Jaringansantri.com- Budaya literasi santri tidak bisa terlepas dengan aksara Jawi-Pegon. Aksara ini sangatlah unik, karena merupakan hasil dari akulturasi budaya arab dan nusantara. Jawi-Pegon sendiri banyak digunakan oleh ulama Nusantara dalam menyusun kitab-kitab keagamaan seperti Abd al-Rauf Singkel (w. 1693), dengan karya Tafsir Turjuman al-Mustafid, Abd al-Samad al-Falimbani (w. 1789) dengan karya Sayr al-Salikin, Arsyad al-Banjari (w. 1812) dengan karya Sabil al-Muhtadin. KH.Sholeh Darat (w. 1903) dengan karya Syarh al-Hikam, Majmu’at al-Syariah li al-Awam dan lainnya.
Selain itu, Jawi-Pegon juga menjadi media pembelajaran di beberapa pesantren, khususnya pesantren salaf. Jadi, aksara Jawi-Pegon sudah tidak asing lagi di telinga para santri Indonesia. Namun, siapa sangka masih banyak santri yang tidak menyadari beberapa hal yang berkaitan Jawi-Pegon. Berikut ulasannya;
- Salah Pemahaman, Jawi-Pegon Bukan Hanya Berbahasa Jawa
Santri-santri yang berada di Jawa masih sering salah pemahaman, mereka menganggap Jawi-Pegon itu menisbatkan pulau Jawa. Padahal, penyebutan Jawi itu memiliki maksud seluruh kepulauan Nusantara. Beberapa cendekiawan muslim mengategorikan bahwa aksara Jawi merupakan aksara yang menggunakan huruf Arab namun loghatnya Melayu. Sedangkan aksara yang menggunakan huruf arab namun loghatnya Jawa disebut Arab pegon.
- Penulisan Jawi-Pegon Tanpa Ada Aturan Baku
Dalam tradisi penulisan Jawi-Pegon sering ditemukan perbedaan-perbedaan. Ada yang menggunakan harakat sebagai alat bantu huruf vokal, ada juga yang menggunakan huruf wawu, ya’ dan alif sebagai alat bantu huruf vokal. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan baku dalam penulisan Jawi-Pegon.
3. Abjad Pegon Merujuk Pada Abjad Pallawa Hanacaraka
Ternyata, abjad yang digunakan dalam aksara pegon hanya berjumlah 20, tidak seperti hijaiyah yang mencapai 28. Oleh karena itu urutannya pun mirip dengan bahasa Jawa dari pada bahasa Arab. Terdapat tujuh dari dua puluh abjad Pegon yang tidak dikenali dalam aksara Arab yaitu ca, pa, dha, nya, ga, tha dan nga. Namun, dalam naskah Jawi yang berbahasa Melayu hanya ada lima yang tidak dikenali dalam aksara Arab, yaitu ca, pa, nya, ga dan nga.
4. Maknani, Trik Cepat Memahami Bahasa Arab
Santri-santri sudah tidak asing lagi dengan istilah maknani. Maknani atau yang juga disebut ngabsahi merupakan tradisi memberikan makna kata perkata ke dalam bahasa lokal. Selain itu, tradisi yang full menggunakan aksara Jawi-Pegon ini mampu mempercepat pemahaman Bahasa arab karena memiliki kode gramatikal dan morfologi ‘’Nahwu-Sharaf’’ bahasa Arab. Dalam maknani, ada kode م yang berkedudukan sebagai mubtada’ , ada kode خ yang berkedudukan khabar. Selain kode I’rab, dikenal juga kode rujuk, yang mempermudah keterangan dhomir sebelumnya. Ternyata kode-kode tersebut mempermudah pemahaman santri terhadap bahasa Arab.
- Kitab Kuning ‘Gundulan’ dan ‘Jenggotan’
Santri pasti sering melihat kitab kuning yang hanya menyajikan huruf-huruf saja tanpa ada harakat apalagi makna, mereka menyebutnya kitab gundul. Sedangkan ada lagi kitab kuning yang menggunakan makna pegon, santri biasa menyebut kitab jenggotan atau kitab petuk/ Kwagean. Penyebutan kitab petuk/Kwagean ternyata merujuk pada dua pesantren yang produktif di Kediri. Namanya pesntren Hidayatut Thullab yang berada di Dusun Petuk, Semen Kediri dan Pesantren Fathul Ulum di Dusun Kwagean Pare Kediri. Pesantren ini memproduksi kitab-kitab yang disetai makna gandul yang tentu mempermudah santri untuk belajar. Berbagai pesantren di Indonesia banyak yang menggunakan kitab-kitab terbitan dua pesantren tersebut.
Itulah hal-hal yang sering tidak disadari oleh santri terkait Arab Jawi-Pegon, sebagai kearifan Islam Nusantara. Terakhir, marilah kita merawat tradisi ini dan memperbanyak belajar kitab ulama-ulama Nusantara, baik yang berbahasa Arab ataupun Jawi-Pegon. (Zainal Abidin).
Comments are closed