Tangerang Selatan, jaringansantri.com – Kajian Islam Nusantara Center (INC) Sabtu 24 Maret, mengangkat tema “Qaidah Bagdadiyah: Metode Baca Qur’an Tertua di Nusantara” dengan pembicara Abdul Rosyid Masykur, MA. Ia telah melakukan penelitian di berbagai tempat untuk mengetahui perkembangan metode membaca Al-Qur’an di Indonesia.

Abdul Rasyid mengatakan “Ilmu membaca Al-Qur’an yang telah diajarkan oleh guru-guru kita, hampir semuanya berasal dari produk Bagdad.”

Selain itu, lanjut Rasyid, Qaidah Bagdadiyah atau Metode Bagdadi yang diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Jamiatul Qurra’ Wal Huffazh (PPJQHNU) merupakan salah satu induk dari berbagai metode bacaan Al-Qur’an yang ada di Indonesia.

Sehingga Metode Bagdadi menjadi metode tertua, tidak hanya di Nusantara, tetapi juga tertua se-dunia, karena hampir semua negara berpenduduk muslim di dunia menggunakan kaidah ini. Seperti India, Pakistan, Afrika, dan Malaysia, jelas Masykur sebagai pembina sekaligus pengasuh RTQ (Rumah Tahsin dan Tadabbur Al-Qur’an Bogor).

Masyarakat Indonesia dahulu mengenal belajar Al-Qur’an dengan istilah “Turutan”, kemudian ada yang menamakan istilah “juz ‘amma”, seperti di daerah Jawa. Ada juga yang mengenal dengan nama “Alif-Alifan” seperti di daerah Malaysia, Sumatera dan Lombok.

Menurutnya, keistimewaan metode yang sudah dikenal masyarakat dengan metode “turutan” ini tidak memiliki istilah wisuda. “akan tetapi dalam metode ini diajarkan untuk belajar membaca Al-Qur’an sampe tuntas dan disarankan untuk tidak berhenti mempelajarinya,” terang alumni PTIQ ini.

Rasyid memberikan beberapa contoh video pembelajaran Al-Qur’an yang ada di Nusantara dan Dunia kepada audien. Ia mengatakan “fokus pada metode Bagdad bukan pada maknanya, melainkan kepada bunyi dari setiap huruf Al-Qur’an, dengan mengetahui titik makhraj pelafalannya secara tepat, maka secara otomatis makna dari setiap huruf Al-Qur’an pun akan benar.”

Ia juga menjelaskan mengenai prinsip pengembangan Metode Bagdadi tidak lepas dengan landasan ushul fiqh yang sudah diajarkan oleh kiai-kiai terdahulu yaitu “al-Muhâfadatu ‘alqad mi al-sh wal akhdu bi al- jad di al- ashlh”. “Menjaga tradisi baca Al-Qur’an yang dahulu dan mengaplikasikannya di zaman sekarang tanpa meninggalkan tradisi terdahulu supaya bisa diterima oleh masyarakat luas,” tandasnya.

Menurut Masykur, Inti dari metode Bagdadi ini mengamalkan dalil Surah Muzammil ayat 4 “warattilil qur’na tart l”. Bacalah Al-Qur’an dengan cara tartil (perlahan-lahan). Ia menjelaskan arti tartil tidak hanya satu makna melainkan mempunyai banyak makna.

Tidak hanya itu, Masykur mengutip pendapat Sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwa tafsir dari tartil adalah tajwdul huruf wa ma’r fatul huruf, yaitu membaguskan bacaan setiap huruf Al-Qur’an dan mengetahui setiap hal ihwal huruf. Maksudnya membaca al-Qur’an dengan perlahan-lahan dengan bacaan fasih serta merasakan arti dan maksud dari ayat yang dibaca, sehingga berkesan di hati.

Ia menjelaskan dengan detail pengenalan tahapan dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an. Menurutnya, dalam mempraktekkan pun harus dengan memberikan tahapan yang runtut, pertama mengenalkan sifat dan makhraj, kemudian sifat lazimah (sifat huruf yang memiliki lawan: seperti sifat huruf  hams, jahr syiddah, rakhawah) dan sifat ‘aridhahnya (sifat huruf yang tidak memiliki lawan: seperti sifat huruf shafir, inhiraf, qalqalah).

“Kemudian setelah mengetahui tentang sifat dan makharijul huruf baru diperkenalkan tentang hukum tajwid dari awal sampai akhir, sehingga seseorang mampu mengetahui kualitas bacaan Al-Qur’annya sendiri dengan baik dan mampu mengaplikasikannya sesuai dengan kaidah yang sudah diberikan,” terang santri alumni Lirboyo ini.

Sementara Zainul Milal Bizawie berharap dalam pengenalan Metode Bagdadi ini, mampu memberikan kontribusi bagi pembelajaran Al-Qur’an generasi milenial yang tepat dengan titik tekan pada makharijul huruf, juga bisa sebagai pengembang metode TPQ/ TPA di seluruh Indonesia. (Fithroh Muzayyanah).