jaringansantri.com – Puluhan orang membawa bunga-bunga, botol air mawar dan gambar potret salah satu pahlawan Indonesia. Kaki-kaki mereka berjalan beriringan menuju makam yang bertuliskan nama besar KH. Zainul Arifin.
Mereka ialah santri-santri pegiat kajian Islam Nusantara. Sesuai yang direncanakan, mereka bertemu dengan keluarga besar keturunan KH. Zainul Arifin di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Sabtu (11/11).
Dalam rangka peringatan hari pahlawan, putra KH. Zainul Arifin yang sudah sepuh juga hadir ziarah bersama teman-teman dari Islam Nusantara Center (INC). Sosok yang berbaju serba putih ini tampak teduh dan wibawa. Sesekali ia menuturkan kisah-kisah tentang sang ayah.
Namanya Burhanuddin Pohan. Ia menceritakan saat wafat sang panglima santri, tepat pada 2 Maret 1963. Ketika itu sebelum pemberangkatan menuju pemakaman, hujan turun begitu lebat. Namun dengan izin Allah, saat jenazah sampai di lokasi pemakaman hujan berhenti dan prosesi pemakaman berjalan dengan lancar.
Ia mengungkapkan keanehan ketika usai pemakaman, hujan deras kembali mengguyur lokasi.
Ziarah ini merupakan agenda pertama perjalanan Islam Nusantara Center mengunjungi makam-makam ulama yang ada di Indonesia. Ginanjar Sya’ban selaku direktur INC berharap kegiatan serupa dapat digelar kedepannya dengan istiqomah.
Rangkaian ziarah yang begitu berkesan ini dibuka dengan sambutan dari Ario Helmy, salah satu cucu KH. Zainal Arifin. Sosok yang juga penulis buku Panglima Santri ini memaparkan sejarah singkat Sang Kakek.
‘’KH. Zainul Arifin merupakan putra dari Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan. Beliau pernah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara, kemudian juga menjadi panglima penting saat pertempuran 10 November. Beliau merupakan panglima laskar Hizbullah yang memimpin para santri saat itu.”
“Setelah revolusi, ia menjadi tokoh NU pertama yang menjabat sebagai wakil perdana menteri, kala itu sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Perannya semakin penting menjadi penyeimbang politik Soekarno yang mulai terpengaruh gerakan kiri. Sayangnya, Beliau tertembak pada saat shalat Idul Adha tahun 1962, hingga luka tersebut menyebabkan gugur,’’ ungkapnya.
Setelah itu, Sejarawan Zainul Milal Bizawie juga menguatkan apa yang disampaikan oleh Ario Helmy dalam sambutannya, sebelum pembacaan kalimah thoyyibah dan tahlil bersama.
Kemudian, doa telah usai. Suasana nyekar dilakukan oleh para keluarga dan seluruh anggota INC. langkah kaki mereka lanjutkan menyusuri monumen pahlawan untuk mengabadikan momen yang langka ini. Lahumul fatihah! (Zainal Abidin)
Comments are closed