TQN di Nusantara.

Dari jalur Syaikh Thalhah Kalisapu, kemudian melahirkan jaringan TQN di Jawa Barat. Khalifah Syaikh Thalhah Kalisapu adalah Syaikh Abdullah Mubarok (Abah Sepuh, w. 1956) dari Suryalaya, Tasik Malaya, yang kemudian diturunkan lagi kepada putranya, KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom, w. 2011). Adapun Syaikh Abdul Hadi Madura, beliau menurunkan jaringan TQN di Jawa Timur, seperti Syaikh Romli Tamim di Peterongan (Jombang, w. 1956), lalu kepada putranya KH. Musta’in Romli (w. 1984), juga kepada KH. Utsman al-Ishaqi (Surabaya, w. 1984) lalu ke putranya KH. Asrori al-Ishaqi (w. 2009).

Adapun dari jalur Syaikh Abdul Karim Banten yang meneruskan kemursyidan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah, TQN kemudian menyebar di wilayah Banten, Bogor (Jawa Barat) dan Jawa Tengah. Di Bogor, salah satu murid Syaikh Abdul Karim Banten yang paling utama adalah KH. Tubagus Falak (Pagentongan, w. 1972). Adapun di Jawa Tengah, murid utama Syaikh Abdul Karim Banten adalah Syaikh Ibrahim Brumbung (w. 1927).

Nah, kitab di atas adalah ajaran dan sanad (silsilah) TQN yang diturunkan oleh Syaikh Abdul Karim Banten kepada Syaikh Ibrahim Brumbung.

Syaikh Ibrahim Brumbung (lahir 1839 M) sendiri berasal dari Terboyo, Semarang. Beliau adalah putra dari Sayyid Muhammad/ Raden Yuda Negara atau yang dikenal dengan Sunan Terboyo. Ketika muda, Syaikh Ibrahim belajar di beberapa pesantren tua di Jawa Timur, seperti Pesantren Cempaka (Nganjuk) dan Pesantren Langitan (Tuban). Syaikh Ibrahim lalu pergi ke Makkah untuk belajar dan bermujawarah di kota suci itu. Di antara guru utama beliau di Makkah adalah Syaikh Abdul Karim Banten. Itulah mengapa di kemudian hari, Syaikh Ibrahim Brumbung memiliki kedekatan dengan KH. Tubagus Falak Pagentongan Bogor, karena keduanya adalah murid terdekat Syaikh Abdul Karim Banten semasa di Makkah.

Sepulangnya ke Nusantara, Syaikh Ibrahim kemudian menetap di Brumbung, Mranggen, Demak, dan mendirikan Pesantren al-Ibrahimiyyah sekaligus menjadi penyebar TQN. Beliau sezaman dengan Syaikh Soleh Darat Semarang (w. 1903). Dua orang putranya, yaitu KH. Ihsan dan KH. Thoyyib, meneruskan perjuangan sang ayah sekaligus menurunkan silsilah TQN. Salah satu cucu beliau yang masih hidup saat ini adalah KH. Abdul Wahhab Mahfuzi yang juga mengasuh pesantren al-Syarifah di Brumbung.

Syaikh Ibrahim Brumbung juga merunkan banyak murid yang kelak menjadi ulama besar. Di antaranya adalah KH. Asy’ari Kendal (yang juga menantu beliau) dan KH. Abdurrahman Mranggen (pendiri Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen, Demak, w. 1941), juga putranya, KH. Muslih Abdurrahman Mranggen (w. 1981), yang sekaligus menjadi khalifah Syaikh Ibrahim Brumbung. Hingga saat ini, Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen Demak terkenal sebagai salah satu pusat persebaran ajaran TQN di Jawa Tengah yang mana sanadnya mengambil dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung itu. KH. Muslih Abdurrahman Mranggen sendiri menulis kitab “al-Futuhât al-Rabbiyyah fî al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah”.

Selain mengkaji jaringan kekerabatan antar “silsilah” (genealogi keilmuan) TQN yang membentang luas itu, mengkaji jaringan karya-karya TQN yang dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan murid-murid turunannya itu tentu tak kalah menarik. Misalnya, jaringan dan kekerabatan kitab-kitab (1) “Fath al-‘Ârifîn” yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas, lalu kitab (2) “Risâlah Silsilah al-Tharîqatain al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” yang dihimpun oleh “anak murid”-nya, yaitu Syaikh Abdul Karim Banten, dan “cucu murid”-nya, yaitu “Syaikh Ibrahim Brumbung”, kemudian kitab (3) “al-Futûhât al-Rabbâniyyah li al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” yang dihimpun oleh “cicit murid”-nya, yaitu KH. Muslih Abdurrahman Mranggen.

Bandung, Juli 2018
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban