*Oleh Prof. Nadirsyah Hosen*

Sepanjang sejarah Islam dari masa Nabi Muhammad sampai sekarang, Islam mengandung nilai-nilai universal dan lokalitas sekaligus. Keduanya saling isi mengisi dan tidak bisa terpisahkan sampai akhir jaman kelak. Inilah ciri Islam dimana Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir, yaitu menebarkan nilai-nilai universal tapi juga mengadopsi nilai-nilai lokal.

Persaudaran umat Islam adalah nilai universal, namun Nabi Muhammad tetap mengakui lokalitas dengan memberi istilah kaum Muhajirin dan Anshor. Muhajirin berasal dari Mekkah yang hijrah ke Madinah, sedangkan Anshor adalah mereka yang tinggal di Madinah dan menerima serta menolong kaum Muhajirin untuk bisa nyaman dan aman tinggal di Madinah.

Apakah nilai universal persaudaraan Islam menjadi rusak karena pembagian dua kelompok Muhajirin dan Anshor ini? Tentu tidak demikian. Justru mereka dipersaudarakan dalam naungan Islam.

Rasulullah yang berasal dari suku Quraisy juga tetap memelihara jati dirinya dengan mengatakan “pemimpin itu dari suku Quraisy”. Pada saat yang sama turun ayat al-Qur’an semisal surat al-Hasyr:9 dan sekian banyak pernyataan Nabi akan keutamaan kaum Anshor.

Pointnya adalah berbeda tapi tetap bersaudara. Nilai universal persaudaraan Islam dijadikan pijakan, namun perbedaan peran masing-masing pihak tetap diakui. Indah bukan?

Rasulullah juga tidak begitu saja membuang nilai-nilai lokal. Mana yang baik dan masih bisa diiadopsi dalam ajaran Islam, akan Rasul ambil. Yang jelek dan bertentangan dengan aqidah akan Rasul tolak. Misalnya, praktik mengubur anak perempuan hidup-hidup dikecam dan dilarang dengan tegas. Namun dalam hal kewarisan, konsep ashabah yang berasal dari tradisi lokal saat itu diadopsi oleh Rasul ke dalam hukum Islam.

Bahkan untuk mengubah tradisi yang sudah sangat mengakar, yaitu minum minuman keras, Rasulullah menerapkan metode gradual alias berangsur-angsur. Jadi tidak semua hal universal diterapkan begitu saja, atau sebaliknya, tidak semua hal lokal di buang seluruhnya. Semua dipilah, dipadukan dan diukur dalam balutan Islam yang rahmatan lil alamin. Indah bukan?

Rasulullah hidup di Madinah, dan para sahabat menyaksikan kesehariaan beliau Saw. Maka tradisi atau amalan penduduk Madinah bisa dipakai untuk menelusuri ulang Sunnah Nabi. Ini karena Sunnah Nabi dianggap sudah menjadi tradisi lokal penduduk Madinah. Itulah sebabnya Imam Malik menjadikan kesepakatan amal dari penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Bahkan jikalau ada hadits ahad bertentangan dengan tradisi lokal penduduk Madinah, maka Imam Malik mendahukukan amal ahli Madinah.

Kalau beliau hidup di jaman medsos, bisa-bisa sudah dikepcer dan diviralkan seolah Imam Malik mengedepankan tradisi lokal ketimbang Hadits Nabi. Bukan itu!

Hadits ahad itu hanya satu orang yang meriwayatkan, sedangkan amal ahli Madinah —yang diasumsilan berasal dari tradisi keseharian Nabi Muhammad— dikerjakan oleh banyak orang atau oleh penduduk sekampung Madinah. Tentu Imam Malik lebih menerima amalan yang dikerjakan lebih banyak orang ketimbang narasi satu orang saja.

Sampai di sini, semakin jelas terlihat kaitan antara keuniversalan Islam dengan tradisi lokal. Indah bukan?

Contoh lain: di masa Nabi hidup penduduk Madinah masih sedikit. Jadi, kalau Bilal Radhiyallah ‘Anhu mengumandangkan suara azan memanggil shalat, suaranya terdengar oleh semua orang saat itu. Namun di masa Khalifah Utsman, penduduk Madinah semakin ramai, dan wilayah kota semakin luas, suara azan tidak lagi bisa didengar oleh semuanya.

Kalau untuk shalat biasa, tentu ada kesempatan untuk mengerjakan shalat dimana saja asalkan masih pada waktunya. Tapi untuk shalat Jum’at yang berjamaah akan sulit kalau banyak pihak yang tidak ngeh sudah mausk waktu Jum’atan. Belum ada jam tangan atau loud speaker seperti saat ini. Maka Khalifah Utsman menambah jumlah azan Jum’at agar orang di pasar bisa bersiap diri untuk ke masjid.

Di tanah air masih banyak Masjid yang azan Jum’atnya dua kali memgikuti tradisi lokal pada masa Khalifah Utsman. Padahal tradisi Nabi azan Jum’at cuma sekali. Para Kiai mengadopsi keduanya: ajaran Nabi Muhammad dan tradisi Khalifah Utsman. Keduanya tidak dipertentangkan tapi diterima dengan baik.

Bukan cuma itu. Sekali lagi karena ketiadaan loud speaker seperti sekarang, dulu para Kiai juga membolehkan untuk menabuh beduk sebelum dikumandangkan azan. Jadi, yang lokasinya berjauhan dari Masjid tidak akan mendengar suara azan, tapi dia akan mendengar suara beduk. Fungsi beduk bukan memggantikan azan, namun sebagai alat membantu umat agar tahu datangnya waktu shalat. Fungsi beduk, tak ubahnya seperti penambahan azan Jum’at oleh Khalifah Utsman.

Sebagian Masjid di tanah air masih memelihara kearifan lokal dengan memukul beduk menjelang azan. Sebagian lagi sudah menggantinya dengan loud speaker sehingga suara azan terdengar dimana-mana. Semuanya indah bukan?

Saat Islam sudah menyebar ke luar wilayah Hijaz, masalah budaya lokal ini kembali mencuat. Imam Abu Hanifah yang tinggal di Kufah tidak mungkin selalu merujuk kepada tradisi lokal Madinah. Komunikasi dan transportasi belum seperti sekarang. Maka kitab-kitab fiqh biasa menyebut berbagai perbedaan pandangan antara Ahlul Hijaz dan Ahlul Kufah. Perbedaan lokasi membuat mereka berbeda menafsirkan dan menerapkan ayat dan sunnah.

Untunglah ada Imam Syafi’i yang belajar melintasi wilayah Hijaz dan Kufah. Beliau belajar di Madinah, tapi juga belajar dan mengajar di Baghdad, lantas pindah pula ke Mesir. Beliau bersentuhan dengan berbagai tradisi lokal. Tidak heran mazhab Syafi’i mengeluarkan teori ‘urf (adat) sebagai salah satu sumber hukum Islam. Beliau pun mengubah sejumlah fatwanya di Baghdad ketika melihat perbedaan situasi lokal di Mesir.

Kitab klasik Ushul al-Fiqh dan Qawa’id Fiqh menjelaskan bagaimana peranan tradisi lokal dalam menetapkan hukum Islam. Contoh: jikalau saat ijab-qabul pernikahan tidak disebutkan jumlah mahar, maka berlakulah mahar mitsil. Mahar mistil adalah ketentuan jumlah mahar yang ditetapkan besarannya oleh pihak wanita berdasarkan adat yang berlaku di lingkungannya atau keluarganya. Adat setempat menjadi solusi yang diterima dalam hukum Islam.

Ulama Nusantara bertindak lebih jauh lagi dengan mengadopsi aturan harta gono-gini. Kalau terjadi perceraian maka harta bersama suami-istri akan dibagi. Ketentuan ini tidak terdapat dengan jelas di fiqh klasik. Tapi karena sudah menjadi tradisi lokal di Nusantara maka para ulama menerimanya dan Kompilasi Hukum Islam secara resmi mengadopsinya. Para hakim di Pengadilan Agama menerapkan ketentuan harta gono-gini ini.

Dasar dari pengadopsian nilai-nilai lokal adalah kaidah yang berasal dari Hadits Nabi riwayat Ibn Mas’ud:

ما رآه المسلمون حسنا فهوعند الله حسن

Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka baik juga di sisi Allah.

Maka para ulama menyodorkan kaidah-kaidah seperti di bawah ini:

العادة محكمة

(adat itu dapat menjadi dasar hukum)

لا ينكر تغير الأحكام بتغيرالزمان والمكان

(tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat)

المعروف عرفا كا المشروط شرطا

(sesuatu yang sudah dikenal sebagai ‘urf, ia akan berlaku sebagaimana yang telah disyaratkan oleh Nash)

الثابت بدلالة العرف كالثابت بدلالة النص

(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengaan yang ditetapkan melalui Nash)

Sampai di sini, sudah jelas bahwa Islam itu mengandung muatan lokal, selain mempertahankan nilai-nilai universal keislaman. Sekali lagi, indah bukan?

Kalau di masa Nabi Muhammad lokalitas dimaknai salah satunya dengan melestarikan tradisi kaum Muhajirin dan Anshar, mengambil tradisi Arab jahiliyah yang baik, dan dimasa para imam mazhab ada istilah ahlul hijaz dan ahlul kufah, maka setelah Islam meluas sampai ke berbagai benua, apakah nilai-nilai lokal ini masih ingin kita pelihara, atau kita hanya ingin yang universal saja?

Para ulama dan cendekiawan di berbagai negeri sudah menjawabnya.

Islam Hadhari muncul secara resmi di Malaysia tahun 2004 oleh Perdana Menteri Abdullah Badawi. Sebelumnya, European Islam atau Euro-Islam masing-masing dikemukakan oleh Prof Tariq Ramadhan dan Prof Bassam Tibi. Tariq menyampaikan istilah European Islam (Islam Eropa) lewat bukunya pada tahun 1999. Tujuh tahun sebelum Tariq, Bassam Tibi sudah mengenalkan istilah Euro-Islam di tahun 1992.

Syekh al-Albani juga berfatwa bahwa tidak cukup hanya bilang saya Muslim. Syekh al-Albani menegaskan bahwa seorang pengikut Salafi harus mengatakan saya itu islam-nya mengikuti Islam salafi, untuk membedakan dengan Islam kelompok lain. Di tanah air kawan-kawan Muhammadiyah menggunakan istilah Islam Berkemajuan. Sementara itu kawan-kawan PKS banyak yang berkecimpung dalam pendirian Sekolah Islam Terpadu.

Jadi sudah beredar luas ada Islam Hadhari, Islam Eropa, Islam Salafi, Islam Berkemajuan dan Islam Terpadu. Aqidah Islam tetap satu dan universal, namun aplikasi dan ekspresinya bisa berbeda-beda.

Indah bukan?

Kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sejak Muktamar 2015 menggunakan istilah Islam Nusantara. Bermula dari penegasan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan pendiri NU lainnya tentang Indonesia dan Nasionalisme yang berujung pada Resolusi Jihad. Kemudian penerimaan NKRI sebagai bentuk final oleh KH Ahmad Siddiq. Lantas Gus Dur menegaskan keindonesian dan keislaman dengan ide beliau akan pribumisasi Islam. KH Hasyim Muzadi, sebagai pelanjut Gus Dur, menegaskan untuk menolak Islam Transnasional untuk masuk ke tanah air. Semuanya itu menjadi pondasi bagi KH Said Aqil Siradj untuk menegaskan keberadaan Islam Nusantara pada tahun 2015.

Semuanya berasal dari sejarah perjuangan Nabi Muhammad, Imam mazhab dan kaidah yang dirumuskan para ulama klasik untuk menebarkan Islam yang rahmatan lil alamin sebagai nilai-nilai universal, dan mengadopsi kearifan lokal.

Indah bukan?

Tabik,

Sumber: http://nadirhosen.net/berita/memadukan-nilai-universal-dan-lokal-islam