Manusia tidak pernah berhenti memimpikan keabadian. Manusia sejak awal kemunculannya hingga saat ini, selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan metafisis yang mendasar. Lalu berusaha menggali jawabannya pada beragam tradisi, mulai dari Filsafat, Agama hingga Sains. Keberadaan manusia selalu dibayangi oleh pertanyaan metafisis. Selama wujud manusia ada, pertanyaan metafisis selalu ada menyertainya. Dengan begitu, Filsafat, Agama dan Sains akan selalu ada.
Yang dimaksud dengan pertanyaan metafisis disini adalah pertanyaan terhadap Yang Mutlak, atau pertanyaan ontologis tentang hakikat sesuatu dibalik kehidupan, dibalik alam raya, pertanyaan atas yang ghaib, pertanyaan yang bersifat abstrak. Misalnya pertanyaan “Apakah Tuhan betul ada?”, “Kalau betul ada, bagaimana memahami Tuhan?”, “Bolehkah manusia memikirkan Tuhannya?”, sekedar contoh dan daftar pertanyaan serupa bisa diperbanyak.
Agama dan Filsafat selalu berusaha menawarkan jawaban ampuh untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tadi. Bersamaan dengan itu, keduanya selalu tidak mampu memberikan jawaban yang diterima oleh seluruh akal manusia lintas generasi dan zaman. Banyak orang mungkin akan menyangkal, bahwa daya nalar manusia memang tidak pernah sepenuhnya diciptakan secara sama, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda. Tetapi ini tidak menafikan fakta bahwa manusia melalui kedua tradisi diatas tidak pernah bisa menemukan jawaban yang memuaskan nalarnya sepanjang waktu.
Yang menarik. Jika Filsafat mengakui ketidakberdayaannya memberikan jawaban abadi atas pertanyaan-pertanyaan metafisis. Sehingga wacana-wacana tentangnya tidak pernah berhenti diproduksi dari masa ke masa. Agama justru menganggap bahwa setiap pertanyaan metafisis besar telah dijawab. Dalam Agama Islam, persoalan semacam ini secara mendalam dibicarakan dalam Ilmu yang disebut Ilmu Kalam. Yang akan kita uraikan berikut tentu saja adalah soal Agama (Islam) dan jawabannya atas pertanyaan mendasar metafisis secara filosofis.
Sejumlah pertanyaan besar metafisis didiskusikan sejak masa Islam awal dan lalu dianggap telah selesai. Dengan begitu, setiap jawaban atas pertanyaan metafisis harus dikembalikan pada pemikiran-pemikiran terdahulu. Tetapi benarkah Islam terutama, betul-betul telah menyampaikan jawaban abadi atas pertanyaan-pertanyaan metafisis mendasar dan telah tuntas? Dengan begitu, Benarkah Islam memakai nalar berpikir yang belum/tidak berubah untuk memahami persoalan metafisis?
Pemahaman manusia itu nisbi, dan pemahaman manusia terhadap Yang Mutlak juga nisbi. Dengan kata lain, pemahaman manusia itu terbatas oleh banyak hal; tabiatnya, budayanya, pola pikirnya, zamannya, tempatnya, cakrawalanya dan seterusnya. Pemahaman manusia yang terbatas terhadap Yang Tak Terbatas pun, juga terbatas.
Tuhan itu Mutlak, pemahaman manusia terhadap Tuhan itu nisbi. Tuhan itu Tak Terbatas, pemahaman manusia terhadap Tuhan itu terbatas. Gap diantara kedua hal ini meniscayakan pemahaman manusia akan Tuhan yang beragam.
Ibn ‘Arabi, seorang filsuf terbesar Islam pernah berkata, “falwushul ilal hairah fil haq hiya ainul wushul ilaLlah”. Al-Hairah yang ia maksud disini bukanlah sebatas keragu-raguan yang membingungkan. Akan tetapi keragaman jalan. Pemahaman manusia akan Tuhan dengan begitu, tidak pernah mungkin ‘satu suara’, pemahaman itu seberagam (isi) kepala manusia itu sendiri.
Sebagaimana dalam tradisi Agama –terutama Islam diyakini, Tuhan menciptakan manusia berdasarkan ‘bentukNya’, Ia juga yang meniupkan ‘ruhNya’ pada manusia, dan memberikan kemungkinan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan wujud, dengan cara berusaha untuk sampai padaNya. Manusia juga selalu berusaha menangkap ‘gambaran Tuhan’ dalam pikirannya dengan cara menjawab sejumlah pertanyaan metafisis yang tadi disebutkan. Akan tetapi, kemampuan manusia menangkap ‘gambaran Tuhan’ terbatas dan tidak pernah sempurna.
Karena sifat dasar ketidaksempurnaan dan keterbatasan manusia ini, ia tidak akan pernah sampai pada kesimpulan akhir ketika memahami metafisika, tentu saja yang dimaksud disini adalah metafisika ketuhanan, bukan yang lain. Orang beragama mungkin dapat saling sepakat untuk meyakini doktrin-doktrin tertentu ketuhanan, yang berasal dari Nabi sebagai Utusan. Tetapi ini tidak menafikan fakta akan bayang-bayang keterbatasan pemahaman manusia terhadap Tuhan, meskipun melalui doktrin keagamaan. Karena keyakinan tidak meniscayakan pengetahuan, juga pemahaman yang menyeluruh. Meskipun keyakinan bisa jadi syarat akan pengetahuan. Seperti ungkapan, “saya meyakini betul adanya Negara bernama Zimbabwe, tetapi saya tidak mengetahui dan memahami dengan baik Negara ini”.
Atas dasar ketidakberdayaan manusia sampai pada kesimpulan abadi, pertanyaan-pertanyaan besar metafisis itu secara terus menerus dibicarakan oleh banyak orang hingga kini. Bedanya, jika dalam Filsafat, seorang filsuf berusaha menggali jawaban dengan asumsi belum pernah sepenuhnya dikemukakan. Dalam Agama (Islam) sebaliknya, agamawan justru merasa cukup dengan menyebutkan jawaban yang disampaikan oleh Mutakalimun klasik. Dengan begitu, dalam agama nalar berpikir yang digunakan untuk memahami (pertanyaan-pertanyaan) metafisis ketuhanan tidak berubah sejak dahulu, dan belum beranjak dari semula.
Padahal, seperti yang dikatakan oleh Pemikir Neo-Teologi Islam (‘Ilm al-Kalam al-Jadid) asal Irak, Abdel Jabbar Rifaie, “Tiada jawaban abadi atas pertanyaan-pertanyaan mendasar metafisika-ontologi”. Karena jika memang jawaban abadi itu ada, niscaya pandangan manusia atas yang demikian itu akan seragam dan satu suara dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, baik dalam Filsafat maupun Agama. Tentu tiada lagi perdebatan epitemologis tentang kemampuan manusia memahami hakikat sesuatu yang mutlak. Tiada lagi perdebatan teologis antar “Firaq” dalam Islam tentang “al-asma’ was shifat”, dan seterusnya.
Rupanya perdebatan-perdebatan itu hingga kini masih berlangsung, perbedaan-perbedaan sikap dan pandangan antar filsuf juga antar agamawan juga masih terus disuarakan. Itu artinya, pertanyaan-pertanyaan metafisis belum dan tidak akan pernah sepenuhnya berakhir.
Masih menurut Rifaie, wacana metafisis yang dikemukakan oleh Mutakalimun tidak lepas dari ‘rasionalitas’ yang berkembang saat itu. Artinya wacana yang diperdebatkan bermula dari pertanyaan sekaligus jawaban yang muncul saat itu.
Setiap masa memiliki ‘rasionalitas’nya sendiri-sendiri, memiliki pertanyaan sekaligus jawaban metafisisnya masing-masing, memiliki pandangan dunianya sendiri-sendiri.
Pendapat-pendapat para mutakalimun dengan demikian, lebih mewakili rasionalitas dan pandangan dunia zamannya sendiri, yang terbatas oleh banyak hal; budaya, lingkungan, politik, cakrawala pengetahuan dan lain sebagainya.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan besar metafisis dengan meminjam jawaban-jawaban mutakalimun klasik sama halnya memproduksi ulang pemikiran mereka.
Sejumlah kritik mendasar atas relevansi jawaban Ilmu Kalam klasik terhadap persoalan metafisis dalam konteks kekinian sebetulnya telah banyak diutarakan. Terutama oleh pemikir Kalam kontemporer seperti Hasan Hanafi, Ahad Qaramliki, Abdel Jabbar Rifaie dan lain-lain.
Bagi mereka pertanyaan-pertanyaan besar metafisis tidak pernah memperoleh jawaban abadi, pertanyaan-pertanyaan turunannya semakin bermunculan setiap masa. Jawaban para Mutakalimun klasik dianggap tidak memadai jika hanya dipahami apa adanya saat ini, karena pikiran mereka tidak terlepas dari konteks epistemologis dimana mereka hidup saat itu.
Kondisi semacam ini pada akhirnya menuntut perombakan sistem pengetahuan dalam tubuh Ilmu Kalam, agar tetap dapat beriringan dengan perkembangan zaman dan mampu memberikan jawaban terhadap persoalan metafisis secara lebih kontekstual. Melalui jalan inilah manusia (beragama) dapat berusaha mengejar keabadian itu, meski kita tahu itu tak pernah mungkin.
Tunis, 16 Juni 2020
No responses yet