Filologi adalah studi tentang karya tulis masa lalu yang masih berbentuk tulisan tangan (manuskrip). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis. Obyek kajian filologi adalah naskah yang dipandang memiliki khazanah, nilai, dan kearifan.

            Dalam kenyataannya, sebuah naskah karya seorang ulama adakalanya terdiri lebih dari satu salinan naskah yang ditulis dalam rentang waktu dan lokasi berbeda-beda. Adakalanya sebuah naskah ditulis ulang jauh setelah pengarang (mu’allif)nya meninggal dunia. Naskah-naskah yang memiliki banyak salinan umumnya adalah naskah-naskah yang diajarkan oleh pengarangnya atau menjadi buku daras di sebuah madrasah atau halakah keilmuan.

Dalam realitanya lagi, naskah-naskah (manuskrip) sebagai ditulis para ulama dan ilmuwan silam jumlahnya sangat banyak. Menurut Profesor Faisal al-Hafyan (pakar manuskrip Arab asal Suriah), jumlah naskah manuskrip Arab saat ini mencapai tiga juta naskah, dimana sepuluh persen diantaranya adalah naskah-naskah di bidang sains dan teknologi (matematika, fisika, kedokteran, astronomi, geografi, dan lain-lain). Khusus naskah-naskah astronomi, kajian tentangnya sangat jarang dilakukan, sementara kajian-kajian yang ada umumnya dilakukan oleh peneliti-peneliti (orientalis) Barat dengan motivasi akademik dan penelitian, bukan ibadah. Beberapa diantaranya: E.S. Kennedy (Amerika), Regis Moorlan (Prancis), David A King (Amerika), Carlo Nillino (Italia), Julio Samso (Spanyol), Edward C Sachau (Jerman), dan lain-lain.

            Dalam diskursus waktu Subuh yang belakangan ini marak berkembang, para pengkaji modern kerap merujuk anggitan fajar shadiq sebagai dikemukakan astronom-astronom Muslim silam. Beberapa tokoh yang sering dikutip diantaranya: Al-Marrakusyi (w. stl 680 H), Al-Biruny (w. 440 H), Ibn Yunus (w. 399 H), dan tokoh-tokoh lainnya.

Menurut Al-Marrakusyi misalnya, dalam sejumlah literatur modern disebutkan bahwa standar kedalaman Matahari di bawah ufuk untuk waktu fajar (Subuh) menurut astronom yang berasal dari Maroko ini adalah -20 derajat. Karya primer Al-Marrakusyi yang dapat dirujuk adalah “Jāmi’ al-Mabādy’ wa al-Ghāyāt fī ‘Ilm al-Mīqāt”. Buku ini terhitung sebagai karya terbaik Al-Marrakusyi dan satu-satunya yang masih tersisa dan dapat ditemukan saat ini. Salinan naskah karya ini tersimpan dan tersebar di berbagai tempat di dunia yaitu di Mesir, Iran, dan Prancis. Seperti disinggung di atas, karya ini memiliki lebih dari satu salinan naskah, yang mana antara satu salinan dengan lainnya terdapat perbedaan (angka) dalam menetapkan nilai kedalaman fajar shadiq. Dalam salinan naskah yang berasal dari Iran misalnya, disebutkan -16 derajat. Namun dalam salinan naskah yang berasal dari Paris dan Topkapi tertera -20 derajat. Secara subtantif, perbedaan penyebutan angka ini patut ditelusuri oleh karena ada konsekuensi logis dari perbedaan angka ini yaitu terkait durasi waktu Subuh dan preseden diskursus waktu Subuh yang berkembang saat ini.

Perbedaan redaksi angka tersebut setidaknya memunculkan sejumlah pertanyaan, yaitu: berapa derajatkah kedalaman Matahari di bawah ufuk yang merupakan angka autentik yang ditetapkan Al-Marrakusyi? Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan angka dalam salinan-salinan naskah tersebut? Mungkinkah dua standar angka itu (-16 derajat dan -20 derajat) merupakan pernyataan Al-Marrakusyi? Atau, adakah salah satu dari angka itu merupakan interpretasi penyalin naskah? Berapa derajatkah standar fajar shadiq yang berkembang ketika itu? Sejumlah pertanyaan ini (disamping pertanyaan-pertanyaan lainnya) tentu membutuhkan kajian komprehensif. Salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah kajian filologi (Arab: tahqiq), yaitu dengan melakukan komparasi antar naskah, menganalisis usia teks, menelusuri situasi sosio-religius dan intelektual masa Al-Marrakusyi, menelusuri tren anggitan fajar shadiq di kalangan ulama/ilmuwan di zaman itu, dan lain-lain.

            Melalui penelusuran usia teks “Jāmi’ al-Mabādy’ wa al-Ghāyāt fī ‘Ilm al-Mīqāt” karya Al-Marrakusyi, diketahui bahwa salinan naskah Iran ditulis sekitar tahun 769 H. Sedangkan naskah Paris (Prancis) ditulis setelah satu abad (100 tahun) dari usia pengarang, dan naskah Topkapi (Turki) ditulis tahun 747 H. Dengan demikian tiga salinan naskah ini ditulis setelah pengarangnya (Al-Marrakusyi) meninggal dunia. Selainjutnya salinan naskah Paris adalah yang paling belakangan dan paling jauh dari zaman pengarang.

            Sedangkan analisis tren fajar shadiq di zaman itu (abad ke-7 H) dapat ditelusuri dengan menelaah karya-karya para astronom Muslim yang menyebutkan standardisasi waktu fajar, diantaranya Nashiruddin al-Thusi (w. 672 H) yang menetapkan dip Subuh -18 derajat, dan Mu’ayyid ad-Din al-‘Urdhi (w. 664 H) yang menetapkan dip Subuh -18 dan -19 derjat. Lantas, mengapa angka -20 derajat adalah angka yang paling populer dinisbatkan kepada Al-Marrakusyi? Jawabannya adalah diduga tokoh-tokoh dan peneliti modern (yang umumnya orang Barat) hanya merujuk dan mengutip salinan naskah yang ada di Eropa yaitu di Perpustakaan Paris dan Istanbul yang mana keduanya menyebutkan -20 derajat, dan selanjutnya dikutip secara turun-temurun.

            Jika tren yang berkembang adalah -18 derajat, mengapa pada salinan naskah Paris dan Topkapi tertulis 20 derajat? Jawabannya ada dua kemungkinan: pertama, kesalahan penulisan sang penyalin naskah (nāsikh), atau kedua, merupakan interpretasi penyalin naskah itu sendiri. Patut dicatat, menyalin naskah adalah profesi profesional di peradaban Islam (yang dikenal dengan warraq) dengan upah tertentu yang berkembang di peradaban Islam. Profesi ini dapat dilakukan siapa saja asal ia piawai dalam menulis betapapun tidak menguasai substansi yang ditulis. Dari analisis filologis singkat di atas dapat disimpulkan bahwa angka -20 derajat yang selama ini dinisbatkan kepada Al-Marrakusyi tidak autentik. Wallah a’lam[].

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *