Oleh : Zainul Milal Bizawie (Sejarawan, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara)
Pada suatu hari, cerita Gus Dur, ayahnya, Kiai Wahid Hasyim dihubungi oleh Laksmana Maeda dari pemerintahan Jepang. Ia ditanya, siapa yang patut diperlakukan selaku wakil bangsa Indonesia? Ia menjawab, hal itu akan diketahui setelah ia berkonsultasi dengan ayahnya di Jombang, yaitu Hadratush Syekh Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang. Dalam pembicaraan melalui telepon dengan sang ayahanda, ia mendapatkan jawaban. Bahwa orang yang pantas didukung sebagai pemimpin bangsa Indonesia adalah Soekarno. Sebagai pendiri NU dan kiai yang sangat disegani serta punya pengaruh luas, pilihan ini tentu mengandung tempat yang sangat terhormat bagi diri Bung Karno.
Cerita ini hampir mirip apa yang dikisahkan Hadidjojo Nitimiharjo dalam suatu diskusi. Pada suatu hari, ayahnya, Maruto Nitimiharjo (seorang tokoh pusar dari seluruh rangkaian gerakan muda di Indonesia dalam kurun waktu 1926-1950), pernah diberikan tugas oleh pemerintahan Jepang saat itu, untuk menyampaikan kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Melalui perjalanan darat, Maruto akhirnya menemui Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Tebuireng dan menyampaikan bahwa Pemerintahan Jepang bermaksud menunjuk Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menjadi pemimpin bangsa jika Indonesia merdeka. Lagi-lagi, beliau menolaknya dan mengatakan sosok yang pantas menjadi pemimpin bangsa adalah Soekarno.
Dalam membaca cerita ini, kita harus menyadari bahwa para pendiri bangsa tersebut bersepakat untuk merdeka dan saling menahan ambisi pribadi. Menahan ambisi pribadi atau golongan sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun saat itu, NU memiliki peluang yang sangat besar dalam memimpin bangsa untuk merdeka, namun NU justru menyerahkan kepemimpinan kepada Soekarno. Mengapa NU memiliki peluang yang sangat besar, bukankah banyak organisasi-organisasi yang lahir lebih duluan?
Dalam perjuangan melawan kolonial, para ulama tidak pernah berdiam diri sejak Pati Unus menghalau Portugis di Selat Malaka Abad ke-16. Para ulama terus berjuang meski pada abad ke 19 dan awal abad ke-20 mereka melakukan perlawanan kultural melalui penguatan keilmuan dan membangun jaringan antar ulama-santri baik di lokal maupun di Timur Tengah. Jejaring ulama-santri tersebut dapat dilacak kesinambungan sanadnya sejak lama yang di kemudian hari menjadi faktor penting ketika jaringan itu terorganisir dalam suatu wadah yang diprakarsai Hadratush Syekh Hasyim Asy’ari, suatu kebangkitan (Nahdloh) ulama. Jejaring ini menunjukkan progresifitasnya dalam pergerakan nasional sejak kedatangan KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1914 atau 1915. Sejak saat itu, atas saran Syekh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan seluruh jejaringnya baik kalangan ulama maupun aktivis pergerakan nasional.
Berdirinya NU bukanlah seperti yang disangka sebagian sejarawan karena suatu kekecewaan terhadap keputusan Kongres CCC (Central Comitte Chilafat) yang memutuskan untuk mengirimkan HOS. Cokroaminoto dan KH. Mas Mansur sebagai delegasi pada Muktamar Islam Dunia. Meskipun saat itu, atas prakarsa KH. Wahab Chasbullah dan restu KH. Hasyim Asy’ari dibentuk sebuah kepanitiaan sendiri yang nantinya akan dikirimkan ke Muktamar Islam se-Dunia yang dinamakan Komite Hejaz.
Pertemuan para ulama pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya, tidaklah hanya membahas Komite Hejaz untuk membicarakan mengenai delegasi yang akan dikirimkan ke Makkah. Pertemuan tersebut sebenarnya merupakan puncak dari proses panjang yang dilalui Syekh Hasyim Asy’ari dan para ulama untuk membentengi Aswaja, kalangan pesantren serta umat Islam. Ide pembentukan Jam’iyah telah direnungkan, digodok dan diistikharahi beberapa tahun sehingga akhirnya pada hari tersebut secara bulat dibentuk Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) atau “Kebangkitan Para Ulama”.
Tidak lama setelah pendiriannya, para kyai pengasuh pondok-pondok pesantren di Jawa Timur menyatakan bergabung dengan NU. Dalam waktu cepat NU mendapatkan dukungan dan berkembang di daerah-daerah lain. Hal ini karena Syekh Hasyim Asy’ari cukup luas jejaring koleganya sehingga cukup disegani para pelajar di Mekkah saat itu.
Ia merangkai jejaring ulama dari guru-gurunya untuk kemudian dikoneksikan dengan ulama-ulama di Nusantara. Ia berhasil membangun komunitas ulama dan menjadi salah seorang ulama berkedudukan tinggi dalam jejaring ulama Jawa (baca: Nusantara) pada masa itu, yang membuatnya tampil sebagi seorang ulama senior yang memimpin ulama lain. Oleh karena itu, ia menjadi seorang ulama besar setelah Syekh Khalil Bangkalan yang namanya dimasukkan dalam silsilah intelektual tradisi pesantren. Bahkan ia muncul sebagai ulama yang paling dita’zimkan di Indonesia awal abad ke-20 hingga memberinya gelar “Hadratus Syaikh” (Syekh yang Agung). Tidak satupun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf.
Terbentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunnah wal jama’ah bukan semata-mata karena Syekh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin berinovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlus Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Saat itu, di Mekkah terjadi peristiwa besar yang mengancam eksistensi ahlus sunnah wal jamaah, terkait menurunnya kekuasaan Turki dan berkuasanya rezim yang tidak membuka ruang bagi berkembangnya madzhab-madzhab di tanah suci. Menjelang berdirinya NU beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram. Para ulama menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Setelah melakukan istiharah, para ulama-ulama Haramayn mengirim pesan kepada Syekh Hasyim Asy’ari untuk segera menemui dua ulama di Indonesia, dan jika dua orang tersebut menyetujui maka segera diteruskan. Seperti dituturkan Habib Luthfi Pekalongan, dua ulama tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, dan Syaikhona kholil Bangkalan. Syekh Hasyim Asy’ari dengan didampingi Kiai Yasin, Kiai Sanusi dan KHR. Asnawi Kudus, dengan diantar Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu Syekh Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kiai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlus Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis”. Selanjutnya ketika sowan ke tempatnya Syekh Kholil Bangkalan, ia memperoleh wasiat untuk segera melaksanakan niatnya dan diridloi seperti ridlonya Habib Hasyim. Tapi Syekh Kholil juga berpesan, “saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Syekh Hasyim Asy’ari tertegun karena kedua ulama tersebut tidak mau ditulis semua. Namun, akhirnya Syekh Kholil membolehkan ditulis tetapi meminta sedikit saja.
Meskipun demikian, Syekh Hasyim Asy’ari dalam perjalanannya sangat berhati-hati dan kadang muncul keraguan. Seperti diceritakan Kiai As’ad Samsyul Arifin Situbondo, pada tahun 1924, ia dipanggil Syekh Kholil untuk menghadap. “As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari,“ pesan Kiai Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha,” pesan Kiai Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu”.
Setibanya di Tebuireng, As’ad menyampaikan, “Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As’ad, “Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil?” As’ad lalu membaca hafalannya itu yang artinya “Apakah itu yang ditanganmu, hai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang sangat besar”.
Syekh Hasyim menangkap isyarat bahwa gurunya memantapkan hatinya untuk segera merestui jam’iyah yang telah dipersiapkan oleh Kiai Wahab Hasbullah dan ulama-ulama lainnya. Langkah demi langkah dilakukan dengan sangat hati-hati karena tidak ingin terjebak dalam nafsu kekuasaan belaka, namun belum juga terwujud.
Setahun kemudian Syekh Kholil mengutus As’ad sowan lagi ke Tebuireng untuk menyerahkan tasbih dengan diikuti bacaan salah satu Asma’ul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak tiga kali. Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Sebelum dilangsungkan musyawarah dan wafatnya Syekh Kholil, sebenarnya Syekh Hasyim Asy’ari bersama beberapa kiai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Syekh Kholil akan diresmikannya NU. Namun saat itu kesehatan Syekh Kholil tidak bisa menemui meski sudah tahu akan kedatangan rombongan Syekh Hasyim Asy’ari. Syekh Kholil hanya menitip pesan melalui Kiai Muhammad Thoha (menantunya, Pesantren Jangkibuan) jika telah memberi restu atas peresmian NU.
Meskipun isyarat dari Syekh Kholil Bangkalan telah jelas dengan kisah Nabi Musa dan tongkatnya yang memiliki kemampuan besar, namun keraguan masih menghantui. Keraguan Syekh Hasyim Asy’ari tersebut tidaklah karena beliau tidak memiliki keberanian ataupun kemampuan, melainkan lebih pada kehati-hatiannya dalam menahan ambisi pribadi atau golongan dalam konteks kekuasaan. Karenanya, ketika kesempatan terbuka lebar dan Pemerintah Jepang menawarkan sebagai pemimpin bangsa, beliau menolaknya.
Bahkan jalan panjang NU mengawal negeri pun penuh lika-liku mempertahankan tegaknya NKRI, namun dengan kebesaran hati, NU selalu menjadi garda depan menjaga bangsa ini. Menjelang satu abad ini, seperti saat kelahirannya dulu, terpaan begitu kencang menghantam NU, semoga spirit Ya Jabbar Ya Qohhar makin mengokohkannya.[]
Comments are closed