KH Hasyim Wahid atau Gus Im telah berpulang ke rahmatullah. Gus Im dikenal sebagai sosok Nahdliyin yang pernah menempati jabatan di lembaga pemerintahan dan sebagai Guru ideologi anak pergerakan dan kaum muda NU.

Gus Im lahir di Jakarta pada 30 Oktober 1953. Dia merupakan putra bungsu dari KH Wahid Hasyim. Dengan kata lain, Gus Im adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asyari.

Gus Im adalah adik dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Aisyah Hamid Baidlowi, Salahudin Wahid (Gus Solah), Umar Wahid (Gus Umar), dan Lily Chodijah Wahid. Atau kalau disusun secara berurutan yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nyai Hj. Aisyah Baidlowi, KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah), KH. Umar Wahid (Gus Umar), Nyai Hj. Lily Chadijah Wahid dan KH. Hasyim Wahid (Gus Im).

Pengurus LTN PBNU (2010-15) sekaligus Wali Santri Pondok Tebuireng, Mahrus Ali, pernah menulis di kolom detikcom, Gus Im pernah menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Dia juga pernah sebentar saja berkuliah di Fakultas Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fakultas Psikologi UI.

Di dunia politik, Gus Im pernah menjadi anggota pengurus PDI Perjuangan (1998-2000) dan pernah pula menjadi Penasihat Gerakan Pemuda PKB.

Gus Mus, menyamakan Gus Im dengan Gus Dur kakak sulungnya. Sama-sama putera Pahlawan Nasional, sang kakak putera sulung dan sang adik putera bungsu. Keduanya sama-sama memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sang kakak populer dan terbuka, sang adik tak suka menonjol dan ‘misterius’. Pertama Gus Mus kenal dengan Gus Im sang adik Gus Dur justru dikenalkan oleh sang kakak. Waktu itu setiap ketemu, terlihat sang adik selalu tampil perlente, dengan rambut kribo, berdasi, dan menenteng aktentas yang tampak mewah. Ketika Gus Mus bertanya tentang kegiatannya, sang kakak menjelaskan, seperti sambil lalu, bahwa adik bungsunya itu pengusaha dan berkantor di salah satu hotel berbintang.

Syahdan; kemudian sang adik tiba-tiba menghilang seperti ditelan bumi. Setelah beberapa tahun, muncul kembali dengan penampilan yang sangat berbeda. Ketika Gus Mus diajak sang kakak berkunjung ke rumah adik bungsunya itu, Gus Mus betul-betul tercengang. Sang adik hanya memakai kaus oblong dan sarungan sekenanya. Sikapnya kepada Gus Mus pun berbeda. Kalau dulu, seperti umumnya pengusaha, terkesan acuh tak acuh kepada orang biasa, sekarang begitu ramah dan semanak sebagaimana kakaknya. Bicaranya kelihatan seperti seorang Sufi yang arif.

Demikianlah; singkat cerita, sementara sang kakak menjadi tokoh yang menjadi pusat perhatian di mana-mana, sang adik justru seperti bersembunyi dengan kegiatan-kegiatan yang hanya diketahuu kalangan terbatas. Memang pernah muncul di hiruk-pikuknya perpolitikan nasional, namun cuma sebentar. Gus Im yang mungkin tak diketahui oleh banyak orang, tokoh ‘misterius’ yang sempat dijuluki pengamat Internasional ini, pernah menulis Antologi puisi berjudul “Bunglon” yang dahsyat dan saat peluncurannya di TIM mengejutkan kalangan seniman yang tidak menyangka bahwa tokoh ini juga menguasai bidang seni seperti kakaknya.

Kemudian keduanya juga, sama-sama suka musik klasik terutama dari dua maha karya (magna opus) Simponi Beethoven No. 9 dan Simponi Mozart No. 40 termasuk juga musik jazz dan fusion seperti judul album Friday Night in San Francisco: Live Concert. Dimainkan tiga maestro gitar yaitu Paco de Lucia, Al di Meola dan John McLaughlin”.

Paco de Lucia itu gitaris flamenco kontemporer? Tekniknya nyaris tak bercacat dan dia mampu menangkap gelora ruh musik flamenco. Aldi Meola, maestro gitar jazz. Dia mampu main dengan gemuruh jiwa musik jazz maupun dengan kebeningan suara hati. John McLaughlin, awalnya maestro gitar rock, kemudian mengembara ke dunia jazz dan musik spiritual Indian sehingga bentuk musiknya jadi lebih kaya.

Kata Gus Dur dan disetujui oleh Gus Im bahwa Musik Fusion seperti itu bisa membantu memahami praxis politik di Indonesia yang juga berupa Fusion. Bedanya, politik Indonesia adalah Fusion dari politik aliran, partai politik oposisi seolah-olah, dan macam-macam teori pembangunan yang wujud akhirnya jadi aneh dan sulit dimengerti, apalagi dinikmati.

Hari ini, setelah 11 tahun kepergian kakak sulungnya (KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) dan kemudian 2 orang kakaknya yang lain (Nyai ‘Aisyah Wahid dan KH. Salahuddin Wahid alias Gus Solah), sang adik bungsu (KH. Hasyim Wahid alias Gus Im) menyusul pulang kerahmatullah, di RS. Mayapada Jakarta pada Sabtu, 1 Agustus 2020, pukul 04.18 WIB.

Beliau adalah guru bagi para anak pergerakan atau PMII (Pergerakan Mahasiswa Indonesia) dan kaum muda NU di tahun 80-90 an. Beliau orang yang sangat mencintai negeri dan bangsanya sepenuh jiwa dan sangat memahami konstelasi politik dunia. Beliau banyak bergerak dalam dunia yang senyap, melatih dan mengasah anak anak muda NU untuk terus bergerak di tengah kepungan otoritarianisme rezim.

Sastro Al-Ngatawi pernah ceritera sering diajak Gus Im ziarah malam-malam ke makam tua keramat di hampir seluruh Nusantara sambil melakukan pelumpuhan black magic yang ditanam diberbagai wilayah oleh rezim lama agar secara supratural pemerintahan sang kakak Gus Dur, bersih-mulus tanpa ada gangguan. Faqih Merdeka mengatakan, siapapun yang bertemu beliau akan merasakan “getaran” kuat, akan mendapat kesan yang panjang dan menemukan aliran pengetahuan yang dalam, seolah-olah ada “tirai” yang dibukakan.

Sebagai sosok yang “sulit” ditemui karena daya jelajah beliau yang tinggi maka saat ada info kehadiran beliau di satu tempat akan menjadi magnet tersendiri untuk bisa tabarrukan dengan beliau. Pendek kata beliau itu, tak sekadar lintas iman, tapi juga sudah lintas alam.

Aku pernah ketemu beliau, di dalam suatu forum diskusi anak pergerakan dan kaum muda NU, tapi aku lupa tempat dan waktunya. Saat itu, seingatku mendiskusikan tentang Kapitalisme yang sangat seru, bernas, argumentatif dan kritis. Di sini kulihat begitu cerdas dan brilliannya pemikiran Gus Im memetakan Kapitalisme global dan Indonesia berada di dalam telikungannya. Aku terkesan sampai sekarang jalan keluar yang beliau tawarkan, selalu tetap kuingat dalam kenangan. Untuk memutus lingkaran setan Kapitalisme yang membelenggu, kita harus membuat tidak stabil negara adikuasa USA itu, sebagai pendukung terkuat Kapitalisme.

Dalam batin Gus Im orang yang paling membenci bangsa Amerika adalah bangsa Indian. Oleh karena itu, carilah makam tertua suku Indian di sana. Ambil sebagian dari tanah dari kuburan tua tersebut, kemudian secara magis-spiritual di mamang/atau dimanterai hingga suku Indian di sana berontak atas dendam purba dengan semangat menyala-nyala dan insya Allah konflik akan terus berkelanjutan tanpa henti. Ketika itu terjadi, maka stabilitas negara USA tengganggu dan otomatis kapitalisme yang menopangnya akan goyah. Allah Yarham Gus Im selamat berkumpul dengan Gus Dur, Nyai Aisyah, Gus Solah, KH. A Wahid Hasyim, Nyai Hj. Sholihah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri Syansuri dan lain-lain di salah satu taman surga anugerah Allah di alam barzakh.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *