Tulisan – tulisan tentang pemikiran politik biasa muncul dari para pemikir dan filsuf tentang politik. Pemikiran politik juga bisa muncul dari para pelaku politik yang aktif memperjuangkan gagasan – gagasan politik tertentu. Bisa juga dari dua – duanya, pemikir sekaligus pelaku perjuangan.

 Buku yang ditulis mantan Wakil Sekretaris Pengurus Pusat  Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlataul Ulama (PP LPPNU)  ini, merupakan ringkasan jejak pemikiran, gerakan, dan kepemimpinan selama mengikuti Abdul Muhaimin Iskandar (AMI) dibidang Agama, Demokrasi dan Politik (Adempol). Penulis mengajak Adempol ini sebagai trilogi kebangkitan bangsa yang didambakan Indonesia.

Buku karya Sekretaris Pemgurus Pusat Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PP LPTNU) ini memuat tujuh (7) bab yang sangat varian, yaitu BAB I Muda di Kawah Pergerakan dan Pergulatan Politik (hal. 5).

 Abdul Muhaimin Iskandar dilahirkan pada Sabtu, 24 September 1966 atau setahun setelah peristiwa politik yang berdarah itu G.30 S/PKI atau Gestapu. Sejak kecil hidup dalam tradisi pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur bersama lima (5) saudara lainnya yaitu; Muniroh Iskandar, Abdul Halim Iskandar, Hasbiyah Iskandar, Abdul Alam Iskandar, dan Istikomah Iskandar.

 Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jombang Jawa Timur, Abdul Muhaimin Iskandar melanjutkan pendidikannya di MAN Yogyakarta, lulus 1985. Kemudian melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) dan Fisipol UGM tahun 1985 – 1992. Kemudian melanjutkan studi Program Pascasarjana Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia tahun 1996 – 1998 (hal. 11).

 Mulai di Kota Budaya Yogyakarta-lah Abdul Muhaimin Iskandar bergulat dengan dunia aktvisme gerakan mahasiswa, dengan masuk di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk memperluas jaringan, memberikan bekal kemampuan berorganisasi dan kepemimpinan.

 Beberapa jabatan yang pernah disandangnya di organisasi mahasiswa antara lain; Ketua Korps Mahasiswa Jurusan Ilmu Sosial Fisip UGM tahun 1989, anggota badan perwakilan mahasiswa  Fisip UGM tahun 1990, Ketua Cabang PMII Yogyakarta tahun 1990 – 1991, Wakil Ketua KNPI Yogyakarta tahun 1995-1997, dan Ketua Umum PB PMII tahun 1994 – 1997. (hal. 12).  

 BAB II berisi tentang Mewujudkan Cita – cita dan Perjuangan Politik PKB. (hal. 41).

Keterikatan Partai Kebangkitan Bangsa pada Nahdlatul Ulama bisa jadi mungkin melebihi keterikatan batin kita pada tanah kelahiran. Sebagai partai politik yang lahir secara legal dari rahim Nahdlatul Ulama berikut dibidani langsung kelahirannya oleh para Kiai Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Bangsa tentu memiliki hubungan darah dimana garis sanad dan nasab-nya akan terus melekat sampai kapanpun.

 Menurut Menteri Tenaga Kerja era Presiden SBY ini, keberadaan partai politik tidak hanya mencerminkan sebuah negara demokratis, tetapi juga merupakan refleksi dari masyarakat yang majemuk, baik dari segi identitas, nilai – nilai yang dianut, maupun kepentingan – kepentingan yang bersifat praktis.

Oleh karena itu, hemat saya, apapun ideologi yang diusung partai politik harus menjadi miniatur masyarakat multikultural dengan menjadikan dirinya sebagai partai yang terbuka bagi semua golongan masyarakat. Begitu pula dengan orientasi perjuangan dan cita – cita politiknya, kata Cak Imin (hal. 73).

 BAB III memuat gagasan tentang Demokrasi : Gagasan dan Praksis Cak Imin. (hal. 79).

Dalam catatan Cak Imin, era transisi demokrasi yang kita masuki sejak 1998, menyusul tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru (Orba) yang telah berkuasa sejak 30 tahun lebih itu, belum menunjukkan tanda – tanda akan berakhir. Mengapa situasi transisional ini berlangsung begitu lama? kapan ia akan berakhir, dan bagaimana mengakhirinya? Apa gerangan yang membuat demokrasi kita tidak kunjung terkonsolidasi? Apakah kita tidak cukup punya modal sosial untuk membangun demokrasi? Konon membangun demokrasi perlu kesabaran ? Tetapi seberapa banyak cadangan kesabaran yang kita miliki itu ? jangan – jangan sudah menipis atau malah sudah habis.

 Cak Imin menilai bahwa proses demokratisasi Indonesia yang telah berjalan selama hampir dua dasawarsa ini tampaknya perlu ditata kembali. Bahkan, kata dia, cara pandang kita terhadap demokrasi perlu dirumuskan ulang agar lebih sesuai dengan kenyataan dan kepentingan masyarakat yang sesungguhnya (hal. 108).

BAB IV menjelaskan tentang Percikan Pemikiran Politik Cak Imin. (hal. 117).

Dalam konteks persaingan globalisasi saat ini, menurut Cak Imin, modal terpenting untuk terus terlibat dalam kontestasi global adalah daya saing. Ditengah persaingan ekonomi global yang semakin liberal dan kompetitif, daya saing suatu negara merupakan kunci untuk dapat terus terlibat dalam kontestasi global.

 Negara yang tidak berdaya saing niscaya akan terlempar dari sejarah dan hanya akan menjadi penonton dalam kompetesi global. Negara dengan daya saing yang rendah, tidak hanya akan mengalami defisit neraca perdagangan baik barang maupun jasa, namun struktur perekonomiannya juga terancam mengalami kehancuran (hal. 156). 

 BAB V menjabarkan Pandangan dan Spirit Keagamaan Cak Imin. (hal. 169).

Cak Imin memandang Islam bukan sebagai ajaran yang eksklusif  bagi kaum muslim sendiri, tetapi sebagai rahmat bagi seluruh kehidupan di alam semesta. Dia memaknai Islam rahmatan lilalamin sebagai sebuah konsep dimana kehadiran Islam ditengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia dan alam. Islam hadiri untuk memberi jalan terang bagi kemaslahatan umat manusia, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras dan golongan.

 Upaya mensosialisasikan Islam rahmatan lilalamin dilakukan oleh Cak Imin bahkan hingga ke mancanegara. Rupanya ia berpegang pada Filsuf Perancis Abad Pencerahan yaitu Voltaire (1694 – 1778) yang mengatakan bahwa ketika berbuat kebaikan secara pribadi maka dampaknya harus beberapa meter dari rumah kita. Tetapi ketika kebaikan itu dilakukan dalam sebuah kebijakan maka dampaknya bisa ribuan kilometer, hingga mencakup satu wilayah. Karena itu pilihan mendiseminasikan gagasan Islam rahmatan lilalamin adalah pilihan perjuangan politik yang dilakukan dengan segala resiko dan konsekuensi yang kami terima dalam menahkodai partai politik (hal. 175).

 Bagi Cak Imin, politik akan penuh makna dan memiliki kekuatan apabila terus mengakar dengan budaya dan tradisi yang kokoh.

 BAB VI menguraikan tentang Pandangan dan Kepemimpinan Cak Imin (hal. 203).

Dalam pandangan Cak Imin, salah satu kunci kemajuan Indonesia adalah kepemimpinan yang kuat dan penuh keteladanan. Yang lainnya adalah nilai – nilai, moral, ideologi yang bisa menjadi arah dan penjelasan atas persoalan dan realitas, serta adanya kelompok yang tulus, loyal, dan militan yang menopang kepemimpinan yang kuat tersebut.

 Dalam hal kepemimpinan harus mempunyai integritas, maka secara umum seorang pemimpin itu harus memiliki ciri – ciri, yaitu; memiliki kemampuan (ability), memiliki kapasitas (capacity), pengetahuan atau wawasan (knowledge), kemampuan menggalang solidaritas (solidarity maker), kemampuan memecahkan masalah (decision maker), harus memiliki integritas (integrity) dan bijaksana (wisdom) (hal. 212).

 Pemimpin besar adalah mereka yang pengetahuannya bisa melahirkan kebijaksanaan (wisdom), konsistensi (istiqomah) dalam perjuangan dan keikhlasan dalam mengabdi kepada masyarakat.

BAB VII memaparkan tentang Aktivis – Pemikir Kemanusiaan dan Keberagaman (hal. 239).

Cak Imin tetap konsisten melakukan advokasi terhadap berbagai persoalan kebangsaan bahkan hingga dunia internasioanl. Selain penguatan tradisi Aswaja menjadi agenda skala Nasional mulai dari gerakan Nusantara Mengaji sampai Majelis Silaturahim Ulama Rakyat (MASURA).

 Ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar, Cak Imin secara khusus menyurati pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang juga penasehat negara Myanmar. Cak Imin meminta agar Aung San Suu Kyi tidak berdiam diri ketika ribuan warga Rohignya terusir dari wilayah mereka di Rakhine (hal. 242).

 Beberapa tokoh bangsa ini memberikan testimoni akan keberadaan buku ini, bagi Ketua Umum Jaringan Pengusaha Nasional, Bayu Priawan Djokosoetono, Pak Muhaimin Iskandar adalah sosok politisi berpengalaman, energik, terbuka, dan selalu riang gembira. Saya suka joke-joke-nya. Bikin suasana terus segar. Di tangan tokoh – tokoh seperti Pak Muhaimin saya optimis Indonesia makin jaya kedepan.

 Lain halnya menurut Guru Besar Ilmu Politik UNAIR Surabaya, Prof. Kacung Marijan,  Cak Imin memang bukan Gus Dur. Tetapi cara pandang Gus Dur, sedikit banyak mempengaruhi bagaimana dia mereproduksi gagasan – gagasan yang ada dikalangan ulama dikaitkan dengan konteks yang berkembang.

 Lain halnya, guru besar sekaligus peneliti utama Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli, dalam epilognya menyampaikan, biografi dan pemikiran Cak Imin tentang agama demokrasi dan politik yang disajikan buku ini boleh dikatakan belum sampai sepenuhnya mengungkap siapa dan bagaimana perjalanan politik Cak Imin. Begitu juga dengan pemikiran – pemikirannya. Namun, sebagai langkah awal untuk mengenal kiprah Cak Imin dipentas politik, serta pemikirannya mengenai agama, demokrasi dan politik boleh diacungi jempol. Begitu pula untuk judul buku ini yang hemat saya cukup unik; Adempol.

 Buku ini meramu tiga spektrum agama, demokrasi dan politik dalam satu nafas pemikiran dan pergerakan, sekaligus menarik bagi para peneliti politik, pengamat sosiologi, maupun yang berminat dalam kajian komunikasi politik.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *