Ada yg bilang bahwa menjadi saksi atas mayit itu tidak bermanfaat. Mereka, yg menganggap tidak bermanfaat berarti telah menyalahi amaliyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Paling tidak, ada yg bersaksi bahwa mayit orang baik, melakukan hal ini adalah bagian dari “i’anah alal mayyit” (menolong mayit).
Salah satu wujud menceritakan kebaikan mayit adalah memberikan kesaksian bahwa mayit tsb adalah orang yg baik. Hal demikian, sudah menjadi suatu tradisi yg melekat di kalangan mayoritas Muslim di Indonesia. Setiap terdapat orang yg meninggal, setelah melaksanakan shalat janazah, salah satu jamaah yg biasanya merupakan tokoh masyarakat setempat meminta kesaksian para hadirin dgn mengatakan, “Apakah mayit ini orang baik?”, atau pertanyaan yg sejenis. Para hadirin pun mengamini pertanyaan tsb, dgn mengatakan bahwa mayit adalah orang yg baik.
Tradisi demikian bukanlah asal-asalan, dan tidak berdasar pada dalil, sebab memang terdapat dalil yg secara jelas menegaskan atas kebenaran tradisi tsb. Salah satunya adalah hadits yg diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi) Radhiyallahu Anhu (603 M, Al Jabour, Arab Saudi- 678 M, Jannatul Baqi’ Madinah) :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَشْهَدُ لَهُ ثَلَاثَةُ أَهْلِ أَبْيَاتٍ مِنْ جِيرَانِهِ الْأَدْنَيْنَ بِخَيْرٍ إِلَّا قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ قَبِلْتُ شَهَادَةَ عِبَادِي عَلَى مَا عَلِمُوا وَغَفَرْتُ لَهُ مَا أَعْلَمُ
“Tidak ada orang muslim yg meninggal, lalu tiga orang tetangga terdekatnya menyaksikan kebaikan padanya, kecuali Allah berfirman “Sungguh Aku telah menerima persaksian hamba2ku, atas apa yg mereka tahu dan Aku telah ampuni pada mayit apa yg Aku ketahui” (HR. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, wafat 2 Agustus 855 M, Bagdad, Irak).
Isyhad atas mayit adalah bagian dari cara umat Islam menerapkan sikap husnudzdan (berprasangka baik) kepada sesamanya. Minimal ada dua orang sudah cukup sbg syahid (saksi) yg menyebut kebaikan si mayit. Seburuk apapun dia, selama hidup ia pasti pernah berbuat baik. Meski begitu, tanggungan hak adami kepada sesama, seperi utang piutang juga harus diselesaikan oleh keluarga si mayit.
Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi’i al-Asy’ari atau Imam As-Suyuthi rahimahullah (3 Oktober 1445 M – 18 Oktober 1505 M Kairo, Mesir), dalam kitab Lubbabul Hadits, dalam Bab Keutamaan Mengingat Alam Kubur, menyebutkan sebuah hadis berikut ini
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا وُضِعَ فِى الْقَبْرِ وَأُقْعِدَ وَقَالَ أهْلُهُ وَأَقْرِبَاؤُهُ وَأَحِبَّاؤُهُ وَأَبْنَاؤُهُ وَاسَيِّدَاهُ وَاشَرِيْفَاهُ وَاأمِيْرَاهُ قَالَ لَهُ الْمُلْكُ اسْمَعْ مَا يَقُوْلُوْنَ أَنْتَ كُنْتَ سَيِّدًا وَأَنْتَ شَرِيْفًا وَأَنْتَ أمِيْرًا قَالَ الْمَيِّتُ: يَا لَيْتَهُمْ لَمْ يَكُوْنُوْا فَيَضْغَطُهُ ضَغْطَةً تَخْتَلِفُ بِهَا أَضْلَاعُهُ}
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh seorang hamba yg mukmin, jika diletakkan di dalam kuburan dan didudukkan, keluarganya, kerabat2nya, orang2 yg dikasihinya, anak2nya, tuan2nya, orang2 dimuliakannya, dan pemimpin2nya membicarakan tentangnya. Malaikat berkata kepadanya, “Dengarkan apa yg mereka katakan, kamu dulu adalah seorang junjungan, kamu seorang yg mulia, dan kamu adalah seorang pemimpin.” Mayyit itu pun berkata, ‘Seandainya mereka tidak mendapatkan (seperti yg mereka bicarakan), maka ia (mayit itu) akan dihimpit dgn himpitan yg dapat memecah tulang2 rusuknya.” (HR. Imam Suyuthi rahimahullah)
Namun, hadits ini belum ditemukan sanad dan perawinya. Begitupun dalam penjelasan Imam An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah (1813 – 1897 M Mekkah), ketika mensyarah (memberi penjelasan dan penafsiran) hadis ini tidak menyebutkan riwayat dan perawinya.
Namun, terdapat hadits lain yg semakna, serta menguatkan riwayat hadits di atas. Yaitu hadits yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah (20 Juli 810 M – 1 September 870 M, Uzbekistan) di dalam kitab Shahih-nya, cukup menjadi dasar menguatkan. Riwayat sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu (612 M, Madinah – 709 M, Basra, Irak) sbg berikut :
مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَجَبَتْ» ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: «وَجَبَتْ» فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: «هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ
“Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata, orang2 lewat membawa satu jenazah, mereka memujinya dgn kebaikan. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Wajabat.” Kemudian lewat lagi orang2 membawa satu jenazah, mereka mencelanya dgn kejelekan. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Wajabat.” Sahabat Umar bin Khathab radliyallahu anhu berkata, “Apa yg wajib, ya Rasul?” Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Jenazah ini yg kalian puji dgn kebaikan wajib baginya surga. Dan orang ini yg kalian cela dgn kejelekan wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi.” (HR. Imam Bukhari rahimahullah).
Hadits shahih diatas, sangat jelas membenarkan dapat memperingan siksa kubur seseorang. Jika dalam riwayat Imam Suyuthi rahimahullah, sang mayit akan dihimpit dgn tanah, jika bukan karena persaksian baik dari para orang hidup. Maka, hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah ini, secara umum juga menyatakan hal yg sama, bahwa karena pujian baik dan kesaksian orang hidup, maka sang penghuni kubur tsb, berhak surga. Sebaliknya, jika celaan yg didapatkannya, maka baginya neraka.
Juga diriwayatkan dari Abu al-Aswad ad-Du’ali (Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu’mar bin Du’ali) radliyallahu anhu (603 – 688 M) masih dari hadits Imam Bukhari rahimahullah, dgn redaksi hadits sbg berikut:
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﻗﺎﻝ : ﻗﺪﻣﺖ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﻗﺪ ﻭﻗﻊ ﺑﻬﺎ ﻣﺮﺽ ﻓﺠﻠﺴﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺍﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻤﺮﺕ ﺑﻬﻢ ﺟﻨﺎﺯﺓ ﻓﺄﺛﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﺧﻴﺮﺍ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺟﺒﺖ ﺛﻢ ﻣﺮ ﺑﺄﺧﺮﻯ ﻓﺄﺛﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﺧﻴﺮﺍ ﻓﻘﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺟﺒﺖ . ﺛﻢ ﻣﺮ ﺑﺎﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﻓﺄﺛﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﺷﺮﺍ ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺟﺒﺖ . ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺍﻷﺳﻮﺩ ﻓﻘﻠﺖ ﻭﻣﺎ ﻭﺟﺒﺖ ﻳﺎ ﺃﻣﻴﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ؟ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ( ﺃﻳﻤﺎ ﻣﺴﻠﻢ ﺷﻬﺪ ﻟﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺑﺨﻴﺮ ﺃﺩﺧﻠﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ ) . ﻓﻘﻠﻨﺎ ﻭﺛﻼﺛﺔ ﻗﺎﻝ ( ﻭﺛﻼﺛﺔ ) . ﻓﻘﻠﻨﺎ ﻭﺍﺛﻨﺎﻥ ﻗﺎﻝ ( ﻭﺍﺛﻨﺎﻥ ) . ﺛﻢ ﻟﻢ ﻧﺴﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ
Dari Abi al-Aswad dia berkata: Aku datang ke Madinah ketika sedang terjadi wabah peyakit dan Aku duduk berdekatan dgn Umar bin Khattab radliyallahu anhu. Kemudian ada jenazah yg lewat dimana orang2 membicarakan kebaikan jenazah tersebut. Umar Radhiyallahu Anhu berkata: wajib baginya. Kemudian ada jenazah lagi yg lewat dan dipuji2 atas kebaikannya Umar Radhiyallahu Anhu pun berkata: wajib baginya. kemudian lewat jenazah yg ketiga dimana orang2 membicarakan kejelekan jenazah tsb, Umar Radhiyallahu Anhu berkata: wajib baginya. Abu al-Aswad berkata: Aku bertanya, apa yg wajib wahai amirul mukminin? Beliau menjawab: Aku berkata seperti perkataan Nabi shalallahu alaihi wasallam “muslim mana pun yg disaksikan kebaikannya, oleh empat orang maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memasukkannya ke dalam surga, kami bertanya: bagaimana kalau tiga orang, beliau menjawab: atau tiga orang, kami bertanya lagi: bagaimana kalau dua orang, beliau menjawab: atau dua orang. Kami tidak bertanya bagaimana kalau satu orang.
Yang dimaksud dgn kata “wajib” dalam hadis ini adalah sebuah ketetapan atau bagaikan sebuah keharusan terjadinya, artinya Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan surga bagi orang yg dipuji atas kebaikannya dan neraka bagi orang yg disebut2 kejelekannya, bukan wajib dgn arti sebuah keharusan karena hal tersebut mustahil bagi Allah subhanahu wa ta’ala bagi-Nya tidak ada yg wajib, semua terserah kehendak-Nya. Apabila ada orang diberi pahala itu adalah murni anugerah dari-Nya dan ketika ia disiksa itu adalah sbg bentuk keadilan-Nya.
Menurut Syaikhul Islam Al-Hafidh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kinani Al-‘Asqalani Al-Mishri Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah (18 Februari 1372 M – 2 Februari 1449, Kairo, Mesir), dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, bahwa ketika orang2 untuk memuji kebaikan orang yg meninggal, menunjukkan bahwa orang tsb termasuk ahli surga, baik pada kenyataannya perilakunya sesuai dgn pujian tsb maupun tidak. Ilham yg diberikan Allah kepada orang2 untuk memberikan kesaksian baik pada si mayit, bisa dijadikan tanda terealisasinya kehendak tsb.
Di samping itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang hendaknya menjalin hubungan yg baik dgn sesama, saat masih hidup dan jangan sampai menyakiti dan mendzalimi orang lain, sebab kesalahan terhadap manusia, tidak akan dimaafkan oleh Allah, sebelum yg bersangkutan mendapatkan maaf dari orang yg didzaliminya.
Pujian orang yg disampaikan langsung di hadapan kita saat masih hidup, tentu subyektif sebab sarat dgn muatan tendensial dan kepentingan. Pujian orang lain, yg disampaikan ketika kita sudah tiada, itulah pujian yg sebenarnya.
Untuk mendapatkan pujian yg baik setelah kematian, diantaranya ada susunan doa dari Nabi Ibrahim alaihis salam, yg termaktub dalam al-Quran, beliau memohon agar beliau menjadi buah bibir setelah beliau meninggal.
وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ
“Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian”. (QS. As-Syu’ara: 84).
Beliau mengamalkan doa ini, memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar beliau diberi taufik untuk menjadi sumber kebaikan, sumber keberkahan bagi masyarakat dan dunia, sehingga semua orang memuji beliau sbg orang yg baik, hingga hari kiamat.
Karena pujian manusia itu adalah kesaksian mereka atas perbuatan dan perilaku kita di dunia. Maka, jadilah manusia yg menebar kebaikan bagi lingkungannya, semoga pujian mereka menjadi saksi atas kebaikan2 kita.
Dasar hukum Isyhad
Menurut keterangan KH Munawir Abdul Fattah, Pengasuk Pondok Pesantren Kerapyak Yogyakarta, mengenai dasar hukum Isyhad ada beberapa dalil, diantaranya :
DALIL PERTAMA: Dalam kitab Fath al-Wahhab bi Syarhi Manhaj ath-Thullab, Juz I karya Syaikhul Islam Zainuddin Abu Yahya Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari as-Sunaki Asy-Syafi’i atau Imam Zakariya Al-Anshari rahimahullah (1420 – 1520 M di Kairo, Mesir), disebutkan bahwa sunnah hukumnya menyebut kebaikan si mayyit bila mengtahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar lebih banyak yg memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muhammad bin Hibban Al-Busti Asy-Syafi’i atau Imam Ibnu Hibban rahimahullah (884 – 965 M, Lashkar Gah, Afghanistan) dan Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi Asy-Syafi’i atau Imam Al-Hakim rahimahullah (933 – 1012 M di Naisabur, Iran) :
اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِمْ
“Sebutlah kebaikan seorang yg meninggal dunia dan hindari membuka aibnya.”
Hadits tsb, juga riwayat Imam Abu Daud rahimahullah (817 – 889 M, Basrah, Irak), dalam kitab Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 692, No. Hadits : 4900. Juga riwayat Imam Turmidzi rahimahullah (824 – 892 M, Termez, Uzbekistan), dalam Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 242, No. Hadits : 1024. Dan Imam Al-Baihaqi rahimahullah (994 – 1066 M, Naisabur, Iran).
DALIL KEDUA: Diriwayatkan dalam kitab shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Bakrah atau Nafi’ bin Al-Harits bin Kaldah Bin ‘Amr bin Ilaj bin Abi Salamah Radhiyallahu Anhu (wafat 51 H / 671 M di Basrah Iraq), Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: Maukah kalian aku beri tahu tentang dosa yg besar? (Rasulullah mengulang sampai 3 kali). Para sahabat menjawab: Bersedia, wahai Rasulullah. Nabi shalallahu alaihi wasallam lalu bersabda lagi: Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua (nabi sedang berdiri sambil bersandar, lantas duduk, dan bersabda lagi): Hindarilah kata2 keji/ bohong dan beraksi dgn kata2 itu. (Nabi mengulang2 perkataan itu sampai kamu berharab dia diam). Saya (Imam an-Nawawi rahimahullah) berkata: “hadits2 dalam bab ini banyak sekali, tetapi cukuplah apa yg sudah saya sebutkan di atas.”
DALIL KETIGA : Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda: Setiap muslim yg disaksikan sbg orang baik oleh 4 orang, Allah akan memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: Kalau disaksikan 3 orang? Nabi menjawab: Kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: Dua orang juga. Kami tak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya dipersaksikan oleh satu orang. (HR. Imam Bukhari rahimahullah)
Menurut Imam Syamsuddin Muhammad bin Abil ‘Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin ar-Ramli Al-Manufi Al-Mishri Al-Anshari Asy-Syafi’i atau Syaikh Syamsuddin ar-Ramli rahimahullah ( 919 – 1004 H / 1513 – 1595 M) yg juga diberi gelar sebutan “Asy-Syafi’i Ash-Shaghir” (Imam Syafi’i kecil) berkata:
ﻭﻓﻲ اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﻋﻦ اﻟﺒﻨﺪﻧﻴﺠﻲ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﻦ ﻟﻤﻦ ﻣﺮﺕ ﺑﻪ ﺟﻨﺎﺯﺓ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮا ﻟﻬﺎ ﻭﻳﺜﻨﻰ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻫﻼ ﻟﺬﻟﻚ
Dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ dari Imam al-Bandaniji rahimahullah (Abu ‘Ali Al-Hasan bin Abdullah bin Yahya al-Bandaniji wafat 425 H / 1033 M) bahwa dianjurkan bagi seseorang yg bertemu dgn jenazah, untuk mendoakan dan memuji dgn kebaikan, jika tergolong orang baik.
Namun sering ditanyakan: “Bagaimana jika di kampung ada yang meninggal, padahal sudah tahu semua kalau dia bukan orang baik?”. Jawabnya, bagi yg tahu jangan memberi kesaksian, cukup berdiam diri. Hal ini berdasarkan kitab syarah Imam Syibramalisi rahimahullah (Imam Ali bin ‘Ali asy-Syibramalisi Nuruddin Abu adl-Dliya al-Qahiri asy-Syafi’i, wafat pada malam Kamis tanggal 18 Syawal 1087 H / 24 Desember 1676 M di Mesir), atas catatan tsb :
(ﻗﻮﻟﻪ: ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻫﻼ ﻟﺬﻟﻚ) ﺃﻱ ﻓﺈﺫا ﻛﺎﻧﺖ ﻏﻴﺮ ﺃﻫﻞ ﻓﻬﻞ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﺑﻤﺎ ﻫﻲ ﺃﻫﻞ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻻ ﻳﺬﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﻧﻈﺮا ﺇﻟﻰ ﺃﻥ اﻟﺴﺘﺮ ﻣﻄﻠﻮﺏ، ﺃﻭ ﻳﺒﺎﺡ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﻨﻲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺷﺮا ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻣﻘﺘﻀﻰ اﻟﺤﺪﻳﺚ «ﻣﺮ ﺑﺠﻨﺎﺯﺓ ﻓﺄﺛﻨﻲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺧﻴﺮا ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺟﺒﺖ، ﻭﻣﺮ ﺑﺠﻨﺎﺯﺓ ﻓﺄﺛﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﺮا ﻓﻘﺎﻝ ﻭﺟﺒﺖ» ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻬﻬﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ؟ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ، ﻭاﻷﻗﺮﺏ اﻟﺜﺎﻧﻲ ﺃﺧﺬا ﻣﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻣﻦ ﺃﻥ اﻟﻐﺎﺳﻞ ﻟﻮ ﺭﺃﻯ ﻣﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻣﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﻜﺘﻤﻪ
Jika tidak baik bagaimana, apakah (1) menyebut sesuai keadaan mayit (2) tidak menyebut apapun karena anjuran menutupi aib mayit, atau (3) boleh menyebut keburukannya seperti hadis: “Nabi bertemu dgn jenazah lalu dipuji, Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Baginya surga”. Nabi juga berjumpa dgn jenazah lain yg dihujat, Nabi bersabda: “Baginya neraka” (HR Imam al-Bukhari) dan Nabi tidak melarangnya.
Bagaimana dengan persaksian atas ahli maksiat
Persoalan di atas telah terjawab dalam kitab Fath al-‘allam bi Syarhi Mursyid al-Anam Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani rahimahullah (wafat 1331 H / 1912 M di Yordania), yg mengutip penjelasan Syekh Abdul Karim dalam kitab Hasyiyah ‘ala Syarhi as-Sittin.
Dalam kitab tsb, dijelaskan bahwa hendaknya seseorang tidak bersaksi kebaikan pada mayit yg semasa hidupnya secara terang2an menampakkan perbuatan maksiat, atau mayit yg tidak sampai menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja ia tahu bahwa mayit meninggal dalam keadaan masih melakukan kebiasaan maksiat yg tidak ia tampakkan. Bahkan, jika menyebutkan keburukan mayit, terdapat suatu kemaslahatan tersendiri maka diperbolehkan, bagi para hadirin untuk menyebutkannya, seperti untuk memperingatkan kepada orang lain, agar tidak berperilaku seperti si mayit, dan lain sebagainya.
Lebih jelasnya, berikut penjelasan mengenai persoalan ini secara terperinci:
ما يقع كثيرا أن شخصا من الحاضرين للصلاة على الميت يستشهدهم عليه بعد السلام منها فيقولون “أهل خير”، له أصل في السنة إلا أن العوام طردوه في كل ميت ولو كان متجاهرا بالمعاصي وليس بلائق، وإنما اللائق أنه إن كان متجاهرا أو مات على ذلك أو لم يكن متجاهرا لكنهم علموا أنه مات وهو مصر، أن لا يذكروه بخير بل لو كانت المصلحة في ذكر مساويه للتحذير من بدعته وسوء طويته جاز لهم أن يذكروه بالشر كما نقله العلقمي عن شيخ شيوخه.
“Hal yg sering terjadi di masyarakat, berupa tradisi adanya seseorang dari kelompok orang2 yg menghadiri shalat mayit, meminta persaksian tentang mayit kepada para hadirin, setelah salam dgn mengatakan: “Mayit ini adalah orang baik”. Tradisi demikian terdapat dasar dalam hadits. Hanya saja orang2 awam memberlakukan hal ini pada setiap orang yg meninggal (mayit), meskipun mayit adalah orang yg menampakkan perbuatan maksiatnya, hal ini sebenarnya tidak patut dilakukan. Mestinya, yg patut dilakukan adalah, jika mayit adalah orang yg menampakkan perbuatan maksiatnya atau meninggal dalam keadaan melakukan maksiat atau ia tidak menampakkan perbuatan maksiat, hanya saja banyak orang tahu kalau ia meninggal dalam keadaan masih terus menerus melakukan maksiat, agar para hadirin tidak menyebutkan kebaikan pada mayit, bahkan jika yg maslahat adalah dgn menyebutkan keburukannya, dgn tujuan memperingatkan perbuatan dan keburukan niatnya, maka boleh bagi para hadirin menyebutkan mayit dgn keburukan, seperti halnya keterangan yg dinukil dari al-‘Alqami dari para gurunya.”
ولا يرد على ذلك أنهم كيف يمكنون من ذكر الموتى بالشر مع ما ورد في البخاري وغيره من النهي عن سب الأموات كقوله عليه الصلاة والسلام “لا تذكروا هلكاكم إلا بخير” وقوله “اذكروا محاسن موتاكم وكفوا عن مساويهم” لأن النهي عن ذلك كما قاله النووي في شرح مسلم ومثله العز بن عبد السلام إنما هو في غير الكفار والمنافقين وفي غير المتظاهرين بفسق أو بدعة. فأما هؤلاء فلا يحرم ذكرهم بالشر للتحذير من طريقتهم والاقتداء بآثارهم والتخلق بأخلاقهم، ذكر ذلك العلامة الشيخ عبد الكريم في حاشيته على شرح الستين.
“Hal di atas tidak dimusykilkan tentang bagaimana mungkin menyebutkan keburukan mayit, padahal dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan imam lainnya, menjelaskan larangan mengumpat pada orang2 yg sudah meninggal. Seperti sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam : “jangan sebut orang meninggal di sekitar kalian, kecuali dengan kebaikan” dan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam : “Sebutkanlah kebaikan orang2 meninggal di sekitar kalian dan hindarilah menyebut keburukan mereka”, sebab larangan tsb (seperti yg disampaikan Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam kitab Syarah Muslim dan Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam rahimahullah) berlaku pada selain orang2 non-Muslim, orang munafik dan pada selain orang yg menampakkan perbuatan fasik. Adapun terkait golongan di atas, maka boleh menyebutkan mereka dgn hal2 buruk (yg mereka lakukan), dgn tujuan memperingatkan keburukan perbuatan mereka, dan memperingatkan agar tidak meniru kebiasaan mereka, dan tidak berperilaku seperti perilaku mereka. Keterangan di atas dijelaskan oleh syekh ‘Abdul Karim dalam hasyiyahnya atas kitab Syarah as-Sittin” (Sayyid Muhammad ‘Abdullah al-Jirdani, kitab Fath al-‘Allam bi Syarhi Mursyid al-Anam, Juz 3, Hal. 241)
Maka, memberi persaksian kepada mayit hendaknya dilakukan secara selektif. Berilah kesaksian baik, hanya kepada mayit yg semasa hidupnya benar2 diketahui terbiasa melakukan kebaikan dan ketaatan. Sedangkan, kepada mayit yg semasa hidupnya terang2an sering melakukan maksiat, tanpa diketahui masa tobatnya, atau kepada mayit yg kita ketahui meninggal dalam keadaan masih melakukan dosa, hendaknya kita diam atau tidak ikut bersaksi baik kepada mayit tsb. Namun jika menyebutkan kesalahan2 si mayit, dipandang sbg hal yg maslahat, maka hal demikian bukanlah perbuatan yg terlarang dan tidak termasuk cakupan larangan yg terdapat dalam Hadits Nabi di atas.
Isyhad Orang Banyak (Jama’ah)
Menurut Abu Muḥammad Maḥmūd ibn Aḥmad ibn Musa Badruddin al-‘Aini Al-Hanafi Al-Maturidi atau Imam Badruddin Al-‘Aini rahimahullah (30 Juli 1361 M, Gaziantep, Turki – 28 Desember 1451 M, Kairo, Mesir), pujian yg terucap dari jama’ah adalah sebagai bukti bahwa perbuatan2 yg dilakukan mayit semasa hidupnya adalah baik, sehingga layak baginya surga. Sedangkan, penilaian jelek dari jama’ah kepada mayit itu, sbg tanda bahwa perbuatan2 yg dilakukannya selama hidup adalah jelek, maka layak baginya neraka. Karena orang mukmin adalah sbg saksi bagi mukmin yg lain seperti yg dipaparkan dalam hadits2 di atas.
Menurut Abu Hafsh Ahmad bin Nashr ad-Dawudi aal-Maliki atau Imam al-Dawudi rahimahullah (307 H / 919 M) yg dimaksud dgn jamaah adalah orang2 yg memiliki keutamaan (orang yg bertaqwa) serta kejujuran dalam bersikap, bukan orang2 yg suka maksiat (fasiq) karena bisa jadi mereka akan memuji kepada sesamanya atas perbuatan yg sebenarnya tidak baik menurut agama. Dan penilaian baik mereka terhadap sesamanya tidak dianggap sebagai kesaksian seorang muslim kepada muslim lainnya. Mereka bukanlah orang2 yg dimaksud dalam hadis di atas. Begitu juga tidak dianggap kesaksian seseorang yg terjadi permusuhun antara dia dgn mayit karena permusuhannya itu akan membawanya pada penilaian subjektif yg sesuai dgn hawa nafsunya, maka persaksiannya tidak diterima, bahkan bisa jadi ia akan menilai seorang ‘alim yg salih tapi tidak cocok dengannya sebagai orang yg tidak baik.
Ketika jama’ah menganggap mayit adalah orang yg baik, padahal kenyataannya ia adalah pelaku maksiat (mungkin ketika melakukan maksiat secara sembunyi2, sehingga tidak ada orang yg mengetahuinya), apakah kesaksian jamaah itu berpengaruh dan sbg bukti bahwa mayit ini diampuni dosanya ? Sebagian ulama mengatakan bahwa, penilaian jama’ah harus sesuai dgn kenyataan dan keluar dari orang2 baik (ahl al-Fadl) bukan penilaian kosong dari ketidaktahuaan dan bukan pula karena berpura2. Namun, ulama lain mengatakan bahwa penilaian baik dari jama’ah apabila keluar dari hati yg terdalam, bukan karena dibuat2, itu sbg pertanda bahwa mayit itu meninggal dalam keadaan baik (meskipun ketika hidup sering melakukan maksiat) dan penilaian jamaah terhadapnya adalah ilham dari Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengampuni dosanya dan dia termasuk ahli surga.
Tidak Diketahui Baik Atau Tidaknya
Adapun memberikan persaksian, kepada mayit yg masih tidak diketahui dan tidak dikenal sebagai orang yg terbiasa melakukan perbuatan maksiat, hendaknya kita tetap memberikan kesaksian baik pada mayit tsb dgn jalan husnudzan (berprasangka baik).
Anjuran Prasangka Baik
Selain itu, kita sbg yg masih hidup, sangat di anjurkan supaya berprasangka baik kepada siapapun, bahkan kepada si mayit, entah kita memang benar2 tahu perihal kenyataannya tatkala masih hidup ataupun tidak. Karena hanya Allah-lah yg tahu baik buruknya seseorang, apalagi di saat sebelum kematian menjemput, yg merupakan saat penentu keselamatan atau celakanya seseorang.
Penutup Kesimpulan
Dalam pertanyaan diatas, apakah boleh atau tidak mempersaksikan mayit dgn cara dikomandoi oleh salah seorang dari jama’ah itu hukumnya boleh (mubah) alasannya karena tidak ada larangan terhadap praktek tsb. Meski begitu bisa jadi itu adalah sbg doa dan harapan agar mayit termasuk golongan orang baik.
Jadi, hukum persyaksian (ISYHAD) tsb adalah BOLEH bahkan SUNNAH, karena ada anjuran bagi orang yg menghadiri jenazah adalah harus berprangsaka baik pada mayyit baik ia mengetahui riwayat hidupnya atau tidak, sebab secara hakikatnya tidak ada yg mengetahui antara baik dan buruknya seseorang, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Mayit, yg disaksikan baik oleh minimal dua orang maka insya Allah akan dimasukkan surga.
Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat
Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik
CHANNEL YOUTUBE SARINYALA
No responses yet